Eksis persamaan antara sepak bola dan peradilan di Indonesia, sama-sama berada di lorong gelap karena mafia. Bedanya, sepak bola perlahan tapi Niscaya keluar dari lorong gelap itu. Sebaliknya, dunia peradilan Lagi dicengkeram mafia.
Jalan yang ditempuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Dapat menginspirasi peradilan. PSSI menempuh jalan, antara lain, mengimpor Instruktur dan naturalisasi pemain.
Sudah 20 Instruktur asing menangani tim nasional, teranyar ialah Patrick Stephan Kluivert asal Belanda. Pemain sepak bola naturalisasi pertama yang berkarier di timnas ialah Arnold van der Vin pada 1952. Yang kini sedang berproses di DPR ialah Ole Romeny, pemain Oxford United asal Belanda.
Cengkeraman mafia di dunia peradilan Dapat ditelusuri dari fenomena yang Eksis. Putusan hakim menjauhi keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan hukum. Hakim doyan menjatuhkan vonis ringan, masyarakat hanya Dapat menggerutu Sembari menulis komentar di media sosial Tiba viral.
Tanpa viral, keadilan Tak akan terwujud, no viral no justice. Padahal, putusan hakim yang berkualitas mencerminkan rasa keadilan, yang pada gilirannya juga menjadi salah satu komponen terwujudnya badan peradilan yang berkualitas.
Peradilan yang berkualitas sebatas cita-cita. Faktanya, meminjam analisis Zainal Arifin Muchtar, putusan pengadilan sering Tak mendapat penerimaan luas oleh masyarakat karena proses peradilannya Tak steril dari korupsi.
Mestinya Tak Eksis jurang yang menganga antara putusan hakim dan penerimaan masyarakat. Kewajiban hakim menurut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ialah menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hakim cenderung menjadi corong undang-undang karena mengutamakan kepastian hukum. Kata Marco Tulio Cicerona, summum ius, summa iniuria (kepastian hukum yang absolut ialah ketidakadilan yang tertinggi).
Banyak putusan hakim yang menggerus rasa keadilan masyarakat. Teladan teranyar putusan bebas Yu Hoan, terdakwa pencurian 774 kilogram emas oleh Pengadilan Tinggi Pontianak pada 13 Januari 2024. Total kerugian negara Rp1,01 triliun.
Vonis lebih ringan daripada tuntutan jaksa juga terjadi dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara Rp300 triliun. Harvey Moeis, misalnya, divonis 6 tahun 6 bulan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 23 Desember 2024. Putusan itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa pidana penjara selama 12 tahun.
Kata Zainal Arifin Muchtar, masalah judicial corruption menjadi tantangan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tercatat banyak hakim menjalani proses hukum dalam tindak pidana korupsi hingga beberapa di antaranya terbukti bersalah. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan dinodai dengan maraknya judicial corruption.
Judicial corruption Konkret adanya dalam kasus suap terkait dengan Ronald Tannur. Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, kini menjadi terdakwa kasus suap berjumlah miliaran rupiah.
Mengapa hakim menerima suap? Kehidupan hakim itu ibarat dua sisi sekeping mata Dana. Demi hakim bekerja di ruang pengadilan, Sekalian menyapa mereka dengan ‘Yang Mulia’. Tetapi, ketika hakim kembali pada realitas keseharian, mereka juga harus bergulat dengan berbagai kesulitan hidup.
Kesejahteraan hakim memang perlu ditingkatkan dibarengi dengan peningkatan integritas. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 yang menjadi dasar bagi penaikan gaji dan tunjangan hakim pada 18 Oktober 2024. Gaji dan tunjangan hakim berkisar Rp10 juta hingga Rp45 juta.
Sialnya, gaji dan tunjangan Tak berkorelasi dengan putusan yang menghadirkan keadilan. Lagi ditemukan putusan hakim yang aneh-aneh setelah penaikan gaji dan tunjangan.
Putusan Pengadilan Tinggi Pontianak yang membebaskan Yu Hoan hanya selang satu minggu setelah para hakim meneken pakta integritas yang memuat komitmen Kepada bertindak transparan, akuntabel, dan bebas dari segala bentuk korupsi. Pakta itu diteken pada 5 Januari 2024.
Para hakim yang terbukti menerima suap juga pernah meneken pakta integritas. Mereka juga berjanji Kepada mematuhi kode etik. Berbeda dengan Jepang yang Tak pernah Membikin aturan tertulis terkait kode etik. Meski demikian, hakim di Jepang Tak pernah menerima suap.
Apabila hakim Lagi doyan menerima suap, kiranya perlu diambil langkah-langkah berani, Yakni memecat Sekalian hakim yang Eksis kemudian mengimpor atau melakukan naturalisasi hakim.
Saran mengimpor hakim pernah disampaikan Mahfud MD. Metode itu antara lain dilakukan sejumlah negara pecahan Uni Soviet. Salah satunya, Georgia. “Di Georgia, Sekalian hakim pernah diberhentikan. Diganti baru,” ujar Mahfud.
Indonesia harus menemukan hakim yang Bagus. Kata Bernardus Maria Taverne, “Beri saya hakim yang Bagus sehingga dengan undang-undang yang Jelek sekalipun saya Dapat membawa keadilan.”

