SAYA Kagak Pandai memberikan jawaban memuaskan Ketika seorang rekan bertanya Ketika operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap kepala daerah berakhir. Saya hanya Pandai mengatakan Terdapat yang salah dengan Metode pandang sebagian pejabat di negeri ini tentang kekuasaan. Selama sesat pikir tentang kekuasaan itu dibiarkan, selama itu pula bakal Terdapat OTT.
Kebanyakan pejabat Lagi menganggap menjadi pemimpin itu anak tangga Krusial menuju sukses. Celakanya, indikator Primer sukses yang dimaksud didominasi sukses mengumpulkan pundi-pundi. Apalagi, Ketika bertarung memenangi kontestasi, mereka harus menguras Dana sebagai modal memberi mahar, membeli ‘Bahtera’, juga ‘merebut’ Bunyi.
Maka itu, begitu menjadi pemimpin, praktis waktu kerja banyak tersita mencari Metode mengumpulkan bekal Kepada balik modal. Kagak cukup balik modal, kalau Pandai, ya, harus mendapatkan keuntungan. Alhasil, menjadi pemimpin akhirnya tak ubahnya sebagai pemburu rente. Dari urusan proyek hingga lelang jabatan, Sekalian Pandai diuangkan.
Dua item itu pula yang Membikin Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi terjaring OTT KPK. Ketika ditangkap, ia baru saja menerima Dana suap miliaran rupiah. Dana itu baru diterima dari Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Bekasi, M Bunyamin. Seluruh bukti Dana yang disita dalam kegiatan tangkap itu Sekeliling Rp3 miliar rupiah dan Kitab rekening bank dengan jumlah Dana Sekeliling Rp2 miliar.
Suap yang diterima Rahmat diduga terkait proyek pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi. Pria yang akrab disapa Pepen itu disebut meminta suap dengan dalih ‘sumbangan masjid’. Tentu saja itu hanya ‘nyanyian kode’. Sejatinya, Dana itu diduga sebagai bentuk komitmen Dana penyuksesan pembebasan lahan. Bukan lahan Kepada masjid, melainkan lahan proyek lainnya.
Pepen, sang wali kota, diduga Adonan tangan dan memilih langsung para pihak swasta yang lahannya akan digusur dan digunakan Kepada proyek pengadaan. Letak-Letak itu berupa pembebasan lahan sekolah di Kawasan Rawalumbu senilai Rp21,8 miliar, pembebasan lahan Polder 202 senilai Rp25,8 miliar, pembebasan lahan Polder Air Kranji Rp21,8 miliar, dan melanjutkan proyek pembangunan gedung teknis Serempak senilai Rp15 miliar.
Kasus serupa juga pernah menimpa dua Bupati Nganjuk, yakni petahana dan penerusnya. Bupati Nganjuk dua periode (2008-2013 dan 2013-2018) Taufiqurrahman terkena OTT KPK dalam kasus jual-beli jabatan pada 2017. Penerusnya, Bupati Nganjuk periode 2018-2023 Novi Rahman Hidayat, terkena tangkap tangan KPK Kepada kasus serupa pada Mei 2021 Lampau. Dua bupati, dalam rentang pendek, dua-duanya terkena OTT KPK, dua-duanya melakukan jenis korupsi yang sama.
Betul apa kata Robert Klitgaard tentang rumus korupsi CDMA (C=D+M-A). Menurut Klitgaard, tingkat korupsi (C) sama dengan banyaknya diskresi atau luasnya kewenangan (D), ditambah tingkat monopoli (M), tapi minus akuntabilitas (A). Sejak otonomi daerah dan meluasnya desentralisasi, para kepala daerah ini Mempunyai kewenangan bertambah dan memonopoli keputusan Krusial. Celakanya, akuntabilitasnya minim. Ditambah Tengah, mental pemburu rente Mengungguli dosis.
Saya jadi ingat pepatah Klasik Belanda tentang hakikat menjadi pemimpin. Pepatah yang kerap disebut KH Agus Salim itu ialah leiden is lijden. Memimpin itu menderita. Menjadi pemimpin itu Kagak nyaman. Ia bukan saja butuh langkah konkret dan kerja Konkret, melainkan juga yang terpenting ialah pengorbanan.
Kagak Terdapat pemimpin hebat yang lahir di Area nyaman. Kagak Terdapat pencapaian hebat yang tumbuh dari Area nyaman. Pepatah Klasik Belanda itu mula-mula dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita (Prisma No 8, Agustus 1977).
Karangan itu mengisahkan keteladanan Agus Salim. Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Ia diplomat ulung dan disegani, tetapi sangat sederhana dan sangat terbatas dari sisi materi. Apabila dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat Arti. Memimpin itu, pada level mana pun, ialah amanah, bukan hadiah. Memimpin itu sacrificing, bukan demanding. Memimpin itu berkorban, bukan menuntut.
Para pemimpin Kagak boleh lupa, tak Terdapat kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Tak Terdapat kemajuan tanpa jangkar moral yang andal. Pada prinsip-prinsip itulah mestinya para pemimpin, termasuk para pemimpin di tingkat daerah, bersandar.
Sayangnya, sandaran itu kini Renyah. Memimpin bukan Tengah bagian dari pengorbanan, melainkan pesta pora mengeruk keuntungan. Rakyatlah yang harus berkorban. Rakyat pula yang harus punya jangkar moral. Kalau seperti itu logikanya, ya, Kagak usah heran, era boleh berganti, tapi OTT akan selalu datang Tengah dan Tengah.