Optimistis Mesti Realistis

OPTIMISME diyakini menjadi senjata saat menghadapi kesulitan. Kaum optimis yakin hampir semua masalah dapat diselesaikan dengan kerja keras dan pola pikir yang tepat.

Sikap optimistis itu berulang kali berupaya disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. Termasuk saat ia berbicara di forum Outlook Perekonomian Indonesia yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, kemarin. Ia dengan yakin mengatakan akan menamai 2024 sebagai tahun optimistis.

Bagi Jokowi, optimisme tersebut berbekal kinerja perekonomian dan situasi politik yang dingin menjelang Pemilu 2024. Presiden menekankan, yang penting ialah konsisten kerja keras, kerja sinergis antara pemerintah dan swasta, serta kerja yang berkelanjutan.

Di kesempatan itu, Presiden memaparkan sejumlah indikator, seperti ekonomi Indonesia yang tumbuh dalam rentang 5%, angka inflasi di bawah rata-rata global, penyerapan tenaga kerja naik, purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia masih di level ekspansif, neraca perdagangan surplus, serta indeks keyakinan konsumen (IKK) yang masih menunjukkan keyakinan kuat.

Cek Artikel:  Politik Duit bukan Kewajaran

Ia tentu ingin menularkan optimisme untuk memberikan harapan kepada publik. Akan tetapi, saat ini, rakyat tidak butuh sekadar harapan. Apalagi kalau ternyata pepesan kosong.

Pemerintah tidak boleh hanya melempar atau bahkan mengumbar jargon optimisme. Selaku penyelenggara negara semestinya pemerintah memberikan solusi konkret atas segala kemungkinan yang berpotensi mengganggu kinerja ekonomi ke depan. Bukan sekadar meninabobokkan.

Semisal, fakta bahwa deindustrialisasi sudah berlangsung sejak 2020 atau hampir satu dekade kepemimpinan Joko Widodo. Berarti belum ada solusi jitu selama nyaris 10 tahun terakhir. Belum ada industri manufaktur unggulan yang lahir dari rezim ini.

Belum lagi, catatan APBN mengenai utang pemerintah sebesar Rp8.041,01 triliun per akhir November 2023. Nomor tersebut menjadi rekor tertinggi. Jumlah utang itu meningkat dari sebelumnya Rp7.950,52 triliun per akhir Oktober 2023.

Cek Artikel:  Konsistensi Perjuangan Demokrasi

Ekonom Faisal Basri juga pernah mengkritisi bahwa di masa pemerintahan Joko Widodo, pertumbuhan rata-rata stagnan di 5%. Pengangguran menurun, tetapi hanya meningkatkan pekerja informal. Penciptaan lapangan kerja formal masih jadi masalah.

Dengan fakta-fakta itu, Presiden diharapkan bersikap realistis. Tak mengumbar janji kosong. Apalagi, publik sudah kenyang mendapatkan janji manis dari Jokowi saat menjadi calon presiden.

Janji pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% terbukti meleset menjadi di kisaran 5%. Janji memangkas ketimpangan melalui indeks rasio Gini di angka 0,30 pada 2019 juga tinggal janji. Bahkan hingga kini rasio Gini masih di angka 0,388. Belum lagi, janji menihilkan masyarakat miskin ekstrem yang sampai kini tidak terealisasi.

Apalagi, ragam risiko dan ancaman masih berpotensi menggangu kinerja perekonomian dalam negeri. Teladan, situasi geopolitik yang masih memanas, tingkat utang yang tinggi pascapandemi covid-19, atau fenomena alam El Nino.

Cek Artikel:  Debat Capres bukan Alat Gosip

Ditambah lagi, kondisi suplai bahan pangan yang masih bergantung pada impor. Ujung-ujungnya ialah pemborosan devisa negara tanpa memberi dampak postif kepada petani.

Situasi politik yang dingin menjadi salah satu alasan optimisme Presiden Jokowi. Padahal, Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat indeks demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy).

Belum lagi, kian luruhnya kebebasan berpendapat dan rasa takut masyarakat yang semakin besar. Akibatnya, Indonesia menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sebatas prosedural. Lembaga dan seremonial demokrasi hadir, tapi minim kapasitas maupun kebebasan.

Lewat, untuk apa lagi melanjutkan janji yang tidak kunjung terealisasi. Mimpi yang tidak menjadi kenyataan. Jangan sampai, optimisme berlebih menjadi senjata makan tuan karena ketimpangan antara keinginan dan kenyataan.

Mungkin Anda Menyukai