Menyantap Nepal yang membara hari-hari ini saya jadi tertarik menghadirkan kembali tulisan saya pada kolom ini, awal 2024 Lewat, berjudul Paradoks Cile. Terdapat kemiripan antara kejadian Nepal baru-baru ini dan peristiwa di Cile pada akhir 2019 Lewat. Kemiripannya: sama-sama bergejolak Ketika perekonomian di kedua negara itu sedang menggeliat.
Di Cile, fenomena itu dikenal sebagai The Chilean Paradox. Paradoks Cile ialah situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dibarengi dengan memperhatikan dan memfasilitasi kepentingan kelas menengah. Ekonomi moncer, tapi yang melulu diurus ialah kelas Dasar. Corak-Corak Sokongan sosial digenjot. Di kelas atas, kenyamanan didapat. Mereka tak ‘tersentuh’ guncangan apa pun.
The Chilean Paradox terjadi ketika kondisi negara itu sedang bagus-bagusnya. Cile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%, lebih Berkualitas daripada Indonesia. Meski dengan Seluruh pencapaian moncer itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang Nyaris berujung pada revolusi.
Peristiwa itulah yang kemudian disebut dengan istilah The Chilean Paradox. Kerusuhan terjadi Bahkan ketika ekonomi sedang bagus-bagusnya dan kemiskinan sudah sangat sukses ditekan. Perkaranya disulut oleh kaum menengah yang lalai diperhatikan.
Kerusuhan tersebut dimotori oleh kelas menengah Cile yang merasa Enggak puas dengan pemerintahan. Kebijakan-kebijakan pemerintah Cile Ketika itu memang terlalu Pusat perhatian kepada 10% masyarakat terbawah, sedangkan kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas Lazim yang layak kurang mendapatkan perhatian.
Salah satu contohnya ialah penaikan tarif transportasi Lazim di jam-jam sibuk sebesar US$1,17 atau Sekeliling Rp16 ribu pada September 2019. Padahal, sembilan bulan sebelumnya (pada Januari), ongkos transportasi Lazim setempat sudah dinaikkan. Keputusan itu Terang memukul kaum menengah pekerja.
Karena itu, demonstrasi pecah di ibu kota Cile, Santiago. Lebih dari 1 juta orang turun ke jalan. Aksi demo bahkan berlangsung sangat keras dan menewaskan 18 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat terjebak Ketika menjarah toko yang kemudian dibakar. Presiden Cile Ketika itu, Sebastian Pinnera, Tamat mengumumkan reshuffle besar-besaran pada kabinet.
Lewat, bagaimana dengan Nepal? Nyaris sama. Kemarahan anak muda di Nepal semakin mengerikan. Unjuk rasa yang dipicu oleh Embargo penggunaan media sosial berujung ricuh hingga menelan korban jiwa. Aksi itu juga menggambarkan kekecewaan masyarakat Nepal terhadap kondisi perekonomian yang tersendat, pengangguran di mana-mana, korupsi merajalela, hingga ketidakstabilan politik.
Padahal Nepal sedang naik kelas meski tak tinggi-tinggi amat. Nepal terbebas dari 10 teratas negara termiskin. Mengutip data Bank Dunia (World Bank), Nepal tercatat sebagai negara dengan pendapatan menengah ke Dasar (lower middle income). Pendapatan per kapita negara tersebut berada di level US$1.447,3 pada 2024.
Dengan jumlah itu, Nepal telah melepas status sebagai salah satu dari 10 negara termiskin di dunia berdasarkan Pengelompokkan dari World Population Review. Dalam Pengelompokkan Bank Dunia, negara berpendapatan menengah ke Dasar Mempunyai pendapatan per kapita di rentang US$1.136-US$4.495.
Dari sisi ekonomi, Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi Nepal mengalami percepatan pada paruh pertama tahun fiskal 2025 (H1FY25). PDB riil tumbuh sebesar 4,9%, naik dari 4,3% pada paruh pertama tahun fiskal 2024. Pertumbuhan itu didorong terutama oleh sektor pertanian dan industri meskipun terjadi perlambatan di sektor jasa.
Nepal juga mencatat inflasi rendah sebesar 5%, turun Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun Lewat sebesar 6,5%. Penurunan itu terutama disebabkan oleh inflasi nonmakanan dan jasa, terutama di perumahan, utilitas, dan layanan restoran. Tetapi, inflasi makanan dan minuman tetap tinggi di 7,5% dengan harga sayuran melonjak 26,6%. Bank Dunia juga memperkirakan ekonomi Nepal akan tumbuh rata-rata 5,4% per tahun pada 2026-2027.
Meski keluar dari status negara miskin, Nepal Lagi menghadapi banyak persoalan terkait dengan kelas menengah mereka. Tantangan struktural yang signifikan Lalu menghambat pertumbuhan domestik dan penciptaan lapangan kerja. Produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan Lagi rendah. Persaingan yang lemah di bidang logistik dan transportasi, serta infrastruktur yang kurang memadai, membatasi ekspor sehingga Enggak Bisa mendorong pertumbuhan ekonomi riil selama beberapa Sepuluh tahun terakhir.
Mengutip Times of India tingkat pengangguran anak muda, khususnya generasi Z, mencapai 20,8%. Secara nasional, tingkat pengangguran Nepal konsisten berada di atas 10% selama beberapa tahun terakhir dan mencapai 10,7% pada 2024. Bilangan-Bilangan itu menggumpal menjadi keresahan Berbarengan, ditambah dengan gaya hidup pejabat dan keluarga pejabat yang Getol pamer.
Karena itu, penutupan medsos akibat para pemilik medsos itu Enggak Taat terhadap aturan Nepal sebenarnya hanya pemicu. Mirip seperti Cile, dalam gambaran makroekonomi, Bilangan-Bilangan statistik memang moncer. Tetapi, kelas menengah lalai diurus. Mereka inilah kaum cerdas yang Niscaya akan ‘cerewet’ terhadap keadaan.
Lewat, bagaimana dengan kita di Indonesia? Secara makroekonomi, Bilangan statistik menunjukkan tanda-tanda positif. Tetapi, tanda-tanda lain yang berhubungan dengan hal-hal lebih mikro, seperti kelas menengah yang terengah-engah, mestinya Enggak boleh diremehkan. Meskipun kondisi Paradoks Cile atau paradoks Nepal itu Enggak terjadi di Indonesia, mengabaikannya sama sekali Terang bukan langkah yang bijak. Maukah negeri ini mendengar, mencatat, dan menindaklanjuti?

