Narasi Mesianistik dan Pendidikan Demokrasi

Narasi Mesianistik dan Pendidikan Demokrasi
(Dok. Pribadi)

DALAM suasana kemeriahan pemilu yang sedang berlangsung saat ini, berbagai ekspresi kampanye, baik dalam ruang fisik maupun virtual, mengeksplorasi ruang partisipasi dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Debat dan diskusi terbuka menghadirkan kesempatan bagi warga untuk berinteraksi langsung dengan kandidat, memperdebatkan kebijakan yang akan membentuk masa depan mereka.

Tabir antara kandidat dan warga seakan telah dihilangkan sehingga memberikan kesan bahwa pemilih tidak lagi harus meraba-raba dalam keputusan mereka. Meskipun preferensi, rekam jejak, dan riwayat kandidat dapat diakses melalui berbagai kanal informasi, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa sekat antara warga dan kandidat pejabat publik semakin tipis.

Meski kemeriahan kampanye mungkin mencitrakan gambaran positif tentang demokrasi di Indonesia, akhir-akhir ini kita tidak bisa mengabaikan prediksi bahwa fondasi demokrasi semakin tergerus. Laporan The International Institute for Democracy and Electoral Assistance (2022) mengungkapkan bahwa lebih dari setengah negara di dunia mengalami degradasi demokrasi.

Baca juga : Pendidikan untuk Perdamaian yang Berkelanjutan

Tingkat kepercayaan warga terhadap proses demokrasi juga dilaporkan menurun sehingga dapat menciptakan ancaman terhadap kualitas pengambilan kebijakan (Dryzek, 2002). Di Indonesia, peningkatan jumlah golput menjadi gejala ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi yang perlu mendapat perhatian serius.

 

Reinterpretasi partisipasi demokrasi

Baca juga : Sekolah yang Sejahtera

Akibat kegiatan kampanye dalam mengubah pandangan pemilih dan meningkatkan dukungan bagi kandidat dianggap signifikan. Tetapi, tetap muncul pertanyaan apakah kandidat terpilih benar-benar akan menerapkan kebijakan yang menguntungkan warga. Catatan penting dalam konteks pendidikan diperlukan agar pola-pola tersebut tidak hanya dianggap sebagai trik kampanye semata. Proses itu diharapkan memberikan reinterpretasi tentang makna partisipasi dalam proses demokrasi.

Cek Artikel:  Dokter Asing di Negara Kita

Fakta-fakta mengenai rekam jejak dan prestasi kandidat memiliki dampak besar pada pemilih, terutama melalui pembentukan narasi. Penggunaan media sosial dan teknologi dapat memengaruhi narasi menjadi persuasif, bahkan menyesatkan. Pemilih perlu keterampilan kritis untuk menganalisis narasi berbasis fakta, bukan hanya secara kognitif, melainkan juga dalam penilaian informasi.

Martha Nussbaum (2010) menyoroti pentingnya pendidikan dalam memperkuat demokrasi, terutama di tengah pengurangan pelajaran seni dan humaniora dalam kurikulum. Pelajaran seni dan humaniora dianggap dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan mengajak mereka melampaui loyalitas lokal sehingga mampu melihat masalah dari perspektif warga dunia serta membentuk empati.

Baca juga : Hasil PISA 2022, Cerminan Mutu Pendidikan Nasional 2023

Akibat nyata dari pengurangan pelajaran seni dan humaniora dapat dilihat pada Pemilihan Presiden Filipina, yang mana Marcos Jr berhasil terpilih. Keberhasilannya banyak diatribusikan pada narasi mesianistik yang dipromosikan selama kampanye yang mana ia digambarkan sebagai penyelamat Filipina. Narasi itu melupakan rekam jejak korupsi dan kekejaman ayahnya, Marcos Sr, terhadap oposisi. Kemenangan Marcos Jr dianggap sebagai kegagalan pendidikan. Kurikulum sejarah yang kurang berorientasi pada prosedural seperti memahami konstruksi pengetahuan sejarah dapat memengaruhi kemampuan berpikir historis siswa.

 

Revisi sejarah dan tantangan demokrasi

Baca juga : Cerminan Akhir Pahamn Pendidikan Perdamaian di Indonesia

Menurut Bentrovato & Schulze (2016), banyak negara memilih untuk tidak melakukan pembaruan kurikulum pelajaran sejarah mereka, terutama jika mereka baru saja mengalami konflik internal yang merugikan banyak pihak dan menimbulkan korban jiwa.

Cek Artikel:  Regresi Judicial Leadership MK

Kondisi itu mendorong kurikulum pelajaran sejarah untuk cenderung menerapkan narasi tunggal dan mengabaikan kebutuhan mendesak generasi muda untuk memahami kompleksitas masa lalu dan masa kini. Akibat dari pendekatan itu dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan mereka dalam mengelola kompleksitas yang semakin meningkat dalam proses demokrasi saat ini.

Biarpun pengajaran konten sejarah merupakan langkah awal, hal tersebut tidak otomatis menjadikan warga negara mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi dengan sikap yang dewasa, rasional, dan matang. Havekes et al (2012) menyoroti pentingnya mengajarkan sejarah dengan fokus pada pengetahuan sejarah (knowing history) dan praktik sejarah (doing history).

Baca juga : Membangun Budaya Sekolah Inklusif melalui Keadilan Restoratif

Meskipun pengajaran pengetahuan sejarah sudah menjadi bagian umum dari kurikulum sejarah, pendekatan yang berorientasi dalam ‘melakukan sejarah’ menekankan pada pemahaman bagaimana sejarawan mengkonstruksi pengetahuan dan mendorong siswa untuk mengaplikasikan penalaran kesejarahan (Wilke, Depaepe, dan Van Niewenhuyse, 2022).

Stallones dan Gram (2020) bahkan menyarankan perubahan dari model belajar pasif menjadi model belajar magang yang berfokus pada perkembangan kemampuan berpikir secara historis, termasuk kemampuan memahami secara mendalam melalui analisis kritis dari berbagai sumber informasi. Segala itu menjadi kemampuan yang sangat diperlukan oleh semua warga negara.

 

Baca juga : Belajar dari Kesalahan

Demokrasi berbasis musyawarah

Secara ideal, pendidikan di lingkungan sekolah dapat diselaraskan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diterapkan dalam sekolah, keluarga, dan komunitas. Karena itu, penting bagi sekolah untuk menjadi wadah persemaian prinsip-prinsip demokrasi melalui pelaksanaan musyawarah (deliberative democracy) sebagai kegiatan sehari-hari.

Musyawarah, sebagai bentuk pembelajaran kolektif, dapat dibedakan dari proses musyawarah untuk membuat kebijakan tertentu. Musyawarah memerlukan refleksi dan keterlibatan dua arah, melibatkan proses komunikasi yang dinamis dan terbuka, serta interaksi yang bersifat persuasif tanpa adanya unsur paksaan (Dryzek, 2002). Proses dialog yang berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan dan relasi kekuasaan yang seimbang dapat mengubah sekolah menjadi lingkungan yang menyemaikan nilai-nilai dan praktik demokrasi.

Cek Artikel:  Memilih Bergabung Partai Politik, Akankah Kaum Milenial Beranjak dari Pesimisme

Baca juga : Kemajemukan dan Kuasa

Di Indonesia, praktik demokrasi melalui musyawarah dianggap sebagai bagian integral dari budaya. Antlov dan Wetterberg (2021) menyoroti forum-forum lokal, seperti musrenbang, forum desa, dan forum warga, sebagai contoh implementasi prinsip musyawarah dan mufakat dalam budaya Indonesia meskipun mereka mencatat beberapa kekurangan. Perhimpunan-forum tersebut dianggap memiliki akar dan semangat yang muncul dari budaya dan tradisi Indonesia.

Karena itu, sekolah memegang peran penting dengan menciptakan forum dan membangun relasi serupa, baik dalam kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Aktivitas seperti merumuskan kegiatan dan program sekolah dapat menjadi wadah yang mana praktik musyawarah dan proses belajar sosial dapat dijalankan seluruh warga sekolah.

Dalam konteks ini, mungkin pandangan Dewey tentang solusi terhadap kelemahan demokrasi menemukan kebenarannya, yakni dengan mendorong lebih banyak demokrasi yang bersifat personal dan bermoral–demokrasi sebagai gaya hidup.

Baca juga : Awas Budaya Tiktok

Proses itu dapat diinisiasi melalui pendidikan komunal di sekolah, di rumah, dan dalam lingkup komunitas. Pendekatan tersebut menjadi penyeimbang demokrasi institusional yang sudah ada dengan mengakui kelebihan dan kekurangannya. Karena itu, proses pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam menjaga kualitas demokrasi suatu negara.

Mungkin Anda Menyukai