Nyali Gede Demi Moge

DULU saya punya tetangga yang Mempunyai moge. Setiap kali dia lewat dengan mogenya itu di depan rumah, telinga ini serasa diinvasi. Saban kali dia manasin mesin moge kebanggaannya itu, jantung ini serasa diteror. Geregetan, kesal, marah Kombinasi aduk jadi satu.

Bunyi moge yang keras cenderung ngebas tetapi sember Betul-Betul mengganggu. Apalagi, dia tak kenal waktu dalam menggauli mogenya. Tak jarang, pada malam hari dia menghidupkan mesin, menggeber-gebernya. Suaranya sungguh Membikin sakit kepala.

Tak hanya saya, tetangga Sekeliling punya perasaan yang sama. Sama-sama geregetan, kesal, marah, tetapi semuanya Sekadar disimpan dalam hati. Paling-paling hanya kasak-kusuk tanpa mau mengungkapkan langsung ke empunya moge. Alasannya ogah ribut dengan tetangga. Tak Lezat, kata mereka.

Moge alias motor gede identik dengan arogansi, itulah persepsi banyak orang yang mustahil dimungkiri. Moge identik dengan egoisme, itu juga anggapan yang tak mungkin dikesampingkan.

Tak terhitung Kembali peristiwa yang mengesankan kesombongan pengendara moge di jalanan. Ketika konvoi, mereka menganggap jalanan seperti Punya sendiri. Yang lain numpang sehingga harus rela dipinggirkan.

Banyak sekali testimoni Kaum Biasa yang menjadi korban arogansi konvoi moge. Di media sosial bertebaran rekaman betapa mereka terpaksa mengalah agar tak kena masalah. Seorang ibu bahkan Tamat terperosok ke sawah karena tak berdaya dipepet moge. Dua hari Lampau, seorang biker di Bandung pun jadi korban penganiayaan pengendara moge.

Cek Artikel:  Pemimpin Kagetan

Ketika konvoi, pengendara moge tak punya rasa takut. Personil TNI pun mereka Musuh seperti yang terjadi di Bukittinggi, dua tahun silam. Mereka mengeroyok, bahkan mengancam menembak Serda M Yusuf dan Serda Mustari. Akhirnya, lima pengendara moge itu berurusan dengan hukum.

Ulah pengendara moge terjadi Kembali baru-baru ini. Peristiwanya lebih tragis, lebih menguras emosi. Bayangkan, dua anak kembar berusia 8 tahun, Hasan Firdaus dan Husen Firdaus, harus kehilangan nyawa akibat ditabrak pengendara moge. Kejadiannya di Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu (12/3).

Menurut saksi, rombongan moge melaju kencang dari arah Banjar menuju Pangandaran. Ketika Hasan dan Husen menyeberang, tabrakan tak terelakkan. Saking kerasnya benturan, tubuh kedua bocah terpental hingga 10 meter. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kita ikut berduka.

Kecelakaan di jalan raya yang mengakibatkan orang melepas nyawa sebenarnya jamak terjadi. Data menunjukkan pada 2020 kasus meninggal dunia akibat lakalantas tercatat 23.529. Artinya, rata-rata korban meninggal dalam kecelakaan Lampau lintas 1.960 jiwa per bulan.

Tetapi, persoalan menjadi lain ketika kecelakaan melibatkan moge. Atensi publik tersedot ke sana. Sorotan miring mengarah ke pengendara. Jenis-Jenis komentar sumbang hingga sumpah serapah tumpah ruah kepada mereka. Demikian pula kali ini, apalagi korbannya dua bocah. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang tinggal di Pangandaran tak ketinggalan.

Cek Artikel:  Jahatnya Perundungan

”Sudah saatnya touring moge diatur dengan ketat… jalan di Indonesia terutama country side/daerah tidaklah luas/lebar & banyak yang melewati perkampungan. Disiplin moge dalam touring Demi mematuhi dan waspada terhadap kecelakaan yang Dapat fatal Semestinya menjadi hal yang wajib,” kata Susi di akun Twitter-nya, @susipudjiastuti.

Stigma bahwa pengendara moge arogan, Arogan, beringas, dan mentang-mentang kian kuat melekat. Terlebih, setelah kejadian, penabrak memberikan Doku Rp50 juta kepada keluarga korban. Entah Demi apa Doku itu. Demi damai? Agar kasus Tak berlanjut ke pidana? Yang Niscaya, hingga kemarin polisi belum menetapkan pelaku sebagai tersangka. Terdapat kekhawatiran perkara itu akan selesai dengan Doku Rp50 juta. Nyali polisi dipertaruhkan.

Pengendara moge ialah orang-orang istimewa karena mereka cenderung diistimewakan. Lihat saja ketika konvoi, mereka kerap dikawal petugas.

Terdapat voorijder. Mereka seolah-olah pejabat negara atau tamu negara yang boleh mendapat hak lebih dengan mengurangi hak orang lain di jalan.

Perlakuan istimewa juga tampak di mal-mal, di kafe-kafe, di hotel-hotel berkelas. Mereka mendapatkan tempat parkir Tertentu di depan gedung, malah kadang di samping pintu masuk.

Cek Artikel:  Memperjuangkan Kehidupan

Terdapat yang menyebut moge ialah motor dengan cc di atas 250. Terdapat pula yang berpendapat disebut moge Kalau cc-nya di atas 400. Harganya juga istimewa, mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Ia hanya Dapat dibeli orang-orang dengan isi kantong istimewa. Sayangnya, karena itu, mereka diistimewakan.

Tak mudah memperbaiki Imej pengendara moge. Ia kadung dicap Jelek, bahkan sudah dari sononya. Klub moge sudah Terdapat sejak Era Hindia Belanda pada 1900-an. Namanya Magneet yang dibentuk pada 1913 sebagai persatuan pengendara sepeda motor atau motor-wielrijders bond. Anggotanya orang Belanda dan Eropa di Batavia.

Magneet juga dibenci masyarakat Ketika itu karena kerap berulah. Ketika konvoi, tak jarang mereka menabrak gerobak, ayam, atau pasar. Dalam catatan sejarah, mereka bahkan pernah menyebabkan seorang gadis yang mengendarai sepeda bernama Moenah tewas.

Bahwa klub moge Ketika ini dipersepsikan arogan tentu bukan karena gen mereka arogan. Mereka katanya juga sudah berusaha memperbaiki diri. Tetapi, selama Tetap merasa diri istimewa dan Maju diperlakukan istimewa, termasuk oleh aparat penegak hukum, jangan harap masyarakat Dapat menerima keberadaan mereka.

Estetikanya, moge Demi mereka yang berbadan gede. Tentu saja juga harus berpundi-pundi gede. Karena itu, Demi menertibkan mereka kiranya butuh nyali gede.

Mungkin Anda Menyukai