NU-Muhammadiyah dan Konsolidasi Demokrasi

NU-Muhammadiyah dan Konsolidasi Demokrasi
(Dok. Pribadi)

DI negara-negara yang demokrasinya sudah relatif mapan, organisasi nonpemerintah (NGO) mendukung partai politik tertentu atau mendukung seseorang untuk duduk di jabatan politik tertentu, baik di badan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, merupakan hal yang lumrah. Bahkan, banyak NGO yang lahir secara sengaja untuk kepentingan partai politik tertentu.

Tetapi, di Indonesia lain ceritanya. Antara NGO dan partai politik lebih sering berseberang jalan laksana minyak dan air yang meskipun sama-sama zat cair, keduanya sulit disatukan. Mungkin karena melihat realitas sepeti itulah, tidak sedikit aktivis organisasi kemasyarakatan (ormas), terlebih aktivis LSM, yang cenderung alergi dengan partai politik.

Kalau NU menempuh langkah ‘kembali ke khitah’ untuk menghindari benturan kepentingan dengan partai politik, Muhammadiyah menempuh langkah menjaga kedekatan/jarak yang sama dengan semua partai politik. Itulah salah satu sebab mengapa Partai Kondusifat Nasional (PAN) yang walaupun secara hostoris lahir dari rahim Muhammadiyah, dalam perjalanannya tak penah bisa benar-benar menyatu dengan Muhammadiyah. Begitupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang walaupun dalam perjalanan sejarahnya benar-benar tak bisa dipisahkan dari NU, tapi akan selalu ada pihak-pihak yang berusaha memisahkannya.

Baca juga : KKN Plus, Ruang Perjumpaan Muhammadiyah-NU

 

Antara parpol dan ormas

Antara parpol dan ormas seyogianya tak dilihat secara vis a vis. Keduanya merupakan wahana agregasi kepentingan masyarakat yang saling mengisi. Eksis empat fungsi pokok parpol, yakni (1) sebagai sarana komunikasi politik; (2) sebagai sarana sosialisasi politik; (3) sebagai sarana rekrutmen politik; dan (4) sebagai sarana pengatur konflik. Karena fungsinya yang demikian penting, parpol kerap disebut sebagai pilar utama demokrasi.

Cek Artikel:  Guru dan Absurditas Kitab Teks

Baca juga : NU Muhammadiyah sudah Dapat Jatah, Giliran MUI Kaji Izin Kelola Tambang

Masalahnya memang, bagi masyarakat Indonesia, fungsi parpol masih jauh panggang dari api. Alih-alih menjadi sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta pengatur konflik bagi masyarakat, partai-partai yang ada malah cenderung menyumbat komunikasi dan sosialisasi politik yang sehat serta memperluas dan mempertajam konflik.

Bukan berfungsinya parpol dan parlemen sebagai sarana pendidikan politik, penyerap dan penyalur aspirasi, serta pengatur konflik bagi rakyat telah mendorong ormas untuk mengisi atau mengambil alih fungsi parpol. Maka itu, ormas-ormas yang berpengaruh, terutama NU dan Muhammadiyah, pun berfungsi pula sebagai penyerap dan penyalur  aspirasi rakyat, termasuk dalam pencalonan presiden dan anggota legislatif.

 

Baca juga : 4 Hal yang Disampaikan Jokowi dalam Pertemuan dengan Presiden UEA

Penyelamatan konsolidasi demokrasi

Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan (1991), ada empat kekuatan pokok yang bisa berperan maksimal dalam konsolidasi demokrasi. Pertama, masyarakat sipil (civil society) yang bebas dan aktif. Kedua, masyarakat politik yang relatif otonom. Ketiga, masyarakat ekonomi yang dilembagakan (Linz dan Stepan, 2001:41).

Cek Artikel:  Berbarengan Niscayakan Perubahan

Yang dimaksud ‘masyarakat sipil’ (civil society) menurut Linz dan Stepan ialah arena tempat kelompok-kelompok, gerakan-gerakan, dan upaya-upaya individual yang diorganisasi sendiri dan relatif otonom berusaha untuk menyuarakan nilai-nilai, mendirikan perkumpulan, dan menggalang solidaritas serta memperjuangkan kepentingan mereka.  

Baca juga : PBNU Siap Kelola Tambang dengan Halal, Muhammadiyah belum Beri Kepastian

Maksudnya, selain masyarakat politik (seperti parpol) dan lembaga ekonomi (seperti bank sentral), ormas (seperti NU dan Muhammadiyah) pun menurut Linz dan Stepan sangat diharapkan peranannya dalam membangun konsolidasi demokrasi. Sebagai basis kekuatan civil society, NU dan Muhammadiyah bukan hanya sah, melainkan juga harus memperjuangkan kepentingan politik, termasuk ikut menentukan siapa-siapa saja yang layak dipilih dan tidak dipilih untuk mengisi lembaga eksekutif dan atau legislatif dalam perhelatan pemilu.

Jadi, jika ormas mendorong kader-kader terbaiknya untuk mengisi jabatan-jabatan strategis, seyogianya dilihat secara positif. Hal itu sebagai bagian dari upaya agar jabatan-jabatan strategis (yang menentukan keberhasilan konsolidasi demokrasi) tidak diisi oleh tokoh-tokoh yang terbukti kinerjanya sangat buruk, misalnya terbukti korupsi, terbukti melanggar HAM, merusak lingkungan, dan melecehkan perempuan.

 

Spesialis yang bermoral

Dalam soal mengelola negara, jangan main-main, harus diberikan kepada ahlinya. Kalau tidak, tunggulah kehancurannya. Apalagi untuk bidang-bidang yang bertugas menangani pendidikan dan agama. Maka itu, jika Anda berpendapat bahwa kondisi bangsa saat ini tidak baik-baik saja, penyebab utamanya karena dikelola oleh yang bukan ahlinya.

Cek Artikel:  Kejar Tayang Kinerja Semu Pengelolaan APBN 2023

Kalau pengelolaan negara diserahkan pada orang-orang serakah, misalnya, tunggulah kebangkrutannya karena kekayaan negara akan dianggap sebagai kekayaan pribadi pejabat negara, bukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Akan tetapi, di tengah budaya politik yang koruptif seperti sekarang ini, rasanya tidak mudah untuk melahirkan orang-orang yang luput dari keserakahan. Bayangkan, untuk meraih jabatan politik, kursi legislatif, misalnya, dibutuhkan dana hingga puluhan miliar, bukan sekadar untuk biasa kampanye, melainkan juga untuk ‘menyogok’ para pemilih. Pertanyaannya, mungkinkah kita mengharapkan lahirnya para pengelola negara dari kalangan yang suka menyogok untuk memenangkan dirinya? Meminjam syair lagi Ebiet G Ade, ‘mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang‘.

Selain soal keahlian dan kecakapan, mengelola negara juga ialah soal tanggung jawab moral. Maka itu, pemberian jabatan kepada orang-orang yang memiliki integritas moral sangatlah penting. Kepada presiden baru, semoga bisa memilih anggota kabinet yang terdiri dari para ahli (zaken) yang memiliki integritas moral. Sosok-sosok semacam itu bisa diambil dari mana saja, dari parpol, kampus, juga dari ormas yang sudah terbukti dan teruji bisa melahirkan kader-kader mumpuni dan berintegritas. Wallahualam bissawab!

Mungkin Anda Menyukai