PERIBAHASA buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya tampaknya belum usang atau basi. Faktanya, peribahasa itu masih relevan dengan realitas saat ini, seperti kontestasi Pemilihan Presiden 2024.
Peribahasa itu tepat untuk melihat jurus calon wakil presiden pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka pada debat cawapres, yakni jurus bertanya terkait dengan singkatan atau istilah yang belum lazim terdengar. Jurus yang sama dilakukan ayahnya, Presiden Joko Widodo, pada debat capres pada Pilpres 2014 dan 2019.
Debat calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 sejatinya ialah adu gagasan, bukan pamer istilah atau singkatan yang belum diketahui lawan debat khususnya dan umumnya masyarakat sebagai calon pemilih.
Tetapi, debat cawapres pada 22 Desember 2023 yang bertema ekonomi (baik ekonomi kerakyatan maupun ekonomi digital), keuangan, investasi pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, dan perkotaan menjadi ajang unjuk kebolehan dalam penguasaan istilah/singkatan.
Hal itu ditunjukkan Gibran saat bertanya kepada cawapres dari paslon nomor urut 3 Mahfud MD terkait dengan bagaimana membuat regulasi carbon capture and storage. Tak hanya itu, Gibran bertanya kepada cawapres dari paslon nomor urut 1 Abdul Muhaimin Iskandar terkait dengan upaya meningkatkan rating SGIE.
Mahfud tidak menjelaskan pengertian carbon capture and storage, tetapi menjelaskan secara helicopter view prinsip-prinsip membuat sebuah regulasi, seperti kajian akademis. Berbeda dengan Muhaimin, Ketua Lumrah Partai Kebangkitan Bangsa itu secara jujur mengaku tidak memahami singkatan SGIE.
Dalam merespons Muhaimin, Gibran kemudian menjelaskan singkatan SGIE, yakni state of the global islamic economy. Indonesia, kata Gibran, berada pada posisi keempat dunia dalam hal pengembangan ekosistem ekonomi syariah di tingkat dunia. Bagus kepada Mahfud maupun Muhaimin, Gibran terkesan menampilkan gaya mengetes dan mengejek.
Jurus yang dilakukan Gibran pernah dilakukan Presiden Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Pada Pilpres 2014 Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla, sedangkan Prabowo Subianto dengan Hatta Rajasa.
Pada saat debat capres, Jokowi menanyakan soal langkah meningkatkan peran TPID. Prabowo pun gelagapan menjawabnya karena tidak mengetahui singkatan itu. “Tunggu, singkatan TPID apa, ya, Pak?” Jokowi pun menjawab, “TPID ini untuk tim pengendalian inflasi daerah, Pak Prabowo. Terima kasih,” ujar dia.
Setali tiga uang, pada Pilpres 2019, mantan Wali Kota Surakarta itu lagi-lagi menyasar Prabowo dengan istilah asing, yakni cara mendukung perkembangan startup unicorn di Indonesia.
Tengah-lagi mantan Danjen Kopassus itu kelabakan menjawabnya karena Jokowi tidak menjelaskan apa itu unicorn, perusahaan rintisan bernilai di atas US$1 miliar, atau setara Rp14,1 triliun, seperti Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. “Yang Bapak maksud unicorn? Maksudnya yang online–online itu, iya, kan?” kata Prabowo bertanya balik.
Di kedua debat itu, Prabowo tidak membalas atau menyiapkan singkatan atau istilah teknis. Padahal, Prabowo bisa saja menyerang balik dengan menanyakan istilah asing/teknis pada debat selanjutnya, misalnya, dengan terkait dunia pertahanan.
Pada Pilpres 2024, cawapres Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD juga tampak tidak menyiapkan istilah asing/teknis kepada Gibran. Hal itu menunjukkan Muhaimin dan Mahfud tidak pernah terpikir untuk mengikuti jejak Jokowi yang berhasil mempermalukan Prabowo dalam debat Pilpres 2014 dan 2019.
Debat capres-cawapres yang merupakan implementasi Pasal 50 ayat 1 dalam PKPU No 15 Pahamn 2023 merujuk Pasal 277 ayat 1 UU No 7 Pahamn 2017 sebenarnya menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin bangsa.
Meski masih debatable, apakah debat mampu memengaruhi calon pemilih atau tidak, yang pasti melalui debat rakyat bisa melihat aspek kognitif (kecerdasan), penguasaan visi, misi, dan program, serta mampu melihat konteks permasalahan aktual.
Selain itu, secara afektif, rakyat bisa mengetahui sikap, watak, perilaku, minat, emosi, dan nilai yang dianut para capres-cawapres. Dari kedua ranah tersebut rakyat bisa menilai kelayakan mereka untuk menjadi pemimpin yang mengurus 275 juta rakyat Indonesia. Lagi ada waktu bagi rakyat untuk mengikuti debat capres-cawapres yang tersisa tiga kali lagi.
Bagi capres-cawapres yang kedodoran dalam menjelaskan rasionalisasi program kerja mereka atau sempat menyampaikan data yang diduga bohong dalam debat sebelumnya, masih ada kesempatan kepada mereka untuk memperbaikinya. Bila ada capres-cawapres yang memiliki niat busuk mempermalukan lawan debat dengan istilah-istilah khusus, sebaiknya dihentikan.
Penulis India-Amerika Perkumpulan kenamaan, Deepak Chopra, mengatakan semakin sedikit Anda membuka hati Anda kepada orang lain, semakin banyak hati Anda menderita. Jadi, buat apa ada muslihat dalam debat? Tabik!