
MAJALAH ekonomi Global terkemuka The Economist pada edisi 16 Agustus Lewat menurunkan esai dengan judul provokatif, Indonesia Wants to Export Moderate Islam.
Di salah satu paragrafnya, The Economist melaporkan, “Every Christmas since then, members of the country’s largest muslim group, Nahdlatul Ulama (NU), have gathered outside churches in Indonesia to ensure that Christians can worship in safety. Now the powerful islamic organisation has a more ambitious goal: to spread it’s moderate views across the muslim world.”
Esai itu menggambarkan kondisi sejak awal 2000-an, ketika muncul berbagai ancaman kekerasan terhadap minoritas Keyakinan terutama pengeboman gereja-geraja. Gus Dur yang waktu itu Ketua Lazim PBNU, menginstruksikan kepada Banser-NU Buat menjaga gereja setiap peringatan Hari Natal. Tugas itu, kini sudah berusia 22 tahun. Bersamaan dengan memasuki abad kedua di Dasar kepemimpinan Gus Yahya, NU hendak mengekspor apa yang disebut Islam moderat dan toleran itu ke seluruh dunia.
Sementara itu, seorang wartawan terkemuka Amerika Perkumpulan yang tinggal di Singapura, James Dorsey, menyoroti peran signifikan NU dalam mengusung Islam moderat. Dorsey mengikuti tiga event besar NU di level regional dan Global, Merukapan R-20, Muktamar Fiqh Peradaban, dan ASEAN Intercultural and Interreligious Dialog Conference (ASEAN IIDC) pada 7 Agustus Lewat yang dituanrumahi oleh Nahdlatul Ulama.
Jurnalis Amerika itu merilis podcast pada channel Youtube miliknya The Turbulent World James Dorsey.net dengan judul Indonesia Pushes a Civilizational Approach to Countering Polarisation. Kontra polarisasi itu Kembali-Kembali bukan hanya di dalam negeri Indonesia.
Meskipun dengan judul “Indonesia”, yang dimaksud oleh kedua tulisan itu ialah Nahdlatul Ulama.
Selama dua tahun terakhir di Dasar kepemimpinan Gus Yahya, NU telah meyelenggarakan tiga event besar berskala regional dan Global ASEAN plus yang menandai hari lahir NU sejak berdirinya dalam tahun Hijriah 16 Rajab 1344.
R-20 melibatkan Keyakinan-Keyakinan dan sekte-sekte serta kepercayaan di berbagai belahan dunia, bersamaan dengan kepresidenan G-20 Indonesia 2022. Muktamar Fiqh Peradaban melibatkan Golongan-Golongan dan Kategori-Kategori Islam di seluruh dunia bukan hanya dunia Islam.
Sementara itu, ASEAN IIDC pada 2023 dengan lingkup ASEAN Plus termasuk negara-negara maju yang melakukan kerja sama dengan ASEAN.
Kedua publikasi di atas, yang diwakili oleh The Economist dan Dorsey boleh jadi menandai perluasan perhatian Global terhadap apa yang dalam wacana Rekanan Global disebut sebagai aktor transnasional keagamaan (religious transnational actors, RTA) tentang Islam, tetapi dengan visi dan agenda toleran dan perdamaian. Sejauh ini perhatian terhadap RTA Islam cenderung didominasi oleh diskursus Tertentu dan ekstrem, bahkan penyeru kekerasan.
Kemunculan Golongan-Golongan transnasional yang mengusung isu sektarian berbasis teologis, ataupun agenda berdirinya Khilafah Islamiyah seperti Hizbut Tahrir, serta Golongan penyeru kekerasan, antara lain Jamaah Islamiyah, IS, dan Boko Haram, menjadi tantangan, bahkan ancaman bagi perdamaian Dunia.
Di pusaran masalah ini, Nahdlatul Ulama dari Indonesia barangkali akan menjadi bagian dari RTA yang membawa visi toleran dan perdamaian. Bagi NU, ini ialah Ketika kebangkitan bersamaan dengan melangkah ke abad kedua dengan slogan “Merawat Semesta Membangun Peradaban.”
NU, Aswaja, dan Sunni
Dalam konteks RTA, NU sulit hanya Buat disebut Golongan Sunni. NU terlalu spesifik Kalau dibandingkan dengan gerakan-gerakan Sunni yang lain. Banyak Golongan yang dijuluki Sunni Malah menawarkan identitas politik Islam dan kekerasan. NU juga berbeda dengan Golongan-Golongan Sunni modern di berbagai negara di dunia yang meninggalkan turast, tradisi isnad dan ritual-ritual lokal karena diangaap bidah.
Posisi NU Malah berpegang erat pada turats dan tradisi isnad dengan metodologi yang ketat, juga mengakomodasi ritual dan tradisi lokal serta ilmu pengetahuan modern. Dalam klaimnya sendiri, NU menyebut dirinya sebagai ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah (Aswaja an-Nahdliyah).
Sebelum kebangkitan Eropa, Aswaja ialah salah satu peradaban dunia. Aswaja menurun ketika Barat maju. Tetapi kini, Aswaja Terbangun kembali. Aswaja NU dicirikan oleh metodologi ijtihad dalam menanggapi perubahan-perubahan di tengah masyarakat. Seluruh keputusan dan konsensus organisasi didasarkan pada perspektif Keyakinan melalui pelacakan terhadap literatur turats, metodologi para ulama klasik, berpegang pada isnad, serta ilmu pengetahuan modern. Termasuk, mengakomodasi tradisi dan ritual lokal serta perkembangan masyarakat modern pada umumnya.
Secara organisasi Aswaja an-Nahdliyah Enggak didasarkan pada ideologi Islam modern. Ia lebih dekat dengan tasawuf dan jaringan tarekat, serta konsensus Rekanan dengan kenegaraan dan lembaga-lembaga Global. NU lebih didasarkan pada fungsi, apakah absah secara metodologi dan memberikan keleluasaan kepada aspirasi dan praktik keagamaan, khususnya Islam atau Enggak. NU menolak pendasaran gerakan pada identitas keagamaan ideologis, melainkan berpegang pada konsensus nasional, regional, dan Global.
Menerabas batas
Penyelenggaraan event regional dan internasionl oleh NU ini, banyak menerabas batas-batas kovensional guna memperluas cakupan dan batasan identitas keagamaan yang mapan. Pada Muktamar Fiqh Peradaban 7 Februari 2023 di Surabaya, NU secara tegas tanpa reserve menerima secara syar’i eksistensi PBB sebagai mekanisme tata dunia perdamaian dan sebagai Perhimpunan konsensus negara-negara bangsa. NU menerima hasil konsensus mereka tentang Deklarasi Lazim Hak-Hak Asasi Sosok, dan sekaligus menghapus imajinasi Khilafah Islamiyah.
Ijma NU terhadap konsensus Global tersebut setara dengan konsensus NU atas eksistensi negara kesatuan RI dengan landasan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pada Ketika yang sama, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sebagai organisasi yang menghimpun Dunia Islam atau negara-negara mayoritas muslim, Tetap mempersoalkan beberapa aspek substansi DUHAM yang dianggap bertentangan dengan syariah Islam.
Dengan demikian, Aswaja yang dipeluk NU berbeda dengan Sunni pada umumnya di berbagai negara termasuk gerakan-gerakan Islam lain di Indonesia. Pada kasus R-20 dan ASEAN IIDC, NU bahkan telah memperluas cakupan konsensus bukan hanya di antara kalangan NU dan muslim, melainkan juga Keyakinan-Keyakinan lain dalam usaha Buat mengikis Keyakinan sebagai basis politik identitas, senjata konflik, dan polarisasi masyarakat. Dari sisi ini, kehadiran NU dalam kancah Global bukan hanya RTA Islam, melainkan juga RTA Keyakinan-Keyakinan.
Begitu juga dalam penyelenggaraan Muktamar Fiqh Peradaban. NU telah menstranformasi geopolitik, yang Enggak hanya mendasarkan pada apa yang hingga hari ini dikenal dengan “Dunia Islam”, tetapi juga Seluruh Golongan Islam di dunia. NU dalam muktamar tersebut Enggak hanya mengundang perwakilan dari negara-negara mayoritas muslim, tetapi juga Golongan Islam dari negara-negara minoritas muslim, seperti Eropa dan Eropa Timur, Rusia, Tiongkok, India, Australia, dan Amerika Perkumpulan.
Dengan demikian, kebangkitan Aswaja Enggak harus dimaknai sebagai dakwah Islam Aswaja ke dunia Global, tetapi yang lebih Krusial ialah misi pengikisan Keyakinan sebagai basis ideologi identitas politik, dan polarisasi Keyakinan-Keyakinan, serta identitas geopolitik yang berbasis pada Keyakinan tertentu.
Kekuatan lunak
Perluasan RTA dalam perspektif diplomasi kekuatan lunak (soft power diplomacy) menjadi kekuatan baru dalam ranah pengaruh Indonesia di arena Global, bukan hanya didominasi oleh pemerintah, melainkan juga peran aktif kalangan masyarakat sipil. Itulah barangkali yang dimaksud Dorsey di atas sebagai kontrapolarisasi melalui gerakan sipil.
Tetapi, secara teoritis, kekuatan lunak Pandai berhasil dengan Berkualitas oleh suatu negara, Kalau didukung oleh kekuatan keras (hard power), seperti militer dan ekonomi. Di Dasar Presiden Jokowi, kekuatan militer dan ekonomi Indonesia menampakkan pengaruh besar, bukan hanya secara regional, melainkan juga di tingkat Global. Oleh karena itu, kerja sama erat antara pemerintah dan NU, juga masyarakat sipil Keyakinan-Keyakinan yang lain, menjadi kunci bagi keberhasilan RTA, sekaligus pengaruh Indonesia secara Global.
Dengan demikian, diplomasi kekuatan lunak melalui Islam toleran sebagai RTA, Enggak cukup oleh pemerintah, tetapi harus melibatkan kalangan masyarakat sipil yang kuat. Oleh karena itu, visi dan pemikiran Aswaja an-Nahdliyah yang selama ini tenggelam di Dasar bayang-bayang Sunni modern dan Syiah, juga sekularisme dari Barat, kemudian ikut mewarnai diskursus dan konsensus dunia Buat mengikis Keyakinan sebagai identitas politik dan polarisasi masyarakat.
Bagi pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri RI, diplomasi kekuatan lunak berupa Islam toleran dan misi perdamaian kerja sama dengan ormas-ormas Islam moderat dan toleran tidaklah baru. Pasalnya, hal itu telah dilakukan sejak maraknya terorisme, ekstremisme, serta ancaman kekerasan lainnya.
Tetapi, kini tantangannya bukan hanya terorisme dan ekstremisme, melainkan juga polarisasi masyarakat yang di atas permukaan lebih lunak, tetapi laten merasuk ke dalam relung kehidupan sosial politik dan budaya keseharian masayarakat. Situasi ini menjangkiti bukan hanya masyarakat Indonesia, melainkan juga diakui merasuk ke masyarakat di seluruh dunia.
Gerakan semacam itu, tentu saja, menuntut keberlanjutan, perencanaan, dan penguatan jaringan transnasional di seluruh dunia Enggak pandang apa pun agamanya.