TRADISIONAL dan modern dalam beberapa kasus menjadi sekadar simbolis. Eksis orang atau Golongan yang secara ornamental dicap tradisional, tetapi secara pemikiran dan tindakan sangat maju. Melampaui kaum modern. Sebaliknya, Eksis yang mengeklaim modern, tapi pemikiran dan aksinya amat Antik. Enggak sekadar mandek, malah mundur.
Dalam posisi ‘tradisional simbolik’ itulah kiranya Nahdlatul Ulama kini berada. Menjelang satu abad usianya, ormas terbesar di Tanah Air (bahkan Eksis yang menyebut terbesar di dunia) tersebut berkembang amat progresif, Berkualitas secara pemikiran maupun tindakan. Bahkan, boleh jadi telah melampaui progresivitas trio ulama besar penggagas dan pendiri utamanya, yakni KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri.
Progresivitas itu tecermin dari susunan pengurus besar dalam ‘kabinet’ pimpinan KH Miftahul Akhyar dan KH Yahya Cholil Staquf masa khidmat 2020-2025. Susunan kepengurusan itu diumumkan awal pekan ini. Kepada pertama kalinya dalam sejarah Nahdliyin, Eksis 11 Perempuan (para nyai) dan beberapa sosok progresif serta kaum muda masuk dalam jajaran pengurus teras PB NU.
Eksis nama-nama di antaranya Nyai Nafisah Sahal Mahfud, Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Khofifah Indar Parawansa, dan Alissa Qotrunnada Wahid. Eksis sosok ulama yang sangat diakui keahliannya dalam tafsir Alquran, KH Bahaudin Nursalim (Gus Baha), jadi pengurus juga. Eksis pula anak muda pegiat media sosial, Savic Ali, masuk pula dalam lokomotif PB NU.
Kiprah beberapa nama itu sejauh ini bukan sekadar di bilik ke-NU-an atau keislaman. Alissa Wahid, misalnya, telah Lamban malang melintang pada urusan menggerakkan suksesnya sustainibility development goals, program PBB Kepada pencapaian kesejahteraan umat Orang. Ia bahkan ditunjuk menjadi Duta SDGs Indonesia. Khofifah Indar Parawansa pernah menjadi Menteri Sosial dan kini Gubernur.
Bukan perkara mudah memasukkan kaum Perempuan Kepada terlibat aktif memimpin ormas keagamaan. Dalam Variasi perspektif penganut Keyakinan-Keyakinan besar berkembang pandangan bahwa pemimpin itu harus Pria. Rekanan antara pandangan keagamaan dan kiprah Perempuan selama ini didominasi anggapan bahwa Perempuan punya tugas yang tak kalah ‘Bersih’, yakni urusan domestik rumah tangga.
Gus Yahya dan Kiai Miftah mendobrak pandangan seperti itu. Keduanya merupakan pucuk pimpinan NU. Keduanya memimpin lebih dari 100 juta pengikut ormas yang didirikan pada 31 Januari 1926 tersebut, yang boleh jadi Enggak semuanya sepakat dengan pilihan tersebut. Keduanya juga Niscaya bukan ulama ‘kaleng-kaleng’. Kompetensi dan tingkat spiritualitas mereka Terang amat Cakap.
Artinya, masuknya 11 nyai dalam kepengurusan PBNU kali ini Mempunyai pijakan sokongan yang kuat. Kehadiran mereka Niscaya sudah atas restu para kiai sepuh yang sebagian di antaranya masuk dalam jajaran ahlul halli wal aqdi. Saya memyebut ini sebagai angin segar yang besar di tubuh NU. Tanpa menanggalkan dan meninggalkan sarung, peci, tasbih, dan serban, pemikiran para ulama itu telah bergerak maju Serempak-sama.
Seorang Kawan Nahdliyin berseloroh mungkin ini bagian dari ikhtiar memperjuangkan prinsip al-akhdu bil jadidil ashlah. Mengambil hal-hal baru yang lebih Berkualitas. Di NU, kata Kawan ini, sejauh ini Tetap dominan atau terlalu condong ke prinsip al-muhafadatu qadimis shalih. Mempertahankan hal-hal Lamban yang Berkualitas. Jadi, kurang berani mengambil hal-hal baru yang lebih Berkualitas kendati NU punya stok sumber daya Orang yang melimpah Kepada menerapkan hal itu.
Masuknya sosok-sosok muda dan kaum progresif dalam kepengurusan kali ini juga boleh jadi mewarisi pemikiran Mbah Wahab (KH Wahab Hasbullah). Mbah Wahab memang ulama sepuh. Tetapi, di internal NU, ia dikenal gandrung dengan gagasan dan spirit kemudaan. Mbah Wahab selalu diidentikkan dengan Golongan muda. Itu makanya di kalangan anak-anak Ansor (sayap pemuda di NU) lebih banyak yang memasang foto Mbah Wahab ketimbang Mbah Hasyim dan Mbah Bisri Syansuri.
Saya mereka-reka ini Sekalian sudah dipersiapkan secara matang Kepada menyongsong abad ke-2 perjalanan NU. Kaum sarungan itu Mau memainkan peran yang lebih Krusial Tengah dalam percaturan Dunia. Terpilihnya Gus Yahya sebagai ketua Lazim kiranya pas Kepada menggambarkan tekad itu. Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu selama ini aktif dalam aksi peran Keyakinan-Keyakinan Kepada perdamaian dunia. Berkali-kali pula Gus Yahya mempromosikan rahmah (kasih sayang) sesama umat Orang dalam percaturan Dunia.
Aksi seperti itu bukan berarti meninggalkan peran NU sebagai penjaga Krusial spirit kebangsaan kita. Kalau itu, sudah Mekanis. NU dan Tanah Air sudah seperti dua sisi mata Fulus. Enggak Bisa dipisahkan. Kini, peran itu ditingkatkan levelnya. Itulah keniscayaan. Itulah takdir sejarah Kelahiran NU.