Nadia dan Momika

NADIA tetap menjaga akal warasnya di tengah kemarahan yang terus berkecamuk di negerinya, Prancis. Ia tidak terseret dalam logika kebencian antara ‘kami’ dan ‘kalian’ atas nama imigran dan ‘pribumi’.

Padahal, Nadia ialah nenek dari Nahel M, korban tewas penembakan polisi Prancis, 27 Juni 2023 lalu. Sewajarnya bila ia tersulut emosi lalu larut dalam amuk massa. Tetapi, Nadia memilih menahan amarah. Ia justru memohon kepada para perusuh untuk menyetop aksi penjarahan dan perusakan yang telah berlangsung enam hari berturut-turut.

“Saya mengatakan pada orang-orang agar berhenti melakukan perusakan. Jangan pecahkan kaca, jangan merusak sekolah-sekolah, jangan menghancurkan bus-bus. Hentikan itu. Eksis ibu-ibu dalam bus. Eksis ibu-ibu sedang berjalan di luar sana,” kata Nadia dalam sebuah wawancara dengan BFM TV.

Nadia mengutuk kerusuhan yang terjadi atas nama kematian cucunya, alih-alih menyerang polisi dan fasilitas umum. Baginya kerusuhan sama dengan melanggar hukum. Dia pun yakin pelaku yang menembak mati cucunya dan para perusuh akan dibawa ke meja hijau. Ia sanggup berlaku adil dalam kehancuran batin karena cucu kesayangannya meninggal ditembus timah panas petugas negara.

Cek Artikel:  Amburadul Sirekap

Sejak Selasa, 27 Juni 2023, Prancis diselimuti aksi protes dan kerusuhan setelah aparat kepolisian di Nanterre, wilayah pinggir Kota Paris, menembak hingga tewas Nahel, 17, warga Prancis keturunan Aljazair. Penembakan dilakukan karena Nahel tidak mau berhenti saat diperintahkan untuk menghentikan mobilnya.

Aparat kepolisian yang menembak mati Nahel sudah ditahan dan didakwa dengan tuntutan pembunuhan. Insiden ini dengan cepat memicu gelombang kekerasan di seluruh wilayah di Prancis hingga ke Belgia dan Swiss. Penyelidikan sebelumnya menemukan gelombang unjuk rasa ini dipicu karena latar belakang Nahel yang seorang imigran muslim.

Para analis menyebut aksi-aksi yang diawali kecurigaan ini muncul karena tumbuhnya islamophobia di Barat. Tetap banyak masyarakat yang terhasut oleh kampanye bahwa muslim dan imigran identik dengan terorisme. Untung masih ada Nadia, yang meski dengan keterbatasan suara, mampu mendudukkan persoalan secara jernih.

Di Prancis kita menemukan mutiara pada diri Nadia, di belahan Eropa lainnya ada sosok Salwan Momika yang menebar provokasi murahan. Atas nama kebebasan berekspresi, Momika melampiaskan kebencian dengan membakar Kitab Bersih Al-Qur’an di Swedia.

Cek Artikel:  Adu Gagasan, bukan Gas-gasan

Aksi provokatif itu ia lakukan pada momen Idul Adha 2023/1444 H, beberapa waktu lalu, di depan sebuah masjid di Stockholm, Swedia. Perbuatan Momika langsung menuai kecaman dari berbagai komunitas internasional, khususnya negara-negara Islam.

Sementara itu, Perdana Menteri Swedia Ulf Krisrtersson menyebut aksi Momika sebagai perbuatan ‘legal, tetapi tidak pantas’. Di Swedia, demo dengan membakar kitab suci agama seperti yang dilakukan Momika ini legal karena diizinkan oleh konstitusi setempat atas nama kebebasan berbicara. Aksi seperti ini juga bukan kali pertama.

Tetapi, atas nama apa pun, kebebasan mestinya bukan tidak terbatas. Eksis hak orang lain yang tidak boleh diganggu. Kebebasan kita mengayunkan tinju, misalnya, dibatasi oleh hidung orang lain. Kebebasan memang salah satu prasyarat utama demokrasi. Tetapi, demokrasi bukan sekadar kebebasan.

Bagi Indonesia, rumusan demokrasi dari Bung Hatta kiranya lebih pas. Di majalah Panji Masyarakat pada salah satu edisinya di 1960, Bung Hatta menuliskan konsep demokrasi itu dalam artikel berjudul Demokrasi Kita. Bung Hatta memberikan tiga prinsip dasar untuk demokrasi Indonesia, yakni unity (persatuan), liberty (kebebasan), dan fraternity (persaudaraan).

Cek Artikel:  Jiwa Besar

Bagi kita, mestinya kebebasan sekaligus menyertakan persatuan dan persaudaraan. Tanpa itu, kebebasan akan diselimuti kecurigaan antara satu dan lainnya. Karena kamu bukan kami, kamu kadrun, intoleran, main politik identitas, penebar teror, dan seterusnya. Sebaliknya, kamilah yang paling segalanya: paling nasionalis, paling pancasilais, paling toleran, dan seterusnya.

Itu juga bisa berlaku sebaliknya: karena kamu bukan kami, maka kamu salah, sesat, kafir, dan seterusnya. Kebebasan yang dipandu kecurigaan, bahkan kebencian, akan melanggengkan permusuhan dan pembelahan: yang satu gampang mengafirkan, yang satu mudah tersulut fobia.

Kita butuh banyak Nadia dalam kehidupan kita, bukan berseminya Momika-Momika. Di tangan Nadia, amarah akan selalu dicegah. Sebaliknya, di tangan Momika, kesumat bakal terus disulut.

Jangan sampai di negeri ini terus bersemi kebencian karena kebencian akan melahirkan peperangan. Seperti sajak yang ditulis penyair Bengkulu, Jansori Andesta:

‘kebencian hadir melahirkan peperangan

peperangan pecah menggoreskan luka

luka menganga menumbuhkan dendam

dendam membuncah

hadirkan kembali kebencian

lahirkan peperangan

menggoreskan luka

menumbuhkan dendam-dendam yang lainnya.

 

Mungkin Anda Menyukai