‘THE history of Indonesia – the largest Muslim-majority country in the world – and that of its largest Islamic organization, the NU, in fact offer the keys to a better understanding of the genesis of the particular call for Humanitarian Islam voiced in recent years, in light of the manifold social, political and economic challenges faced by the country and the wider Islamic world’. (Rudiger Lohlker, Katharina Ivanyi (eds), 2023:2)
Pada 5-6 November 2024, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hendak menginisiasi suatu International Conference on Humanitarian Islam atau Islam lil Insaniyyah di Jakarta. Kegiatan itu merupakan kerja sama PBNU dengan Universitas Indonesia (UI) dan Center for Shared Civilizational Values (CSCV), sebuah lembaga Dunia yang bermarkas di North Carolina AS yang didirikan dan dipimpin oleh KH Mustofa Bisri atau Gus Mus.
Konferensi yang akan digelar beberapa hari mendatang itu merupakan kelanjutan dari konferensi sebelumnya yang diadakan di Eropa dan hasilnya sudah diterbitkan oleh sebuah penerbit terkenal di Belanda, Brill, pada 2023, yang sebagian kalimatnya saya kutip di atas. Bedanya, Apabila para kontributor yang telah dibukukan dengan judul Humanitarian Islam: Reflecting on an Islamic Concept tersebut semuanya berasal dari akademisi Eropa, kali ini sebagian besar akademisi berasal dari Amerika Perkumpulan dan satu dua dari Australia, Indonesia dan Eropa.
Pada Naskah itu, para kontributor memberikan ulasan dan menguji konsep humanitarian Islam atau Islam lil insaniyyah dari basis ideologis, religius, metodologis dari keilmuan Islam klasik seperti fikih dan tasawuf, tradisi pergulatan intelektual Nusantara klasik atau naskah Islam Nusantara dan kitab kuning, hingga keilmuan modern, respons dari Keyakinan lain, serta pergulatan dengan pemerintah dan kekuasaan. Konferensi tersebut berangkat dari tinjauan kritis terhadap berbagai kegiatan Dunia yang dilakukan oleh PBNU, dari pertengahan Sepuluh tahun kedua abad ke-21 hingga 2022-an yang melahirkan berbagai Berkas yang kini sudah beredar luas di publik.
Bagi para kontributor, Berkas-Berkas tersebut sangat menarik dan menunjukkan jati diri Nahdlatul Ulama dan organisasi underbow-nya, khususnya GP Ansor yang berbasis pada paham Islam ahlussunnah wal jamaah an-Nahdliyah atau aswaja an-Nahdliyah dalam merespons perubahan dunia. Mulai perubahan geopolitik dan geoekonomi hingga merangseknya Keyakinan di ruang publik Mendunia Begitu ini.
Berkas-Berkas itu menunjukkan responsif, kesediaan Buat merefleksi diri, bahkan keharusan Buat melakukan transformasi paham dan gerakan keagamaan mereka, serta mengakomodasi isu-isu Dunia yang selama ini dianggap kontroversial dengan nilai-nilai Keyakinan, seperti hak-hak asasi Orang, nasionalisme, serta kesetaraan Orang dan Kaum negara yang telah mengukuhkan identitas dan populisme politik serta mengundang kekerasan dan diskriminasi di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini.
Pada waktu yang sama, fenomena itu juga melemahkan eksistensi dan efektivitas lembaga dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang Tak cukup memperoleh dukungan eksistensial dari Keyakinan, khususnya Islam. Dengan kata lain, berbagai Berkas dan pertemuan-pertemuan Dunia berikutnya yang diinisiasi oleh PBNU sejak 2023 seperti Religious Twenty (R20) R20, Fiqh Peradaban, IIDC, ISORA dan sebagainya merupakan konsekuensi lanjut dari konten Berkas-Berkas tersebut. Dengan variasi latar belakang para kontributor, konferensi kali ini hendak melengkapi berbagai sudut pandang dan dimensi dari konsep dan implementasi humanitarian Islam tersebut.
MI/Seno
Wacana dan implementasi
Beberapa istilah yang diluncurkan oleh PBNU terkadang Membikin sebagian orang bingung. Maka itu, di sini akan coba dijelaskan beberapa konsep kuncinya sebagai penerang. Dua konsep Penting, fiqh peradaban dan humanitarian Islam, sesungguhnya merupakan upaya Gus Yahya, Ketum PBNU sekarang, Buat melakukan rebranding atas konsep Islam Nusantara sebelumnya sekaligus mempertajam isi dan memperluas sasarannya. Islam Nusantara yang lahir dan viral di era kepemimpinan KH Said Aqil Siradj merupakan kelanjutan dari konsep sebelumnya, seperti pribumisasi Islam di era kepemimpinan Gus Dur dan Islam rahmatan lil alamin di era KH Hasyim Muzadi.
Konsep-konsep tersebut merupakan upaya kontekstualisasi dan revitalisasi fungsi dari konsep-konsep kemasyarakatan dan politik dalam Islam aswaja supaya tetap relevan dan menjawab tuntutan perubahan masyarakat kekinian. Istilah Islam Nusantara dianggap Betul ketika itu sebagai branding dan Langkah Penting dalam merespons tantangan Begitu itu, khususnya radikalisme dan ekstremisme dengan penekanan terhadap konten lokalitas. Islam Nusantara menjadi inti pokok dari Aktualisasi diri lokal Islam aswaja an-Nahdliyah di Indonesia.
Sementara itu, secara intelektual Lanjut melakukan pengkajian dan penelusuran genealogi Islam Nusantara sebagai suatu basis ilmu pengetahuan Islam yang distingtif. Maka itu, perubahan Mendunia perlu Lanjut direspons. Tantangan baru pascaera radikalisme dan ekstremisme yang lebih dipengaruhi oleh perubahan geopolitik dan geoekonomi, serta munculnya populisme Keyakinan dan ras telah menyeret dunia pada penyingkiran dan penindasan terhadap kaum minoritas dan lemah. Bahkan, genosida seperti dilakukan Israel terhadap penduduk Palestina yang menuntut model respons dengan Langkah baru dalam konteks regional dan Dunia yang lebih tajam.
Dengan melakukan itu, menurut Gus Yahya, NU Tak sedang melakukan upaya internasionalisasi dan universalisasi terhadap Islam Nusantara yang berbasis pada aswaja. Akan tetapi, hendak menawarkan nilai-nilai, konsep-konsep, serta pengalaman Nusantara dalam dinamika sosial politik keagamaan sepanjang sejarah yang dialogis, Elastis, dan damai.
Dalam konteks Mendunia, rumusan nilai-nilai lokalitas itu berpeluang memberikan kontribusi bagi perkembangan pengetahuan dan upaya dialog dan perdamaian di tingkat Mendunia. Hal itu sangat relevan, terutama di tengah-tengah goyahnya humanisme yang semata-mata bersumber dari doktrin sekularisme dan keraguan terhadap kemampuan PBB serta digugatnya konsep HAM universal yang telah menyingkirkan sumber-sumber Keyakinan dan lokalitas.
Di sisi lain, nilai-nilai dan institusi Mendunia juga ikut memperkukuh peran dari nilai dan pengalaman lokal dalam ikut membangun perdamaian dunia. Misalnya yang Krusial dalam hal ini ialah upaya fiqh peradaban yang digagas oleh PBNU dalam legitimasi keabsahan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Orang (DUHAM), memperkukuh kembali legitimasi PBB dalam mengambil peran upaya perdamaian dunia, dengan berbasiskan argumen dan dukungan kepercayaan Keyakinan dan dilakukan oleh para pemimpin Keyakinan Islam.
Legitimasi dari para pemimpin dan umat Islam atas DUHAM ini misalnya, Pandai membatalkan Deklarasi Kairo 1990 atas dukungan OKI yang Lagi mempersoalkan sejumlah nilai hak-hak asasi Orang dengan ukuran sejumlah nilai di dalam tafsir Islam konvensional.
Fiqh peradaban dan humanitarian Islam sesungguhnya Mempunyai dimensi penekanannya masing-masing yang saling memperkuat. Sementara itu, fiqh peradaban menggali dan kontekstualisasi warisan intelektual sepanjang sejarah Islam dengan segala metodologi yang Elastis dan konteks lokalitas serta keabsahan kesanadannya guna merespons perubahan mutakhir tersebut. Maka itu, humanitarian Islam lebih melakukan pendalaman dengan multi-approach serta strategi dan penajaman sasaran dari Hasil-Hasil yang dihadirkan oleh fiqh peradaban.
Dengan legitimasi atas eksistensi DUHAM dan PBB berbasis pada keyakinan Islam oleh fiqh peradaban melalui metodologi dan pendekatan yang kokoh, tugas humanitarian Islam mengimplementasikannya dalam realitas politik Mendunia, Berkualitas secara wacana maupun praksis.
Fenomena mutakhir di berbagai negara dan kawasan tentang eksklusivisme dan diskriminasi kewarganegaraan berbasis Keyakinan dan ras serta permusuhan antarbangsa dan Keyakinan telah mengarah pada ancaman genosida dan saling tumpas Tak Mengerti Bilaman berhenti.
Di sisi lain, religiophobia dan islamophobia, ketidakadilan dan kesenjangan Barat dan Timur serta Mendunia South merupakan sejumlah isu yang segera menanti tindak lanjut jalan terang solusinya. Wallahualam bissawab.