PADA 1988, penulis kenamaan asal Jepang, Yoshihara Kunio, merilis Naskah The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Naskah yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Kapitalisme Semu Asia Tenggara itu sangat menghebohkan, Tamat-Tamat Membangun kuping penguasa Orde Baru tersengat. Karena itu, pada September 1991, Kejaksaan Akbar melarang peredaran Naskah tersebut.
Penyebab munculnya pelarangan: Yoshihara Kunio, sang penulis, dianggap mendiskreditkan Presiden Soeharto. Naskah itu dianggap menyejajarkan Presiden Soeharto serupa Presiden Filipina Ferdinand Marcos, yang Getol ‘memelihara’ elite pengusaha kakap. Di Indonesia, para elitenya elite pengusaha yang dekat dengan penguasa itu dulu dikenal sebagai konglomerat.
Penyejajaran itulah yang disoal dan Kagak Bisa ‘diampuni’. Kunio tentu membantah dianggap telah menyejajarkan bahkan mendiskreditkan Presiden Soeharto. Ia berargumentasi bahwa yang ditulisnya merekam fakta. Toh, kendati dilarang, Demi kuliah, saya Tetap Bisa mendapati Naskah itu secara lumayan mudah.
Kapitalisme dianggap semu, tulis Kunio, karena Adonan tangan pemerintah yang mendominasi lapisan atas perekonomian. Kondisi itu melahirkan pemburu rente di kalangan birokrat pemerintah yang menghambat perkembangan wirausaha di luar lingkaran elite sehingga Membangun pengusaha lainnya kesulitan Bertanding. Mereka kalah ‘lari’ karena Kagak Mempunyai koneksi kuat dengan pemerintah dan birokrasi.
Istilah ‘pemburu rente’ merujuk pada kapitalis yang aktif memanfaatkan Interaksi mereka dengan pemerintah atau birokrasi Demi meraih keuntungan bisnis melalui keringanan pajak, Perlindungan, izin Perluasan, dan wewenang Tertentu. Istilah itu berbeda di berbagai negara. Di Filipina, mereka dikenal sebagai ‘kapitalis konco‘ semasa pemerintahan Marcos. Di Thailand, mereka disebut ‘kapitalis birokrat’.
Sementara itu, di Indonesia dan di Malaysia yang Mempunyai kesultanan atau kerajaan, menurut Kunio, mereka disebut ‘kapitalis keraton’ yang melibatkan keluarga kerajaan dalam kegiatan bisnis. Intinya ialah ‘pertalian yang kuat’ antara elite pemerintahan dan elite pengusaha.
Kunio menitikberatkan pembahasan pada kekuasaan pemburu rente dalam memonopoli perekonomian Demi mendapatkan keuntungan dengan Segera. Berbagai keistimewaan, kemudahan, fasilitas tersebab koneksi yang kuat itulah yang direkam Kunio sebagai ersatz capitalism, atau kapitalisme semu.
Dalam perkembangan yang lebih jauh, orang berganti, rezim berubah, tapi jejak kapitalisme semu Kagak sepenuhnya hilang. Perjalanan temali perkoncoan antara penguasa dan sekelompok elite pengusaha Lanjut berlanjut. Sejumlah orang dan kritikus menyebut istilah ‘sembilan naga’, misalnya, Demi merujuk kedekatan elite pengusaha tertentu dengan penguasa.
Para kritikus bahkan menggambarkan keistimewaan yang diperolah elitenya elite itu Bisa seperti ‘negara dalam negara’. Bukan sekadar praktik kapitalisme semu, melainkan sudah jauh Tengah, kemampuan Demi menekan, mengatur, dan menentukan laiknya negara.
Seorang Mitra yang menggeluti sejarah menyebut fenomena ‘negara dalam negara’ itu sudah hidup di Nusantara sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) datang di abad ke-17. VOC yang merupakan kongsi dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda itu memonopoli aktivitas perdagangan di Asia. VOC Mempunyai tugas mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan VOC.
Tujuan dibentuknya VOC ialah Demi melindungi perdagangan Belanda, Bagus antarsesama pedagang Belanda maupun bangsa-bangsa Eropa dan Asia lainnya. Meski VOC merupakan sebuah kongsi dagang, kongsi itu Mempunyai beberapa hak istimewa. Karena itu, ia disebut sebagai negara dalam negara.
Mengapa demikian? Ya, karena ia punya hak istimewa. Salah satu hak istimewa VOC ialah Mempunyai tentara dan diizinkan bernegosiasi dengan negara-negara lain. VOC juga punya hak merebut dan memerintah negara jajahan, hak Demi mencetak mata Duit sendiri, hak Demi Mempunyai angkatan perang sendiri, hak Demi memungut pajak. Pula, hak Demi mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat, hak Demi menyatakan perang dan Membangun perjanjian damai, serta hak Demi mengangkat dan memberhentikan pegawai.
Tentu, menyetarakan elitenya elite pengusaha dengan VOC terdengar berlebihan. Tetapi, saya memaklumi itu sebagai suatu kritik keras yang layak didengar. Bila VOC serupa ‘negara dalam negara’ dan itu Kagak disukai, jalan ke arah itu juga mesti dicegah secara sungguh-sungguh.
Kalau Eksis orang Bisa memerintahkan atau menyuruh orang memagari pesisir laut sepanjang 30,16 kilometer tanpa diketahui dan ditindak negara (padahal Kawasan yang dipagari itu Area publik), itu jalan menuju ‘negara dalam negara’. Kalau ‘Negara’ dengan huruf ‘N’ besar Kagak mau kalah oleh ‘negara’ dengan huruf ‘n’ kecil, ya pereteli Seluruh keistimewaan yang mirip-mirip VOC atau kapitalisme semu itu.