MANUSIA itu pada dasarnya tidak peduli terhadap kekuasaan ataukah pada dasarnya suka berkuasa? Mahluk pada dasarnya baik ataukah jahat? Kalau pertanyaan-pertanyaan ini ditanyakan pada Friedrich Nietzsche, seorang filsuf asal Jerman, maka jawabannya mungkin bisa dipakai untuk menjelaskan realitas politik yang kini tengah terjadi di Tanah Air.
Nietzsche ialah seorang filsuf yang sepanjang kariernya mengeksplorasi gagasan tentang ‘kehendak untuk berkuasa’ (will to power).
Kehendak untuk berkuasa, menurut Nietzche adalah energi atau dasar pendorong manusia untuk bertindak. Dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, Nietzche menggunakan terminologi will to power sebagai konsep sentral untuk menjelaskan kenapa semua individu lebih senang memerintah daripada diperintah.
Secara alamiah, individu sesungguhnya tidak akan berkeinginan dirinya menjadi bawahan yang selalu harus menuruti perintah, atau sekadar petugas yang harus mematuhi arahan atasannya. Segala individu, umumnya lebih senang dalam posisi superior dan memiliki kekuasaan yang bisa dimanfaatkan untuk memerintah orang lain.
Salahkah jika ada orang, siapa pun dia –apakah aparatur birokrat, pengusaha, menteri, presiden, dan lain sebagainya— berkeinginan untuk mengejar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan yang telah dimiliki? Tentu tidak. Absah-sah saja siapa pun berusaha mengejar kekuasaan sepanjang hal itu dilakukan berdasar pada prosedur dan hukum yang berlaku. Sekadar, yang menjadi masalah ketika seseorang berusaha merebut kekuasaan dalam kontestasi yang dinilai mencederai etika demokrasi, maka jangan kaget yang muncul adalah rerasan, pergunjingan, dan bahkan kecaman hingga caci-maki.
Hukum dan etika
Di negara mana pun, ketika penguasa berhasil mengangkangi kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya, maka kemungkinan yang tumbuh adalah kekuasaan absolut yang sangat mendominasi.
Pengalaman telah banyak memperlihatkan seorang penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak, mereka cenderung akan bersikap otoriter dan menafikan suara rakyatnya. Kritik dari bawah sering dipersepsi sebagai bentuk resistensi yang harus ditumpas –minimal dibungkam melalui berbagai cara.
Seorang pemimpin yang otoriter dan hanya mengejar kekuasaan, cepat atau lambat akan kehilangan pesona dan legitimasinya. Di banyak negara, pemimpin yang otoriter niscaya akan tumbang karena keangkuhan dirinya sendiri. Demi mencegah agar kekuasaan tidak mempribadi (personalized) pada satu orang atau satu keluarga saja, yang dilakukan di negara demokrasi biasanya adalah melalui mekanisme kontrol yang transparan, dan kewenangannya relatif seimbang satu dengan yang lain.
Kekuasaan dirancang sedemikian rupa, agar tidak mengumpul hanya pada satu orang atau satu kelompok tertentu sehingga mekanisme kontrol bisa bekerja dan berjalan dengan efektif.
Di negara yang demokratis, secara normatif biasanya ada tiga kekuatan yang memiliki pecahan kekuasaan dengan kewenangan yang berbeda satu dengan yang lain. Idealnya kekuatan legislatif yang diwakili para wakil rakyat, mereka harus amanah, kompeten, dan akuntabel ketika menjalan kontrol atas kertas eksekutif.
Sementara itu, kekuatan eksekutif diharapkan dalam menjalankan amanah dari rakyat, mereka juga harus memiliki integritas untuk menjalankan berbagai program yang bertujuan memajukan kesejahteraan masyrakat. Sedangkan kekuatan yudikatif bertugas menjamin terciptanya keadilan bagi semua warga negara.
Kekuasaan akan cenderung menyimpang (abuse of power), ketika pihak yang memiliki dan diberi amanah menjalani kekuasaan itu lebih berpikir untuk kepentingan dirinya, daripada kepentingan rakyat yang dipimpin. Ketika wakil rakyat tidak kompak dan tersegregasi berdasarkan preferensi ideologi dan kepentingan partai politik tempat mereka berasal daripada konsisten menyuarakan kritik atas nama kepentingan rakyat.
Kekuatan yudikatif yang hanya menjadi tukang stempel, dan menjalankan amanah yang dipegang melewati demarkasi batas etika dan moralitas, maka yang terjadi biasanya adalah praktik kolusi, nepotisme dan menyalahgunaan kekuasaan. Munculnya terminologi ‘Mahkamah Keluarga’ sebagaimana ramai diperbincangkan belakangan ini adalah salah satu contoh indikasi adanya persoalan di kekuatan yudikatif kita. Akurat atau tidak, kritik sejumlah pengamat terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi tentu waktulah yang akan membuktikan.
Rute menjadi pemimpin di berbagai negara umumnya sudah diatur dalam ketentuan hukum yang telah dsepakati. Ketentuan tentang siapa yang berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin kota/kabupaten, gubernur atau presiden, semua sudah diatur dalam ketentuan yang rigid.
Ketika Mahkamah Konstitusi sudah mengetuk palu, dan menyatakan seseorang bisa mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden meski belum berusia 40 tahun –asalkan sudah memiliki pengalaman sebagai pimpinan daerah. Jadi, dari aspek hukum sama sekali tidak ada yang keliru kita ada wali kota, bupati atau gubernur mencalonkan diri ikut kontestasi dalam pemilu walau usia mereka belum genap 40 tahun.
Persoalannya adalah dalam pandangan sebagian pengamat, legitimasi seseorang berhak mencalonkan diri ikut kontestasi dalam pemilu sesungguhnya bukan hanya ada-tidaknya rujukan hukum yang menjadi acuan. Di atas tata tertib hukum, soal etika juga tidak bisa dinafikan begitu saja. Meskipun sah-sah saja seseorang wali kota, bupati atau gubernur mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski usianya belum 40 tahun, tetapi pertanyaannya kemudian adalah, apakah proses untuk mencapai tahap itu dilakukan tanpa mencederai etika sosial yang berlaku di masyarakat dan dunia politik kita.
Berbicara soal etika, adalah berbicara soal kepantasan atau kepatutan. Dapat saja seseorang secara hukum tidak bisa disalahkan karena tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Tetapi, seseorang yang dinilai melanggar kepatutan, itu adalah sesuatu yang bisa dirasakan di hati nurani kita.
Mentalitas Dyonisian
Nietzsche adalah seorang filsuf yang dikenal anti sistem. Kebenaran mustahil dikemas dalam satu sistem. Iuran pertanggungans digunakan hanya untuk mencari, menyelami, dan mengoyak asumsi tersembunyi sebuah gagasan –bukan untuk menggiring kepada kesimpulan. Nietzche ialah seorang pemikir yang berfilsafat dengan ‘gada’, yakni ingin menghancurkan apa-apa yang telah mapan, sekaligus menjadi pengajar kecurigaan.
Nietzsche membedakan antara mentalitas Dionysian dan mentalitas Appolonian. Dionysian atau dewa anggur dan kemabukan adalah simbol pendobrakan dari segala batas dan kekangan. Sementara itu, Appolonian atau dewa Mentari, putra dari Jupiter adalah lambang pencerahan dan pengendalian diri.
Appolonian berfungsi mengendalikan mentalitas Dionysian. Taatp orang, ketika terbelenggu dalam mentalitas Dionysian dan lebih banyak didorong oleh ‘Kehendak-untuk-Berkuasa’, maka apa yang mereka lakukan seringkali akan keluar dari norma kepantasan. Seseorang yang dikendalikan mentalitas Dyonisian, mereka akan lebih banyak mengejar kekuasaan untuk dirinya sendiri, sehingga jauh dari amanah.
Dalam buku The Birth of Tragedy, Nietzsche mengemukakan apa yang disebutnya sebagai dorongan Dionysian sebagai sumber tragedi Yunani. Mentalitas Dyonisian adalah kekuatan irasional yang muncul dari sesuatu yang gelap, jauh dari perilaku yang terkategori pantas, di mana beberapa bentuknya bisa dilihat pada perilaku liar dan kegilaan para pemabuk, perilaku seks bebas, dan festival kekejaman yang tanpa batas.
Seseorang yang sudah terkontaminasi mentalitas Dyonisian, mereka umumnya akan memanfaatkan kekuasaan untuk menundukkan orang lain, baik menguntungkan orang itu maupun dengan cara menyakiti mereka. Praktik seseorang yang sudah terbelenggu oleh kehendak untuk berkuasa, bukan tidak mungkin akan lupa diri, lupa akan kepantasan.
Segala yang dilakukan selalu dirasionalisasi sebagai hal yang benar.
Apa dan di mana letak kekeliruannya jika seseorang berkeinginan untuk mendududuki jabatan politis tertentu sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku? Pikiran inilah seringkali yang berkecamuk di benak orang-orang yang berusaha mempertahankan kekuasaannya melalui berbagai cara.
Dalam iklim demokrasi yang memberi semua individu kesempatan dan hak untuk memilih, sesungguhnya tidak perlu terlalu risau dengan langkah pihak-pihak tertentu yang dinilai menabrak norma kepantasan dan dituding hendak mempertahankan kekuasaan melalui politik dinasti. Konstitusi di negara ini menjamin semua orang berhak mengajukan diri ikut dalam kontestasi Pemilu –asalkan tidak melanggar hukum, dan memenuhi syarat yang telah digariskan.
Apabila masyarakat tidak setuju dan muak dengan politik dinasti, cara yang bisa dilakukan sebetulnya sangat mudah. Ya, jangan memilih calon yang dinilai menabrak aturan, dan pilihlah calon lain yang anda nilai mendekati aspirasi politik anda. Inilah esensi dari kehidupan berdemokrasi yang berkembang di tanah air. Sangat mudah dan tidak perlu harus ribut memprotes hal-hal yang terjadi di lingkaran politik level atas.
Sementara itu, bagi partai politik yang merasa calon yang mereka dukung dikhianati atau bahkan dicurangi, upaya yang bisa dilakukan adalah bagaimana melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar mereka makin cerdas dalam memilih.
Tugas partai politik, selain harus terus membangun kedekatan dengan konstituennya dan bagaimana mengembangkan loyalitas pemilih berdasar kesamaan pandangan ideologi, yang tak kalah penting adalah bagaimana melakukan proses pencerahan dan pendidikan kritis kepada masyarakat, agar apa yang mereka pilih dalam pesta demokrasi tidak karena kerja politik pencitraan.
Siapa pun presiden dan calon presiden yang dipilih rakyat harus benar-benar merefleksikan pandangan politik mereka –bukan karena hasil bentukan kampanye yang hanya memoles penampilan dan dukungan.
Maksudnya, dasar pilihan rakyat adalah pada komitmen dan program realistis yang ditawarkan.