Oposisi Loyal

TEMAN saya, seorang aktivis prodemokrasi, sedang galau berat. Musababnya, pemerintahan ke depan di bawah duet Prabowo-Gibran, kata dia, ada tendensi merangkul semua kekuatan politik. Bentuk ‘rangkulan’ itu ialah posisi kursi menteri di kabinet.

Saya lalu mengatakan kepadanya untuk tidak usah risau. Malah, bila kekuatan politik dirangkul, stabilitas akan tercipta. Program-program Prabowo-Gibran akan mulus dijalankan. Bukan ada yang merecoki, tidak gaduh, tidak berisik. Sekalian akan adem ayem.

Sang teman lalu menanggapi pernyataan saya dengan curiga. Ia berkata, “Engkau ini serius menanggapi atau sekadar menguji? Sekadar menyindir atau memang sudah lelah? Atau, malah-malah sudah frustrasi? Wkwkwk….”

Baca juga : Jadi Mantan Presiden, Nikmat?

Meski begitu, sang teman tetap menanggapi pernyataan saya dengan superserius. Menurut dia, apabila Prabowo merangkul seluruh partai ikut menjadi bagian pemerintahan, kekuatan oposisi akan sulit untuk menyeimbangkan kinerja pemerintah.

Kalau daya dorong oposisi lemah, pemerintah berpotensi bekerja dengan minim pengawasan karena kekuatan oposisi yang tidak seimbang dengan pemerintah. Implikasi logisnya, jelas dia, akan muncul peluang lahirnya berbagai kebijakan kontroversial dari pemerintah yang tidak melalui proses-proses demokratis sebagaimana mestinya.

“Konstitusi Indonesia memang tidak mengenal istilah oposisi. Sistem politik Indonesia adalah presidensial. Pada sistem itu, kekuasaan presiden menjadi mutlak dalam menjalankan pemerintahan. Sistem politik Indonesia tidak seperti Inggris dan negara-negara Eropa Barat yang berbentuk parlementer, ketika kekuatan oposisi diakui secara resmi dalam konstitusi,” sang teman menjelaskan panjang lebar.

Cek Artikel:  Kebaikan Pura-Pura

Baca juga : Sean Gelael Optimistis Raih Podium di Sao Paolo

Meski tidak dikenal dalam sistem kita, ia menambahkan, bukan berarti oposisi bisa dinegasikan perannya dalam sistem pemerintahan presidensial. Pasalnya, esensi dasar dari demokrasi ialah kompetisi yang meniscayakan adanya persaingan dari orang-orang yang hidup dalam demokrasi.

Persaingan bisa muncul apabila ada kekuatan setara yang bisa menyeimbangkan dan mengontrol kekuasaan. Kekuatan semacam itu dapat tumbuh jika mekanisme politik oposisi terwujud dengan semestinya. “Bila oposisi hilang atau perannya justru minim, kompetisi tidak dapat terwujud, Bro,” sang teman kian bersemangat menjelaskan.

Kompetisi dalam demokrasi ini penting karena memungkinkan untuk melahirkan pandangan-pandangan sosial-politik alternatif atas berbagai kebijakan negara. Produk-produk politik yang dihasilkan lewat mekanisme kompetisi jauh lebih baik daripada produk politik yang dihasilkan monopoli satu pihak. Produk politik dari hasil kompetisi yang sehat ialah produk politik yang telah melewati pertarungan gagasan antara kelompok berkuasa dan oposisi. “Definisinya produk yang dihasilkan telah diuji secara konseptual oleh kedua pihak yang berseberangan,” terangnya.

Cek Artikel:  NU bukan Daun Bawang

Baca juga : SDN 085 Ciumbuleuit dan SDN 043 Cimuncang Raih Podium Teratas

Selain itu, kompetisi dalam demokrasi berguna untuk memastikan agar kekuasaan tidak jatuh dalam kemutlakan. Dengan oposisi, kekuasaan tidak menjadi absolut karena ada kekuatan yang menantang kekuasaan yang berkuasa. Sang teman lalu mengingatkan pengalaman 32 tahun dipimpin Orde Baru yang menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan yang tidak diimbangi dengan kekuatan oposisi yang setara hanya akan melahirkan politik otoritarianisme.

Saya tidak menimpali penjelasan panjang lebar teman saya itu. Saya hanya memberikan emoticon jempol untuk pernyataan dan penjelasannya yang panjang lebar itu. Hening-diam saya jadi teringat cendekiawan muslim mendiang Nurcholish Madjid yang 30 tahun lalu mencetuskan perlunya oposisi loyal. Cak Nur, pernah menggegerkan jagat politik Tanah Air karena slogannya ‘Islam yes, partai Islam no‘ di awal 1970-an.

Tetapi, pada 1977, Cak Nur tetap berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang notabene partai berasaskan Islam. Ketika ditanya kenapa ia berkampanye untuk partai Islam yang bertentangan dengan slogan yang ia lontarkan hampir sewindu sebelumnya, Cak Nur mengatakan melakukan itu untuk ‘memompa ban kempis’. Ia ingin keseimbangan terjaga. Karena itu, PPP tidak boleh dibiarkan terus mengempis atau dikempiskan.

Cek Artikel:  Ormas Tambang

Baca juga : Semangat Juang Jadi Modal bagi Nizar Raih Podium Bali Trail Run Ultra 2024

Sistem politik disebut demokratis, Cak Nur mengulas, jika terdapat wujud dinamika pengawasan dan pengimbangan (checks and balances). Dengan penegasan tersebut, bagi Cak Nur, tidaklah bisa dibenarkan dalam alam demokrasi jika tidak terdapat partai politik oposisi. Partai oposisi yang dimaksudkan Cak Nur ialah partai yang menjalankan ide checks and balances sehingga tidak berarti terus-menerus to oppose, tapi juga to support yang dapat dilakukan baik secara formal maupun nonformal.

Cak Nur menjelaskan oposisi ialah suatu kenyataan yang tak dapat dielakkan dalam demokrasi. Apabila peran oposisi tidak diakui, dapat mengakibatkan saling curiga sehingga beranggapan bahwa kelompok oposisi hadir sebagai suatu ancaman yang dapat merusak tatanan pemerintahan.

Ide Cak Nur soal oposisi loyal yang digemakan pada 1994 lalu itu kiranya masih amat relevan hingga kini. Apalagi, saat ini mulai muncul tudingan bahwa oposisi hanya membuat gaduh. Ia, bagi yang alergi, disejajarkan semacam ‘hama’ pengganggu ‘tanaman’ program pembangunan yang sedang disemai. Tetapi, siapa yang mengingatkan kita soal pentingnya oposisi loyal saat Cak Nur yang supercerdas dan mencerahkan itu sudah tiada?

Mungkin Anda Menyukai