SULIT dibantah bahwa perang melawan korupsi di negeri ini seperti basa-basi. Kenyataannya, penegakan hukum terhadap koruptor Malah secara berjenjang lemah dan dilemahkan. Lihat saja dari pengungkapan kasus yang tebang pilih, vonis ringan di pengadilan, hingga remisi berulang setiap tahun bagi narapidana korupsi.
Soal remisi itu pula yang Kembali-Kembali menunjukkan Tetap lekatnya keberpihakan terhadap koruptor. Pada momen Idul Fitri 1446 Hijriah, ratusan narapidana korupsi ikut mendapat remisi dan kebanyakan hanya didasarkan Argumen berkelakuan Berkualitas. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan memang menegaskan bahwa remisi merupakan hak setiap narapidana yang telah memenuhi persyaratan tanpa terkecuali. Tetapi, bagi napi korupsi, mestinya terdapat persyaratan tambahan yang mesti dituruti secara ketat.
Persyaratan Tertentu bagi napi korupsi ialah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum Kepada membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya serta telah membayar lunas denda dan Duit pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Persyaratan Tertentu pertama, yakni kesediaan bekerja sama membongkar perkara, sempat Eksis, tapi telah dilemahkan dan Kagak Kembali menjadi kewajiban. Itu berdasarkan Putusan Mahkamah Mulia No 28 P/HUM/2021. Meski begitu, sepatutnya pemerintah, dalam hal ini Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto sebagai ‘pemegang bola’, dapat menunjukkan keberpihakannya, juga penghormatannya, terhadap kerja panjang pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ironisnya, persyaratan yang memang sudah dilemahkan oleh putusan MA itu seperti gayung bersambut di tiap kesempatan pemberian remisi, Berkualitas remisi Lumrah Begitu HUT kemerdekaan RI maupun remisi Tertentu Begitu hari besar keagamaan. Pada Idul Fitri kali ini, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin Kota Bandung, Jawa Barat, menyebutkan sebanyak 288 narapidana korupsi, termasuk Setya Novanto (Setnov), telah mendapat persetujuan mendapatkan remisi.
Besaran remisi Variasi, dari 15 hari, 1 bulan, hingga Eksis yang mendapat remisi 2 bulan. Bagi Setnov yang merupakan koruptor kasus KTP-E, itu merupakan remisi keempat. Pada Lebaran 2023 dan 2024, ia mendapat potongan masing-masing 30 hari. Padahal, pada HUT ke-78 RI, mantan Ketua DPR itu sudah mendapat remisi tiga bulan.
Sementara itu, negara juga belum mengungkapkan soal pelunasan Duit pengganti oleh Setnov. Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat memvonis Setnov harus membayar Duit pengganti sebesar US$7,3 juta (Sekeliling Rp65,7 miliar dengan kurs Rp9.000 Begitu proyek KTP-E dilakukan). Jumlah tersebut dikurangi Rp5 miliar yang sudah dikembalikan dalam proses penuntutan. Hingga 2019, Setnov baru tercatat membayar Sekeliling Rp15,3 miliar.
Kita tentu juga patut curiga akan pemenuhan persyaratan oleh ratusan napi koruptor lainnya yang mendapat remisi seperti Setnov. Pemberian remisi bagi koruptor tanpa disertai pemenuhan persyaratan Layak Membangun publik geram.
Remisi semacam itu Bisa juga disebut bentuk korupsi. Karena itu, sudah semestinya pemberian remisi diusut dan sesegera mungkin dicabut Kalau betul Kagak memenuhi persyaratan. Pencabutan remisi dimungkinkan oleh pengadilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Tipikor.
Karena itu, KPK yang dahulu berhasil menyeret Setnov ke pengadilan pun semestinya menjadi yang terdepan menempuh jalur hukum Kepada pencabutan remisi itu. Sayangnya, seperti tergambar dari pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, lembaga antirasuah periode Begitu ini pun tampak lembek. Johanis Malah mempersempit kemampuan KPK dengan menyatakan lembaga tersebut hanya Mempunyai kewenangan menyidik, menuntut, dan mengeksekusi kasus.
Itu tentu sebuah petaka Begitu seluruh garda terpenting pemberantasan korupsi kompak lembek terhadap koruptor. Kagak mengherankan Kalau alih-alih turun, jumlah kasus korupsi Lalu tinggi dan indikator risikonya pun memburuk.
Pada tahun Lewat, Mendunia insight country risk ratings Kepada Indonesia turun 15 poin Kalau dibandingkan dengan 2023. Indeks persepsi korupsi (CPI) 2024 yang dibanggakan naik, meski sebenarnya hanya tipis 3 poin, nyatanya juga hanya membaik karena perbedaan variabel dari tahun sebelumnya.
Dengan kata lain, korupsi makin subur di negara ini bukan hanya karena kejahatan para pelaku. Itu juga disebabkan negara memang ‘melayani’ para koruptor.

