
FENOMENA flexing tampaknya semakin merajalela di dunia maya. Setiap kali kita membuka media sosial, terutama Tiktok, Instagram dan Youtube, konten-konten video beraroma flexing berseliweran dari berbagai sisi.
Eksis emak-emak yang memamerkan rumah mewahnya yang bak istana. Eksis bapak-bapak yang menunjukkan mobil-mobil kelas sultan-nya. Eksis anak-anak muda yang membanggakan pencapaian bisnisnya. Bahkan Eksis yang bagi-bagi Duit ratusan juta Sekadar-Sekadar.
Entah kenapa konten sejenis itu mendapat atensi yang demikian masif oleh pengguna medsos. Selain banyak jumlah penontonnya, tingkat interaksinya juga tinggi. Alhasil, perilaku tersebut ‘menular’ ke banyak orang. Berbagai Langkah dilakukan demi konten superior.
Dalam kamus bahasa Inggris, flexing sebetulnya bahasa slang yang artinya membual, menyombongkan diri atau pamer (boast, brag, show off). Yang menjadikan perilaku ini dipersepsikan negatif adalah karena ‘diatraksikan’ secara berlebihan. Sebetulnya, menurut saya Kalau dilakukan secara wajar, perilaku ini Enggak akan ‘mengusik’ perasaan warganet.
Mungkin, flexing belum Tamat masuk kategori ‘penyakit’ psikologis. Meskipun secara individual Dapat saja dipraktikkan oleh mereka yang mengalami masalah kepribadian. Merasa insecure, butuh pengakuan sosial, atau karena tekanan sosial. Pertanyaannya, Kalau perilaku ini bersifat ‘patologis’, apakah Eksis obatnya?
Sebelum bicara ‘obat’ (solusi), tampaknya Eksis dua hal yang perlu dianalisa. Pertama, flexing tampaknya sangat sulit dihentikan, karena dalam banyak konteks ia digunakan sebagai strategi promosi produk. Tanpa flexing, penjualan Dekat dipastikan Senyap. Kedua, nyaris Enggak Eksis penghalang (entry barriers) bagi setiap orang yang mau melakukan flexing. Secara hukum Enggak dilarang kecuali Eksis yang memperkarakannya, dan secara moral dinilai sangat relatif. Yang Dapat menghentikannya hanyalah dirinya sendiri.
Di waktu yang sama, bagi penyedia platform media sosial, konten-konten flexing tampaknya Bahkan menguntungkan karena Membangun aktivitas bermedia sosial semakin ramai. Semakin banyak konten atraktif akan semakin interaktif, engage, semakin betah berlama-Lamban bermedsos, dan menarik pengguna baru. Kita Paham, model komunikasi di medsos bersifat dua arah. Eksis kolom ‘komentar’ yang memfasilitasi pemberian umpan balik, meski kurang memungkinkan terjadinya dialog mendalam.
Solusi flexing
Penyebab perilaku flexing memang bersifat dua sisi. Eksis Unsur internal dan eksternal. Eksis Unsur pendorong dan penarik. Eksis permintaan dan penawaran. Sehingga menurut saya solusinya harus dua sudut, yakni dari sisi kreator maupun sisi penikmat.
Dari sisi kreator, mereka perlu menyadari bahwa flexing boleh jadi akan menarik atensi banyak orang, Tetapi belum tentu bersifat jangka panjang (long-term). Pamer kehebatan atau pencapaian personal Mempunyai jangka waktu. Para penikmat konten akan pada titik jenuh, dan akhirnya memaksa para kreator Demi menghadirkan sesuatu yang lebih secara Maju-menerus hingga mereka Enggak sanggup Tengah memuaskan para penikmatnya.
Selain itu, ‘menjual’ profil personal pada umumnya Enggak akan bertahan Lamban. Jangankan mereka yang hanya Dapat pamer. Figur-figur publik yang punya karya pun Eksis masanya. Eksis waktunya ‘bermata air’, Eksis waktunya ‘berair mata’.
Dari sisi penikmat, mereka juga harus menyadari bahwa segala konten yang dilihat di media sosial Enggak selalu sesuai dengan realita. Terutama konten yang Eksis di TikTok, yang secara Watak lebih berorientasi kesenangan dan keseruan. Mereka harus bijak dan Enggak terlalu mudah kagum dengan apa yang dilihat.
Bahkan, Eksis baiknya mereka Enggak memberi ruang terhadap fenomena flexing, misalnya Enggak mem-follow akun-akun bervisi flexing. Kalau ini menjadi gerakan masif, di masa depan, boleh jadi orang Bahkan akan merasa malu Kalau melakukan flexing.
Fenomena flexing memang Enggak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi sebagai negara yang berada di fase transisi kemajuan dan didominasi kelas menengah, Kesempatan munculnya orang-orang ‘sok kaya’ cukup besar. Kelas menengah tentu Enggak miskin, dan juga Enggak kaya, Tetapi Mau terlihat lebih di mata orang lain. Sebetulnya ini hal yang manusiawi, Dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bertetangga. Tetapi di media sosial, ruang maya menjadi ‘pasar bebas’ setiap orang Demi memamerkan apapun secara berlebihan.
Edukasi anti-flexing
Gaya pamer yang berlebihan ini, menurut saya, berbahaya bagi anak-anak dan generasi mendatang. Sebagai pribumi digital (digital native) yang tiap hari mengakses media sosial, anak-anak generasi alfa secara rutin dijejali dengan Variasi konten beraroma flexing. Mereka menyangka Seluruh yang ditontonnya adalah Konkret. Mereka kemudian berekspektasi orang tuanya Mempunyai kemewahan yang orang lain miliki.
Demi itu pendidikan anti-flexing sangat dibutuhkan. Lingkaran pertama tentu edukasi yang harus diberikan oleh orang Sepuh di keluarga. Yang terpenting orang Sepuh harus Dapat menjadi Misalnya perilaku wajar dan layak. Mulai dari gaya berpakaian, gawai hingga kendaraan yang dimiliki.
Di sekolah, anak-anak seyogyanya Enggak diberikan ruang Demi saling berkompetisi memamerkan merek barang yang dimilikinya. Demikian pula di lingkaran kehidupan sosial lainnya. Kalau Enggak dimulai sejak Pagi, kita khawatir generasi yang akan datang lebih mementingkan penampilan maya dibanding mutu Konkret.

