DIPLOMASI itu bukan Sekadar soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang Enggak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni. Karena itu, para diplomat atau negosiator juga mesti paham atau dipahamkan tentang sejarah, kebudayaan, dan seni. Mereka pantang hanya menguasai seluk-beluk politik Global dan tentang hitung-hitungan dagang saja.
Hal-ihwal itulah yang dipahami para diplomat dan negosiator dari Vietnam. Ketika mereka menjadi duta bangsa Buat melunakkan hati pemerintahan Donald Trump yang keras mengenakan tarif resiprokal kepada Vietnam hingga 46%, mereka Malah memulai negosiasi dari ‘menu-menu’ sejarah.
Vietnam sukses menegosiasikan tarif resiprokal Trump, dari sebelumnya 46% menjadi 20%. Vietnam paham, Trump Enggak main-main. Karena itu, pantang bagi mereka menyikapinya secara sepele atau nanggung. Enggak tanggung-tanggung, tim negosiasi ke Trump dipimpin Sekjen Partai Komunis Vietnam To Lam. Ikut mendampingi To Lam, Eksis Presiden Vietnam Luong Cuong dan PM Pham Minh Chinh.
Dari Susunan itu, tampak bahwa Vietnam sekuat tenaga mengerahkan negosiasi dan diplomasi. Sebagian tim bahkan menetap selama 90 hari di Washington DC. Sebagai menu pembuka negosiasi, To Lam dan Rekan-Rekan banyak bicara tentang sejarah kemanusiaan Begitu Amerika Perkumpulan (AS) menyerbu Vietnam.
Bagi Vietnam, menegosiasikan tarif dengan Trump ialah segalanya. Itu disebabkan surplus perdagangan Vietnam terhadap AS sangat tinggi, yakni lebih dari US$123 miliar sepanjang 2024. Vietnam merupakan negara Asia Tenggara yang menjadi basis manufaktur Primer bagi banyak perusahaan asal Barat. Perusahaan sepatu Nike, Adidas, dan Puma menjadikan Vietnam sebagai tuan rumah operasi manufaktur Primer.
Begitu strategisnya pasar AS sehingga urusan tarif timbal balik Trump itu seperti harga Tewas. Mereka pun all-out, sangat total. Mereka tak mau proposal negosiasi mereka, misalnya, dianggap ‘miskin narasi’ oleh ‘Om Sam’. Apalagi bila proposal yang mereka kirim Tiba dianggap bergaya ‘Era batu’ oleh AS, yakni sekadar barter ini dan itu.
Hasilnya pun sepadan. Vietnam Formal mencapai deal dagang dengan AS, tengah pekan ini. Presiden Donald Trump mengumumkan tarif sebesar 20% atas impor dari negara ASEAN itu, turun lebih dari separuh seperti yang diumumkan sebelumnya, yakni 46%. Dalam pengumumannya, Trump menyebut capaian dengan Vietnam itu sebagai ‘great deal of cooperation’.AS juga akan mengenakan tarif yang lebih tinggi sebesar 40% pada barang-barang yang melewati Vietnam dalam suatu proses yang dikenal sebagai ‘trans-shipping’, yang sebenarnya didominasi produk Tiongkok. “Vietnam akan melakukan sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya, memberi Amerika Perkumpulan akses total ke pasar perdagangan mereka,” kata Trump.
“Dengan kata lain, mereka akan membuka pasar mereka ke Amerika Perkumpulan, yang berarti bahwa kami akan dapat menjual produk kami ke Vietnam dengan tarif Nihil,” ujarnya.
Selama ini, Vietnam diuntungkan perusahaan yang memindahkan pabrik dari Tiongkok Buat menghindari tarif yang diumumkan Trump selama masa jabatan pertamanya. Dengan kesepakatan baru itu, Vietnam tak Tengah ‘diuntungkan’ relokasi pabrik Tiongkok yang menghindari tarif Trump ‘jilid I’.
Pada Begitu Vietnam sudah deal serta sukses menjalankan misi diplomasi dan negosiasi, Indonesia Tetap harus berjuang ekstra keras Buat misi yang sama. Keputusan Donald Trump Buat tetap memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap seluruh produk Indonesia menjadi Fakta pahit yang selama ini dikhawatirkan banyak kalangan.
Negosiasi panjang dan berbagai proposal yang diajukan Indonesia, yakni mulai komitmen impor komoditas pangan dan Kekuatan hingga janji investasi, tak Bisa melunakkan niat proteksionis Trump. Padahal, negara-negara tetangga seperti Thailand dan Kamboja, selain Vietnam, Malah berhasil meloloskan penurunan tarif.
Kalau negosiasi tahap lanjutan yang Begitu ini Tetap berlangsung berujung kegagalan, perekonomian Indonesia berada di tubir jurang pelemahan. Kebijakan tarif Trump itu akan sangat memengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar AS.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 nilai ekspor Indonesia ke ‘Negeri Om Sam’ mencapai US$28,18 miliar, naik 9,27% Kalau dibandingkan dengan ekspor tahun sebelumnya. Bilangan itu menunjukkan betapa pentingnya pasar AS bagi perdagangan Indonesia, dengan kontribusi mencapai 9,65% terhadap total ekspor nasional. Penurunan daya saing karena tambahan tarif dikhawatirkan Bisa berpengaruh pada penurunan permintaan terhadap produk ekspor kita, yang pada akhirnya akan berdampak kelesuan industri kita.
Apalagi, industri yang selama ini sangat tergantung pada pasar AS, seperti tekstil, elektronik, alas kaki, dan perikanan, ialah sektor-sektor yang paling rentan. Industri-industri tersebut umumnya bersifat padat karya, menyerap banyak tenaga kerja, dan selama ini berjalan dengan margin keuntungan yang ketat, alias tipis-tipis saja.
Tambahan beban tarif sebesar 32% akan Membikin produk kita lebih mahal di pasar AS Kalau dibandingkan dengan produk serupa dari negara pesaing seperti Thailand, Vietnam, atau Kamboja. Alhasil, negeri ini mesti segera berhitung Dampak sosial yang timbul, yakni potensi lonjakan pengangguran.
Sektor tekstil dan alas kaki, misalnya, menyerap lebih dari 3,6 juta tenaga kerja. Kalau buyer Mendunia mulai memindahkan kontrak produksi mereka ke negara-negara dengan tarif lebih rendah, pemutusan Interaksi kerja secara massal Bisa saja terjadi.
Lalu terang, saya belum Bisa menjawab mengapa Vietnam yang surplus dagangnya terhadap AS jauh lebih tinggi hingga tujuh kali lipat daripada kita Bisa memperoleh diskon tarif resiprokal jadi 20%. Sebaliknya, kita tetap kena tarif lebih tinggi di Bilangan 32%. Mungkin diplomasi dan negosiasi kita kaku, miskin narasi, bergaya Era batu, atau Eksis urusan lain di balik itu. Yang Niscaya, kalau Tiba gagal, ini bukan kegagalan teknis, melainkan kegagalan strategis.

