Narasi Kontraproduktif Pak Menteri

PEJABAT publik sejatinya telah dipercaya rakyat (publik) sebagai penyelenggara negara. Mereka diharapkan Bisa memperjuangkan kepentingan publik melalui penyelenggaraan pelayanan yang Berkualitas. Yang mesti menjadi prioritas Istimewa pejabat publik ialah bagaimana menguatkan kualitas pelayanan publik melalui kebijakan dan program yang mereka inisiasi.

Karena itu, menjadi aneh kalau seorang pejabat publik Tetap Suka berpolitik praktis. Dengan perilaku itu, dia Bukan hanya sedang mengkhianati kehendak rakyat, tetapi juga memberikan teladan Bukan baik dalam berdemokrasi. Dengan berpolitik praktis, sesungguhnya ia telah mempertontonkan dominannya keberpihakan dia kepada kepentingan individual atau Grup, alih-alih mementingkan kepentingan publik.

Ironisnya, yang seperti itu banyak di negeri ini. Teladan teranyar, Menteri Keyakinan Yaqut Cholil Qoumas diduga telah berpolitik ketika pada Minggu (3/9) secara tiba-tiba merilis keterangan Formal atas nama kementerian, tetapi isinya sangat bertendensi politik. Dalam rilis itu, dia meminta agar masyarakat tak memilih sosok pemimpin yang menggunakan Keyakinan Demi kepentingan politik di Pilpres 2024. Yaqut juga meminta publik lebih jeli dalam menentukan pilihan, terlebih sosok yang pernah memecah belah umat.

Cek Artikel:  Menggergaji Mahkamah Konstitusi

Kalau itu disampaikan dalam konteks Demi mengerek literasi politik publik agar Pemilu 2024 Dapat berjalan lebih jujur, adil, dan bermartabat, tentu itu sesuatu yang bagus. Apabila Betul seperti yang dikatakan juru bicara Kementerian Keyakinan Anna Hasbie bahwa ucapan Menteri Keyakinan itu lebih dimaksudkan Demi menjaga kerukunan antarumat Ketika berlangsungnya kontestasi pemilu, tentu itu sangat menyejukkan.

Tetapi, persepsi publik tak Dapat diatur-atur. Ketika Menag memilih diksi ‘jangan memilih pemimpin yang pernah menggunakan Keyakinan sebagai alat Demi memenangkan kepentingannya’ dan ‘sosok yang pernah memecah belah umat’, Bukan Dapat dimungkiri bila Terdapat nuansa tuduhan di situ. Terdapat sebuah Kecenderungan politik yang kuat Demi menyerang sosok tertentu yang selama ini memang selalu distigmakan seperti itu. Kalau niatnya Mau menjaga kerukunan umat, kenapa harus menggunakan narasi yang Malah kontraproduktif?

Cek Artikel:  Pelajaran Mahal Kebakaran Bromo

Kalau dalam istilah sepak bola, Yaqut terjebak offside, ia berbicara dan bertindak melampaui garis tupoksinya sebagai pejabat publik. Dengan kalimat tersebut, Pak Menteri malah mirip perilaku buzzer, kaum pendengung di media sosial yang selalu menyerang targetnya dengan stigma-stigma negatif yang sesungguhnya Bukan Dapat dibuktikan. Grup yang kerap asal Hajar hanya berbekal secuil informasi atau rumor yang kebenarannya Bukan Dapat dipertanggungjawabkan.

Sungguh sayang, Menag dengan sadar telah mendegradasikan posisi dan kapasitasnya sebagai seorang menteri, seorang pejabat publik yang Sebaiknya melayani, mengayomi, dan mendidik masyarakat menjadi sekadar seperti buzzer yang biasanya bekerja berdasarkan bayaran. Dengan kapasitasnya itu, Yaqut Sebaiknya Bukan ikut-ikutan latah mengglorifikasi stigma seseorang tanpa pembuktian dan Penerangan meski dia Rival politik sekalipun.

Cek Artikel:  Salip-menyalip Penegak Hukum

Semestinya ia cari Mengerti dulu, tabayun, perihal yang dia tuduhkan atau ucapkan. Akan sangat Bukan baik dampaknya apabila seorang tokoh dan pejabat publik melempar ajakan ke masyarakat hanya berdasarkan rumor, stigma, atau Dugaan yang belum Jernih kebenarannya.

Betul bahwa penggunaan politik identitas sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi serta persatuan bangsa. Bukan Terdapat secuil pun pembenaran bagi kita Demi dekat-dekat dengan Langkah berpolitik semacam itu. Tetapi, sesungguhnya jauh lebih berbahaya ketika kita berpolitik dengan seolah-olah menolak politik identitas, tetapi pada praktiknya Lanjut-terusan menggunakan isu dan stigma itu Demi menjatuhkan Rival demi sekadar memenangi kontestasi politik lima tahunan.

Mungkin Anda Menyukai