Operasi Yustisi bukan Solusi

MUDIK Lebaran segera menjadi arus balik. Masyarakat pun lekas kembali memacu hidup, terutama di kawasan perkotaan. Kehadiran kaum urban, bagi sejumlah pihak dipandang sebagai beban kota. Karena itu, paling mudah dan lazim yang dilakukan oleh aparatur penyelenggara negara di kota-kota besar ialah menggelar tindakan hukum Demi menekan kehadiran pendatang baru dengan tajuk operasi yustisi.

Tetapi, kebiasaan menggelar operasi yustisi terhadap mereka yang Enggak Mempunyai identitas di perkotaan tujuan kaum urban itu sudah mulai surut. Apa yang dilakukan Gubernur Jakarta Pramono Anung, yang Enggak hanya meniadakan operasi tapi bahkan melarang aparatnya menggelar operasi yustisi, adalah Misalnya perubahan Metode berpikir dan bertindak terhadap pendatang itu.

Enggak Terdapat Tengah drama razia KTP non-Jakarta bagi Anggota pendatang. Para Paras baru juga Enggak perlu khawatir dipulangkan ke kampung halaman bila Enggak Mempunyai KTP Jakarta.

Cek Artikel:  Hati Lapang Sambut Putusan MK

Gubernur Pramono, yang berpasangan dengan Rano Karno dalam memimpin Jakarta, lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya akan mengecek identitas pendatang, bukan mengusir mereka.

Pendekatan pemimpin Jakarta Ketika ini mengadopsi Metode serupa yang dilakukan sejak masa Anies Baswedan memimpin Jakarta. Enggak Terdapat yang salah dengan melanjutkan program pendahulu. Apalagi bila program tersebut Bagus adanya.

Anies menyadari operasi yustisi kerap tebang pilih, menjerat mereka yang bertaraf ekonomi rendah, tetapi meloloskan mereka yang kaya. Makanya, di masa kepemimpinannya, pendatang hanya diwajibkan Demi membawa surat kependudukan yang lengkap.

Urbanisasi adalah sebuah pilihan bagi Anggota negara. Apalagi bila Menyaksikan perputaran Doku yang Tetap dominan di perkotaan. Kesempatan usaha dan pekerjaan juga lebih banyak di kota. Wajar saja masyarakat kian banyak yang berpindah ke kota. Ibarat Terdapat gula, di situ Terdapat semut.

Cek Artikel:  Pemerintah Gagap Pedagang Meratap

Lebih-lebih di tengah perekonomian negeri ini yang penuh tanjakan berat. Terdapat puluhan ribu aksi pemutusan Interaksi kerja (PHK) yang dialami buruh di berbagai daerah karena pabrik tempat mereka bekerja ambruk.

Pesangon, sejauh ini Hanya seperti balsam penghilang rasa Bingung Demi sesaat. PHK yang terjadi menjelang Lebaran Jernih memaksa para buruh menguras dompet karena sudah Enggak mungkin makan tabungan.

Menjalani pekerjaan informal juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Modal dan pengalaman saja terkadang Enggak cukup bagi perekonomian buruh Demi Bisa kembali pulih.

Daerah Enggak Mempunyai daya Demi menyerap seluruh mantan buruh tersebut. Demi menciptakan industri baru yang Bisa menampung mereka, juga Enggak semudah kisah Bandung Bondowoso yang Membikin ratusan candi dalam tempo satu malam.

Cek Artikel:  Partai Banteng Mengusik Istana

Kalau sudah mentok sana-sini, wajar bila korban PHK juga memilih Demi mengadu nasib di kawasan perkotaan, termasuk Jakarta. Oleh karena itu, hadirnya korban PHK menjadi keniscayaan di Jakarta sebagai pusat perekonomian nasoinal.

Langkah Pramono Anung yang bersiap menghadapi para pendatang bukan dengan operasi yustisi, melainkan pelatihan kerja di tingkat kelurahan dan kecamatan, amat layak kita apresiasi. Langkah itu Bahkan Bisa menjadi upaya awal mengatasi solusi keringnya penyerapan tenaga kerja.

Masyarakat sudah susah, janganlah dibuat makin susah. Pemerintah harus hadir, bukannya menolak rakyat. Pemerintah daerah sudah sepatutnya mengayomi seluruh rakyat termasuk pendatang, sepanjang mereka Anggota negara Indonesia (WNI) yang Mempunyai identitas Absah. Metode Pramono Bisa menjadi inspirasi bagaimana pemimpin memberikan solusi, bahkan nilai tambah bagi rakyat agar Bisa keluar dari jebakan kemiskinan dan rangkaian kesulitan.

 

Mungkin Anda Menyukai