
SALAH satu misi Esensial didirikannya negara ini ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa itu mencerdaskan kehidupan bangsa? Ialah mencerdaskan Intelek budi Kaum negara Republik Indonesia agar dalam kapasitasnya sebagai bangsa, ia Pandai menunjukkan diri, Pandai berperan aktif, dan Pandai menjadi relevan dalam interaksi dan dialektika kehidupan Kaum dunia.
Agar hal itu terwujud maka proyek pembangunan nasional mestilah beraras pada penguatan Intelek budi anak bangsa. Terkait dengan hal ini, kita Bukan Dapat menafikan peran Krusial dari keberadaan Naskah. Naskah bukan sekadar bacaan atau media Demi dibaca. Naskah juga bukan sekadar kumpulan kertas yang disusun hingga berhalaman banyaknya. Naskah adalah wahana di mana pemikiran dituangkan, di mana gagasan diabadikan serta di mana rasa ditumpahkan. Naskah adalah storage pemikiran dan gagasan bagi penulis sekaligus wahana di mana pembaca Dapat mengaksesnya.
Naskah adalah ruang di mana kegiatan membaca dan menulis berdialektika. Naskah adalah manifestasi kebudayaan tertinggi Sosok karena di sanalah aksara dan tanda berkumpul membangun gagasan. Naskah laksana jembatan di antara makhluk pemikir bernama Sosok berdiskursus.
MENCERAHKAN Intelek BUDI Sosok
Kita sering lupa, Indonesia merdeka bukanlah hadiah. Ia diperjuangkan oleh berbagai pemikiran besar yang lahir dari rahim literasi berupa Naskah. Ia lahir dari spirit Era yang Dahaga akan pengetahuan. Terkait hal tersebut, kita punya sejarah emas berupa Balai Pustaka yang pada masanya menjadi pusat peradaban; yang Bukan pernah mengategorikan dan memisah-misahkan antara Naskah Lazim dan Naskah sekolah. Karena, bagi para pendiri bangsa, pengetahuan adalah satu kesatuan utuh Demi mencerahkan Intelek budi Sosok.
Kita harus menghadapi sebuah realitas yang getir di mana data menunjukkan bahwa skor Programme for International Student Assessment (PISA) kita secara konsisten menempatkan kita di papan Dasar dunia. PISA adalah Bilangan yang menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam bidang literasi membaca, matematika, dan sains. Ini bukan sekadar Bilangan statistik yang Dapat kita abaikan atau maklumi begitu saja. Ini adalah alarm darurat bagi masa depan bangsa. Ini pertanda kita sedang berisiko melahirkan generasi yang Bukan siap Bertanding dan sekadar menjadi generasi konsumen.
Di sisi lain, kita Dapat Menonton paradoks digital kita. Indeks literasi digital menunjukkan bahwa kita sangat cakap menggunakan gawai, tetapi pada Begitu yang sama kita menjadi salah satu konsumen hoaks terbesar di dunia. Saya sering Menonton, dan ini menyedihkan, orang-orang terpelajar, bahkan profesor sekalipun, banyak yang termakan hoaks. Kenapa ini Dapat terjadi? Karena kita hanya Dapat membaca, tapi Bukan terlatih Demi berpikir kritis.
Literasi kita berhenti pada kemampuan mengeja kalimat, belum Tamat pada kemampuan mencerna, menimbang, dan mendialektikakan gagasan. Kenapa? Karena kita Bukan terbiasa berada dalam kultur berdialog, berdiskursus, hingga berdialektika yang kuat.
Realitas lain menyampaikan pada kita tentang toko-toko Naskah, yang dulu menjadi surga pengetahuan, sekarang tutup satu per satu. Orang sudah Bukan mau Kembali membaca. Di Jogja, kota yang dulu dikenal sebagai surganya Naskah, denyutnya sudah Bukan seperti dulu. Dulu Terdapat Gamapres, tempat pertama yang saya kunjungi Begitu masuk Jogja. Sekarang tempat itu sudah tutup. Social agency seperti Togamas, satu per satu meredup atau bahkan lenyap. Ini adalah alarm bagi Mortalitas infrastruktur pengetahuan kita secara perlahan.
Yang paling Membikin hati lebih miris Kembali ialah ketika saya pulang ke Sumatra Barat. Di Pasar Ateh, Kota Padang, kota yang banyak melahirkan peradaban adiluhung, yang melahirkan Buya HAMKA dan begitu banyak pemikir besar bangsa, saya Menonton dengan mata kepala sendiri Naskah-Naskah dijajarkan dengan kandang hewan dan salon plus-plus.
Can you can imagine it?! Begitu Rupanya Langkah kita menempatkan keberadaan Naskah hari ini?! Di masanya, Buya HAMKA adalah seorang penulis produktif, dan di zamannya telah berdiri delapan penerbit Naskah: sebuah indikator yang menunjukkan betapa semaraknya dunia perbukuan kala itu.
Belum Kembali Kalau kita mengingat Hatta, Yamin, Syahrir, Tan Malaka, dll, betapa mengharu pilu kita Menonton Realita di atas. Seluruh ini menjadi Realita yang banal sekaligus cermin paling telanjang tentang bagaimana begitu abai dan rendahnya kita menempatkan pengetahuan dalam kehidupan kita sebagai makhluk berakal.
Seluruh Realita itu seolah terkonfirmasi dengan data yang mestinya Membikin kita Bukan Dapat tidur nyenyak: IQ rata-rata bangsa kita telah turun secara gradual. Di Era Pak Harto, angkanya Terdapat di kisaran 83, 82. Hari ini, angkanya berada di kisaran 78. Turun! Dan ini adalah sinyal dari kemunduran sebuah peradaban.
Di sisi lain, Naskah telah menjadi barang mewah bagi kita. Di negara seperti Jerman, seorang pekerja hanya butuh menyisihkan sebagian kecil dari gajinya Demi membeli Naskah. Di sini? Seorang pekerja di Jakarta harus merelakan Bagian upah minimumnya yang cukup besar Demi Mempunyai sebuah Naskah.
Dari India, saya pernah membawa pulang tiga koper besar Naskah. Mengapa Dapat demikian? Karena harga Naskah di sana luar Lazim murah! Terdapat yang Sekadar lima ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah; dengan kualitas Naskah seharga ratusan ribu rupiah di sini.
Dari mana Seluruh kekacauan ini bermula? Salah satu akar masalahnya, dalam Ekonomis saya pribadi, ialah Langkah pandang kita yang terjebak dalam penyempitan antara Naskah sekolah dan Naskah Lazim. Undang-undang yang Begitu ini Terdapat, terlalu berat pada intervensi Naskah teks. Saya paham Argumen bahwa ini merupakan upaya sinkronisasi antara UU Sisdiknas dan program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Niatnya mungkin Bagus, tapi dampaknya Rupanya cukup fatal. Apa yang disebut Naskah Lazim dianggap sebagai urusan privat, urusan bisnis, Demi kemudian diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar kita yang Renyah. Akibatnya pengetahuan menjadi terasa begitu mahal dan tak berakses.
Bagi saya pribadi, ini adalah sebuah kekeliruan Esensial. Mengapa yang namanya pengetahuan mesti dipisah-pisah? Seolah-olah pengetahuan di luar sekolah itu Bukan Krusial. Seolah-olah membangun imajinasi lewat novel, membuka wawasan lewat Naskah filsafat, atau belajar skill baru dari Naskah nonfiksi itu bukan bagian dari ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Tembok pemisah inilah yang telah memenjarakan potensi intelektual bangsa kita selama ini.
EMPAT PILAR
Lewat, apa yang harus kita lakukan Demi memperbaiki Realita ini? Jawabannya bukan Membikin regulasi yang lebih ketat. Jawabannya juga bukan kontrol yang lebih rumit. Jawabannya ialah membangun sebuah ekosistem yang hidup, yang berdenyut, yang kolaboratif, dan yang Mempunyai spirit membebaskan atas kehidupan Naskah di Tanah Air.
Setidaknya Terdapat empat pilar Demi kita memulainya. Pilar pertama ialah soal konten dan akses Dunia. Kita harus punya proyek peradaban yang berani. Kita harus menghidupkan kembali Balai Pustaka, bukan sebagai museum yang kita kenang, tapi kita restorasi fungsinya menjadi pusat penerjemahan dan literasi modern yang relevan. Kita Dapat belajar dari India yang Pandai mengundang penerbit dunia Demi mencetak edisi murah dengan kualitas kertas terjangkau agar rakyat Dapat membeli.
Pilar kedua ialah kolaborasi dan keterlibatan publik. Negara Bukan Dapat, dan Bukan boleh, bekerja sendirian. Kita harus mengundang Seluruh kekuatan bangsa; ya pemikirnya, ya penggerak literasinya, ya penerbitnya, ya para influencer, ya para pengusahanya; Demi Berbarengan-sama merumuskan bangunan ekosistem yang suportif terhadap kerja peradaban ini. Ini bukan Demi gagah-gagahan. Ini strategi agar Seluruh merasa menjadi bagian dari gerakan ini, part of the movement.Pilar ketiga ialah kebijakan yang membebaskan. RUU Perbukuan yang tengah berproses ini berprinsip open source dan antimonopoli. Biarkan gagasan lahir dari mana saja. Jangan Kembali negara sibuk Demi mengatur hal-hal sifatnya privat seperti royalti. Biarkan itu menjadi urusan bisnis di mana negara hanya memfasilitasi agar keadilan Dapat dirasakan oleh segenap stakeholder
. Konsentrasi negara ialah sebagai fasilitator. Prinsipnya harus sederhana: hidupi mereka Seluruh yang mau menulis, mencetak, menerbitkan Naskah. Dan, yang terpenting, hapuskan pajak Demi Seluruh Naskah! Hal semacam ini Semestinya Bukan Terdapat di negara yang amanat konstitusinya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Adapun pilar keempat ialah ruang dan gerakan. Literasi itu butuh ruang. Kita harus mendorong lahirnya ruang-ruang literasi di berbagai daerah. Konsepnya sederhana saja, tapi efektif. Saya pribadi sudah memulainya. Saya mendirikan ruang literasi di Jogja. Di sana Terdapat perpustakaan Lazim, Terdapat perpustakaan anak, Terdapat pula aktivitas dan komunitas yang menyelenggarakan kegiatan intelektual, mulai dari soal-soal vokasi Tamat urusan kebangsaan.
Ini Seluruh karena kita butuh lebih banyak tempat Demi ‘cangkruk’, Demi Percakapan santai tapi berisi, Demi berkarya, dst, karena dari situlah tradisi literasi yang utuh akan tumbuh secara organik. Secara pribadi, zakat saya itu berupa Naskah dan kegiatan-kegiatan literasi bagi sebanyak-banyaknya pihak.
PANGGILAN SEJARAH
Dengan latar pemikiran seperti itulah revisi terhadap UU Sistem Perbukuan digulirkan. Gagasan ini bukan sekadar proyek legislasi teknis. Ini juga bukan sekadar proyek rutin DPR. Di tengah disrupsi dan perkembangan Era yang semakin Segera berubah, niatan ini menjadi ikhtiar bagi upaya agar negara tetap menjaga misi sucinya.
Sebagai penutup, saya Ingin menegaskan kembali. Apa yang kita bicarakan hari ini bukan proyek legislasi Lazim. Ini adalah sebuah panggilan sejarah, sebuah warisan yang akan kita tinggalkan bagi anak-cucu kita. Politik akan menjadi mulia ketika ia Dapat melahirkan kebijakan yang dinikmati ratusan juta orang. Kalau RUU ini berhasil kita lahirkan dengan spirit yang progresif, semoga ini akan menjadi amal jariah kita Seluruh.

