BELAKANGAN ini cuaca cenderung panas terik. Demi sedang menemani istri berbelanja di Pasar Tanah Abang mencoba berlindung di bawah atap sebuah kios sambil menyeruput kopi. Tanpa sengaja saya mendengar percakapan antara pemilik kios dengan seorang pelanggan tetapnya.
“Bu, sepi ya sekarang? Dulu saya sampai harus antre untuk belanja di sini,” ungkap si pelanggan. Sang pemilik kios, seorang ibu setengah baya, menghela napas, “Iya, dik, banyak yang sekarang belanjanya di Shopee, TikTok, Tokopedia. Kami yang di sini jadi kalah saing.”
Di era digital ini, fenomena e-commerce telah mengubah tata cara seseorang dalam berbelanja. Dengan sentuhan jari saja, barang idaman sudah bisa diantar ke depan pintu. Di sisi lain, kios-kios konvensional seperti milik ibu di Tanah Abang tadi, yang bahkan sempat menjadi legenda di masanya, merasa terpinggirkan. Terancam oleh gelombang digitalisasi yang tak terbendung.
Tetapi, apa jadinya jika teknologi yang sama, yang menjadi ancaman bagi mereka, justru bisa menjadi peluang emas? Bagaimana jika kita dapat menggunakan teknologi untuk mengatasi teknologi?
Selamat datang di dunia omnichannel, sebuah strategi e-commerce yang menggabungkan pengalaman belanja offline dan online secara terintegrasi. Di dalamnya, pelanggan bisa memilih, membandingkan, dan membeli produk dengan fleksibilitas yang tidak pernah ada sebelumnya tanpa merasakan perbedaan terlepas dari saluran apapun yang mereka pilih. Tetapi apakah benar? Ataukah ini hanya ilusi yang indah di tengah gempuran digital? Mari kita telusuri bersama.
Sejarah singkat omnichannel
Suatu malam di 1990-an sebuah keluarga berkumpul di ruang tamu, menyaksikan iklan televisi tentang sebuah produk. Kemudian mereka memutuskan untuk membelinya di pusat perbelanjaan terdekat, menanyakan keberadaan produk tersebut, memegangnya, merasakannya, kemudian membelinya. Kagak ada yang aneh kan?
Tetapi, kini bayangkan sebuah keluarga yang melihat produk di Instagram. Kemudian mengecek ulasannya di YouTube, membandingkan harga di beberapa platform e-commerce. Mereka pun memutuskan mencoba produk tersebut di toko fisik sebelum membelinya secara online dengan jaminan informasi harga, produk, dan ketersediaan sesuai dengan yang tertera pada di Instagram. Terdengar rumit? Kagak. Itu adalah omnichannel.
Omnichannel muncul sebagai jawaban atas kebutuhan konsumen zaman now yang ingin fleksibilitas. Di awal kemunculannya, konsep ini mungkin terdengar asing. Tetapi seiring perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen, omnichannel mulai menjadi tren yang tak terhindarkan.
Mengapa? Karena masih banyak yang merindukan pengalaman berbelanja fisik, sensasi memegang, kemudian mencoba produk sebelum membelinya. Inilah yang menjadi cikal bakal munculnya omnichannel, sebuah pendekatan holistik yang menggabungkan kelebihan belanja online dan offline.
Melalui omnichannel, konsumen kini dapat memulai perjalanan belanjanya di satu saluran dan melanjutkannya di saluran lain dengan lancar. Tentu, ini bukan hanya tentang berbelanja, tetapi tentang merasakan, memahami, dan terkoneksi dengan produk dan brand.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, omnichannel muncul bukan sebagai tren sesaat, tetapi sebagai masa depan belanja yang berpotensi mengubah cara kita berinteraksi dengan produk dan jasa.
Kelebihan omnichannel
Bayangkan sejenak suasana pagi yang cerah sambil menikmati secangkir kopi favorit. Lewat aplikasi bisa dipesan dan diambil langsung di kedai saat dalam perjalanan ke kantor. Kagak ada antrian, tidak perlu menunggu lama. Seluruhnya cepat, efisien, dan konsisten. Di mana pun kita berada, baik online maupun offline, pengalamannya tetap sama dan ini adalah keunikan yang ditawarkan omnichannel.
Pertama, dengan pendekatan omnichannel, ada keuntungan dari pengalaman yang konsisten di semua saluran, baik berbelanja melalui aplikasi, website, ataupun di toko fisik, informasi yang diterima, harga yang dibayarkan, dan pelayanan yang diterima tetaplah sama.
Kedua, dalam dunia yang serba cepat ini, konsistensi adalah kunci. Pelanggan yang merasa diperhatikan dan dimengerti cenderung lebih loyal. Omnichannel memudahkan interaksi dengan bran, membuat pelanggan lebih cenderung kembali dan berinteraksi lebih lanjut.
Ketiga, melalui integrasi antara online dan offline, bisnis dapat mengurangi redundansi, meningkatkan manajemen inventori, bahkan memaksimalkan penjualan dengan menawarkan produk atau promosi yang tepat waktu.
Salah satu pemain besar di industri ritel berhasil mengintegrasikan pendekatan online dan offline dengan cemerlang. Mereka menawarkan layanan click and collect, yang mana pelanggan dapat memesan produk secara online dan mengambilnya di toko terdekat.
Di sisi lain, jika produk yang diinginkan pelanggan tidak tersedia di toko tersebut, mereka dapat dengan mudah memeriksanya secara online. Bahkan diarahkan ke toko cabang lainnya yang memiliki produk tersebut, untuk selanjutnya dapat dipesan secara online.
Hasilnya? Kepuasan pelanggan meningkat, dan tentu saja posisinya semakin kuat di pasar ritel Indonesia. Belum lagi, dengan diterapkannya omnichannel peningkatan penjual sangat besar peluangnya untuk terjadi. Di era digital ini, mengerti adalah kunci keberhasilan.
Strategi menyelamatkan kios tradisional
Di tengah hingar-bingar Tanah Abang dan Mangga Dua, terdapat kios-kios yang seakan tidak terpengaruh gelombang digitalisasi. Meski e-commerce tumbuh pesat, mengancam eksistensi pedagang tradisional, beberapa kios justru semakin bersemangat dengan pendekatan omnichannel.
Di Tanah Abang misalnya, ada beberapa kios pakaian yang telah memanfaatkan aplikasi pesan instan untuk memperkenalkan koleksi terbaru mereka. Pelanggan diberikan pilihan untuk memesan langsung dan mengambil barang di kios, atau menggunakan layanan pengiriman.
Layanan ini memberikan kenyamanan bagi pelanggan yang mungkin tidak memiliki waktu untuk berkunjung, namun tetap ingin mendapatkan barang berkualitas dari Tanah Abang.
Di Mangga Dua, pendekatan serupa dilakukan dengan menampilkan koleksi aksesoris melalui platform e-commerce dan media sosial. Kios-kios ini memanfaatkan visual menarik dan tutorial penggunaan produk untuk menarik minat pelanggan. Dengan demikian, sebelum datang ke kios, pelanggan sudah memiliki gambaran tentang apa yang mereka inginkan.
Kelebihan utama dari strategi omnichannel adalah kemampuannya untuk menciptakan pengalaman belanja yang konsisten. Pelanggan mendapatkan fleksibilitas dalam memilih cara berbelanja, tanpa kehilangan esensi pengalaman belanja di pasar tradisional.
Dalam konteks ini, e-commerce dan teknologi digital bukan dianggap sebagai ancaman, melainkan alat untuk mencapai lebih banyak pelanggan dan memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik.
Kritik dan tantangan
Ketika mendengar kata omnichannel, banyak yang melihatnya sebagai strategi modern yang menjanjikan. Tetapi, di balik gemerlapnya, tidak sedikit yang mempertanyakan ‘apakah omnichannel hanya gimmick (trik untuk menarik perhatian) pasar yang akan sirna seiring dengan berjalannya waktu?’
Salah satu kritik terbesar terhadap pendekatan omnichannel adalah kompleksitas dalam implementasinya. Membangun sebuah sistem yang terintegrasi dengan sempurna antara offline dan online bukanlah hal yang mudah.
Sistem ini menuntut investasi teknologi, SDM, serta waktu yang cukup besar. Bagi bisnis dengan skala kecil hingga menengah, upaya ini bisa malah menjadi beban.
Selanjutnya, ada pertimbangan mengenai return on investment (RoI). Beberapa kasus menunjukkan bahwa meskipun investasi besar telah dikeluarkan untuk mengimplementasikan sistem omnichannel, peningkatan penjualan tidak sebanding jika saluran-saluran yang dibuat tidak relevan dengan pasar yang dituju.
Sebuah studi bahkan menemukan bahwa beberapa perusahaan mengalami penurunan pendapatan setelah menerapkan strategi ini. Karena pelanggan merasa kualitas layanan menurun dengan adanya terlalu banyak pilihan.
Ditambah lagi dengan isu privasi data, karena di era digital ini data pelanggan menjadi aset berharga. Dengan integrasi sistem omnichannel, ada risiko kebocoran data yang lebih besar. Bagaimana bisnis menjamin keamanan data pelanggan ketika informasi tersebut tersebar di berbagai platform?
Meskipun omnichannel menawarkan banyak keuntungan, kritik dan tantangan yang disebutkan patut menjadi bahan refleksi. Krusial bagi bisnis untuk mempertimbangkan segala aspek sebelum memutuskan untuk sepenuhnya menyelam ke dalam strategi ini.
Menari di atas gelombang digital
Sejak beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan besar di Indonesia mulai menunjukkan ketertarikan untuk menerapkan strategi omnichannel. Dari berbagai brand ternama di pusat perbelanjaan hingga UMKM, semakin banyak yang mengenal dan menerapkan konsep integrasi antara offline dan online ini.
Eksis yang mulai dengan membangun website resmi, kemudian menambahkan fitur belanja online, lalu menggabungkannya dengan layanan pesan-antar melalui aplikasi populer. Eksis pula yang memulai dari e-commerce dan kemudian membuka toko fisik sebagai showroom bagi produk mereka.
Tetapi, apakah menerapkan omnichannel menjamin kesuksesan? Sebagai contoh, beberapa brand fashion di Indonesia yang awalnya hanya memiliki toko fisik, kini mampu menjangkau pasar yang lebih luas melalui e-commerce dan media sosial, tanpa meninggalkan sentuhan personal yang menjadi ciri khas layanan mereka.
Tetapi, tidak jarang juga ditemukan informasi perusahaan kesulitan dalam mengintegrasikan semua kanal mereka. Dengan begitu menyebabkan kerancuan informasi dan kekecewaan pelanggan.
Satu hal yang menarik, budaya dan karakteristik konsumen Indonesia memberikan nuansa tersendiri dalam penerapan omnichannel. Misalnya tren webrooming yang mana pelanggan terlebih dahulu mengecek produk secara online sebelum membelinya di toko fisik. Atau sebaliknya, showrooming mereka mencoba produk di toko fisik dan kemudian membelinya secara online.
Omnichannel vs strategi e-commerce lainnya
Bayangkan sebuah ‘pesta dansa’ e-commerce. Di tengah-tengah ruangan, ada omnichannel yang menari dengan gerakan kompleks, menggabungkan langkah-langkah dari berbagai genre tarian. Di pojok lain, ada strategi e-commerce lain seperti pureplay, multichannel, dan cross-channel, masing-masing menunjukkan keahlian dansa mereka.
Omnichannel dengan gerakan harmonis yang menggabungkan offline dan online, menawarkan pengalaman pelanggan yang konsisten dan mulus. Pelanggan dapat melihat produk di toko fisik, memeriksanya di aplikasi mobile saat dalam perjalanan pulang, dan akhirnya membelinya di situs web dari laptop mereka saat tiba di rumah. Seluruh tahapan pembelian ini terasa tanpa hambatan dan tanpa gangguan.
Sementara itu, pureplay dengan gerakan tarian yang fokus dan terdefinisi, memutuskan untuk berkomitmen sepenuhnya pada dunia online. Kagak ada toko fisik, semua interaksi dan transaksi terjadi di dunia digital.
Strategi ini memang lebih sederhana dan seringkali lebih hemat biaya. Tetapi mungkin tidak sesuai untuk produk atau jasa yang membutuhkan ‘sentuhan’ fisik sebelum pembelian.
Multichannel mencoba menari dengan beberapa gaya tetapi tidak menggabungkannya, memungkinkan pelanggan untuk berinteraksi melalui berbagai kanal- mungkin melalui situs web, aplikasi mobile, atau toko fisik- tetapi setiap kanal beroperasi secara independen. Metode ini mungkin berpotensi membingungkan bagi beberapa pelanggan yang mencari pengalaman yang konsisten.
Kemudian, ada cross-channel dengan langkah-langkah yang terkoordinasi tetapi tidak sepenuhnya terintegrasi seperti omnichannel, berupaya memberikan pengalaman yang konsisten, namun tidak sepenuhnya memadukan semua kanal.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang menari paling indah di pesta e-commerce ini? Jawabannya tentu saja, bergantung pada audiens yang menyaksikan. Beberapa merek mungkin menemukan bahwa pendekatan omnichannel paling sesuai dengan karakteristik pelanggan dan produk mereka. Tetapi, ada juga yang merasa bahwa pureplay atau multichannel lebih efektif.
Satu hal yang pasti, dalam dunia e-commerce yang dinamis ini, setiap merek harus terus menyesuaikan langkah dansanya. Mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap strategi adalah kunci untuk menentukan ritme yang paling pas.
Masa depan cerah?
Omnichannel menjanjikan konsistensi dan kelancaran, dua kata kunci yang menjadi dambaan setiap pelaku bisnis. Sebuah pendekatan yang memungkinkan kita untuk berada dimanapun pelanggan berada, memberikan apa yang mereka butuhkan kapanpun mereka membutuhkannya.
Tetapi, seperti semua hal dalam bisnis dan teknologi, tidak ada solusi one-size-fits-all. Sementara beberapa bisnis mungkin melihat omnichannel sebagai masa depan mereka, lainnya mungkin menemukan bahwa pendekatan e-commerce lain lebih sesuai dengan model dan target pasar mereka.
Beranjak pada kenyataan tersebut, satu hal yang jelas adalah pentingnya pemahaman mendalam tentang teknologi dalam menghadapi tantangan bisnis modern. Hanya di program studi sistem informasi, mahasiswa diberikan kesempatan emas untuk tidak hanya memahami teori, tetapi juga melihat bagaimana teknologi dapat diimplementasikan secara praktis sebagai solusi atas permasalahan atau kebutuhan bisnis. Tentunya, ini bukan hanya tentang memahami kode atau sistem, tetapi tentang melihat gambaran besar bagaimana teknologi dapat mengubah dunia.
Dari perspektif pribadi, saya melihat omnichannel bukan sebagai gimmick, tetapi sebagai evolusi logis dari e-commerce. Mungkin tidak cocok untuk semua, namun untuk sebagian besar bisnis, ini adalah jalan menuju masa depan yang lebih inklusif, responsif, dan berorientasi pada pelanggan.
Bagaimanapun juga dalam era digital ini, adaptasi dan inovasi adalah kunci. Bagi siapapun yang ingin berada di garis depan revolusi ini, memahami dan menerapkan pendekatan seperti omnichannel akan menjadi salah satu kuncinya.