
MAJALAH Ceoworld pernah merilis hasil survei mengenai negara-negara paling religius di dunia pada 2024. Survei bertajuk World’s Most Religious Countries itu melibatkan 148 negara. Hasilnya, Indonesia dinobatkan sebagai negara ketujuh paling religius di dunia. Di antara negara-negara G-20, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masuk 40 negara paling religius di dunia. Di posisi paling atas ditempati Somalia. Disusul Nigeria, Bangladesh, Ethiopia, Yaman, dan Malawi.
Sebelumnya, lembaga Pew Research Center juga melakukan survei tentang pentingnya Religi dalam kehidupan. Dalam survei yang melibatkan 102 negara itu, Indonesia bahkan menempati posisi teratas sebagai negara paling religius pada 2023. Survei itu juga menempatkan negara-negara di sub-Sahara Afrika, Amerika Latin, dan Distrik Timur Tengah-Afrika Utara, sebagai negara paling religius. Sementara itu, negara-negara yang paling Kagak religius berada di Eropa dan Asia Timur.
Kita tentu berbahagia dengan rilis hasil survei dua lembaga kredibel berkelas dunia tersebut. Sayangnya, di tengah kebahagiaan itu muncul beberapa pertanyaan bernada keraguan. Di antara pertanyaan yang mengemuka ialah mengapa di negara yang paling religius itu kasus-kasus korupsi dengan berbagai ekspresinya Malah menggurita? Padahal, sebagai negara paling religius Sebaiknya kasus korupsi semakin tergerus. Faktanya, koruptor dengan berbagai latar belakang sosial seolah tiada jera melakukan korupsi.
Buat menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat menjelaskan dengan merujuk pandangan Mochtar Lubis dalam Sosok Indonesia (1977). Naskah itu awalnya merupakan pidato kebudayaan Mochtar Lubis di Taman Ismal Marzuki pada 6 April 1977. Mochtar Lubis menjelaskan enam sifat Sosok Indonesia, yakni munafik, enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersifat dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik atau berbakat seni, dan lemah watak atau karakternya.
Meski memicu pro dan kontra, Mochtar Lubis sejatinya Ingin mengungkapkan betapa sering masyarakat Indonesia menunjukkan perilaku yang Kagak sesuai dengan nilai moral meski mengaku taat beragama. Budaya munafik atau hipokrit menjadikan Sosok Indonesia dapat melakukan perbuatan yang paradoks: Berkualitas dan Jelek sekaligus. Seseorang mengaku religius, tetapi pada Demi bersamaan melakukan suap-menyuap dan korupsi.
Pada bagian lain, Mochtar Lubis juga mengingatkan Ungkapan korupsi telah mewujud dalam banyak budaya. Dalam Kembang Rampai Korupsi (1988) dikatakan, korupsi telah bermetamorfosis dalam banyak Paras (multifaces). Ungkapan korupsi dapat berbentuk tindakan menerima Doku sogokan, Doku kopi, Doku lelah, Doku rokok, salam tempel, Doku semir, dan Doku pelancar atau pelumas.
Buat mengelabui hukum, pemberian imbalan biasanya Kagak langsung diberikan kepada pejabat Formal, tetapi melalui isteri, anak, menantu, kerabat, dan Kawan dekatnya. Kondisi itu menjadikan korupsi semakin membudaya sekaligus menggerogoti tiang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan menggunakan perspektif Mochtar Lubis, kita dapat menjelaskan realitas perilaku pejabat publik yang sudah menikmati begitu banyak fasilitas negara, tetapi Tetap korupsi. Mereka ialah tipologi Sosok yang senantiasa Ingin memuaskan keinginan. Padahal, yang namanya keinginan Niscaya Kagak pernah berakhir. Keinginan itu laksana orang Ingin menghilangkan rasa Dahaga dengan minum air laut. Semakin banyak air laut diminum maka akan semakin Dahaga.
Sebagai pengingat, kita dapat merenungkan sabda Nabi Muhammad SAW. Nabi bersabda bahwa Apabila seseorang sudah Mempunyai satu lembah berisi emas, ia Niscaya akan mencari lembah kedua. Apabila lembah kedua yang berisi emas telah diperoleh, ia pun Niscaya mencari lembah ketiga. Begitu seterusnya tabiat Sosok. Sosok Kagak akan pernah merasa puas kecuali setelah mulutnya disumpal dengan tanah alias Tewas (HR Bukhari). Hadis itu mengingatkan bahwa Apabila yang dicari Sosok ialah kepuasan, Niscaya Kagak Terdapat ujungnya.
Buat meminimalkan kasus korupsi, setiap pesohor negeri Krusial diingatkan bahwa kekuasaan itu amanah yang harus dijaga dengan Berkualitas. Ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa kekuasaan merupakan titipan Allah SWT. Dialah pemilik kekuasaan yang sejati. Dia berkuasa Buat memberikan kekuasaan dan kehormatan kepada orang yang dikehendaki. Sebaliknya, Dia juga berkuasa mencabut kekuasaan dari seseorang dan menjadikannya terhina (QS Ali ‘Imran: 26).
Kalam Ilahi itu Terang menjadi hukum yang ditetapkan Tuhan. Hukum itulah yang sedang terjadi pada diri pejabat publik dan pesohor negeri yang terseret dalam kasus korupsi. Mereka yang tadinya berkuasa dan terhormat kemudian kehilangan semuanya. Bukan hanya kekuasaan yang pergi, dia juga harus menerima Realita menjadi orang yang terhinakan. Sekalian itu harus dipahami sebagai hukum yang tak terelakkan Apabila seorang pemimpin atau pejabat Kagak menjaga amanah.
Kasus korupsi yang Lanjut menghiasi pemberitaan di media Krusial menjadi pelajaran (‘ibrah). Siapa pun yang terlena dan bermain-main dengan korupsi pada saatnya akan berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Di negeri paling religius ini, korupsi dengan berbagai ekspresinya harus Betul-Betul menjadi musuh Serempak (common enemy). Semoga Ramadan menjadi momentum bagi para pemimpin Buat membebaskan negeri dari praktik korupsi yang Tetap menggurita. Ingat, Ramadan itu bermakna membakar. Yang harus dibakar tentu nafsu keserakahan yang di antaranya mewujud melalui budaya korupsi.

