Narasi Nihil Kepemimpinan Pemuda dalam Politik Indonesia Kontemporer

Narasi Kosong Kepemimpinan Pemuda  dalam Politik Indonesia Kontemporer
Ilustrasi mI(MI/Seno)

DALAM memperingati Hari Sumpah Pemuda, kita ditantang bukan hanya untuk merayakan, tapi juga merefleksikan peran pemuda dalam politik saat ini. Tetapi, kisah tragis pemimpin muda yang menjadi alat elite politik tak bisa diabaikan. Misalnya, ketika Partai Golkar mengaitkan Gibran Rakabuming dengan Sutan Sjahrir tanpa mempertimbangkan latar belakang dan perjuangan Sjahrir, ini menjadi contoh bagaimana pemuda dapat dieksploitasi demi agenda politik.

Terlalu sering pemuda hanya dilihat sebagai pion dalam permainan politik. Tetapi, ada contoh-contoh pemimpin muda yang berani seperti Pita Limjaroenrat dari Thailand yang berani menantang tanpa menjadi corong politik. Kita seharusnya menghargai pemimpin muda sejati seperti Sjahrir, Greta Thunberg, dan Malala Yousafzai yang benar-benar mewakili perubahan yang didorong oleh generasi muda.

Sebagai penjaga hati nurani masyarakat, pemuda memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang besar. Kekuasaan cenderung mengaburkan batas kepentingan umum dan pribadi, dan pemuda dengan idealismenya berperan penting sebagai penyeimbang. Intelektual publik Soedjatmoko mengatakan bahwa untuk menjaga keseimbangan tersebut, pemuda sebaiknya tetap berada di luar struktur pemerintahan, membangun lembaga yang mendukung keseimbangan antara negara dan masyarakat.

Pemuda harus lebih dari sekadar usia; mereka harus aktif, inovatif, dan kritis. Meskipun partisipasi politik penting, pemuda harus selalu memastikan pemerintah bertanggung jawab dalam melayani rakyat. Tetapi, beberapa pemuda yang memegang kekuasaan saat ini didukung oleh dinasti politik dan ekonomi keluarga. Mereka harus sadar diri, mengakui warisan mereka, dan berkomitmen untuk melayani rakyat, bukan kepentingan keluarga atau dinasti.

Cek Artikel:  Menanti Gagasan Ekonomi Cawapres

 

Dinasti politik dan fatamorgana representasi

Esensi dari demokrasi yang dinamis terletak pada kemampuannya untuk berkembang, meremajakan diri, dan beradaptasi. Partai-partai politik sering kali menekankan representasi pemuda dalam upaya mereka untuk tetap relevan. Di permukaan, hal ini tampak terpuji. Tetapi, gali lebih dalam lagi, dan kita akan menemukan cerita yang berbeda.

Banyak pemimpin muda, yang dipilih dan didorong ke pusat perhatian, lebih banyak bergantung pada garis keturunan dan fleksibilitas dari visi atau prestasi mereka. Pemilihan ini melemahkan kepemimpinan yang tulus dan menimbulkan keraguan tentang komitmen partai terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Kisah Perdana Menteri Sjahrir menawarkan kontras yang menarik. Pada usia 26 tahun, ia adalah mercusuar perlawanan pemuda, dengan tindakannya menentang pemerintahan kolonial yang menentukan warisannya. Membandingkan kepemimpinan yang begitu mendalam dengan beberapa pemimpin muda saat ini, memperlihatkan kedangkalan yang menjangkiti ekosistem politik kita.

Secara historis, para politisi veteran membina para pemimpin pemula. Rekanan ini memastikan bahwa ide-ide segar terus dimasukkan ke dalam sistem. Tetapi, hal ini telah berubah. Alih-alih mendorong pertumbuhan, beberapa sesepuh politik saat ini justru memanipulasi para pemimpin muda, menggunakan mereka sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan status quo.

Tetapi, pendampingan ini sering kali berubah menjadi manipulasi dalam lanskap modern. Kaum tua yang berpegang teguh pada kekuasaan melihat pemuda lebih sebagai instrumen untuk kelangsungan hidup mereka daripada sebagai agen perubahan. Alih-alih mendorong pertumbuhan, mereka terkadang membungkam suara-suara yang mengancam status quo. Dinamika kekuasaan yang terjadi saat ini membayangi esensi inti dari pendampingan–memberikan kebijaksanaan dan pengalaman.

Cek Artikel:  Bunyi Muhammadiyah, Cermin Spirit Literasi Berkemajuan

 

Dinasti politik vs fatamorgana representasi

Demokrasi sejati bersandar pada kemampuannya untuk berinovasi dan beradaptasi. Meskipun parpol sering menonjolkan representasi pemuda, sering kali realitas yang ditemui berbeda. Banyak pemimpin muda kini lebih dikenal karena latar belakang keluarga daripada prestasi nyata, mempertanyakan integritas demokrasi kita.

Sebagai contoh, Perdana Menteri Sjahrir pada usianya yang muda telah menunjukkan perlawanan terhadap penjajah. Apabila dibandingkan dengan pemimpin muda masa kini, jelas ada perbedaan yang signifikan dalam kedalaman kepemimpinan.

Di masa lalu, politisi senior memandu pemimpin muda. Tetapi, kini dinamika ini kerap tergantikan oleh manipulasi. Pemuda dijadikan alat oleh figur senior untuk mempertahankan status quo, bukan sebagai agen perubahan.

 

Bunyi pemuda yang tulus

Meskipun ada pemuda seperti Greta Thunberg yang berbicara dengan tulus, kebanyakan pemuda dimanfaatkan untuk agenda tertentu. Elite politik dan pemuda harus menegosiasikan peran mereka untuk memastikan bahwa kepemimpinan muda autentik menjadi norma, bukan pengecualian.

Dengan mayoritas penduduknya adalah pemuda, Indonesia berada di titik krusial. Kemajuan bangsa bergantung pada bagaimana kita memperlakukan dan memanfaatkan potensi pemuda. Ini bukan hanya soal representasi, melainkan bagaimana suara muda membentuk kebijakan dan menentukan arah bangsa.

 

Demokrasi di persimpangan jalan?

Demokrasi sejati memperjuangkan keragaman dan inklusivitas. Dengan sebagian besar populasi global adalah pemuda, inklusi mereka yang bersifat tokenis dalam politik merusak cita-cita demokrasi. Para pemimpin muda, yang selaras dengan tantangan kontemporer, membutuhkan pemberdayaan yang tulus. Pemberdayaan lebih dari sekadar pemberian gelar. Pemberdayaan adalah tentang memercayakan para pemimpin muda dengan kekuatan pengambilan keputusan yang sebenarnya, dan menghargai masukan mereka. Struktur harus diciptakan agar mereka dapat dengan bebas menantang norma-norma dan membawa inovasi tanpa rasa takut.

Cek Artikel:  Pilpres, Privat, dan Publik

Beberapa negara, termasuk Indonesia, berada di titik yang sangat penting. Tantangan di abad ke-21–mulai dari perubahan iklim hingga disrupsi teknologi–membutuhkan pendekatan baru. Para pemimpin muda, yang selalu mengikuti perkembangan isu-isu kontemporer, secara alamiah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan ini. Tetapi, untuk itu, mereka membutuhkan lebih dari sekadar platform. Mereka membutuhkan pemberdayaan yang tulus.

Pemberdayaan memiliki banyak aspek. Ini bukan hanya tentang representasi dalam peran kepemimpinan. Pemberdayaan adalah tentang membuat keputusan yang berarti, menjadi bagian dari diskusi strategi, dan memiliki wewenang untuk membawa perubahan. Pemberdayaan politik pemuda harus bergerak lebih dari sekadar retorika dan tokenisme menjadi tindakan nyata dan terukur.

Hal ini mencakup menciptakan peluang bagi para pemimpin muda untuk membentuk kebijakan, memastikan partisipasi aktif mereka dalam proses legislatif, dan benar-benar menghargai kontribusi mereka. Selain itu, struktur politik harus menumbuhkan lingkungan di mana para pemimpin muda dapat menantang norma-norma yang ada tanpa takut akan adanya pembalasan. Hanya dalam lingkungan yang mendukung seperti itu, kepemimpinan pemuda dapat benar-benar berkembang.

Mungkin Anda Menyukai