PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan Kepada dikorupsi. Korupsi sektor ini mudah dilakukan seiring lemahnya sistem yang berakibat kemudahan merekayasa pemenang tender proyek. Penikmat Duit rasuahnya pun mulai dari pejabat pemerintah hingga kontraktor pelaksana.
Korupsi proyek jalan Dapat melibatkan seluruh pihak. Dari pihak swasta, kepala daerah, organisasi perangkat daerah (OPD), hingga Personil DPRD. Pihak swasta menyuap pengambil keputusan agar memenangkan mereka dalam lelang proyek. Kecurangan diduga memang sudah didesain sejak awal, yakni Demi Lagi di tahap perencanaan.
Pintu masuk celah korupsi ini berawal dari dinas di pemerintah daerah atau OPD yang melakukan perencanaan hingga mengalokasikan anggaran. Ketika proyek dan anggaran itu sudah diketuk palu dan masuk ke tahap teknis, terjadilah mark down; menurunkan atau memperkecil anggaran, kapasitas material, dan sebagainya dengan tujuan mengantongi keuntungan dari proyek jalan.
KPK pernah mengungkapkan bahwa anggaran Kepada pembangunan jalan biasanya hanya tersisa 50%, separuhnya Kembali menguap Kepada suap dan keuntungan kontraktor, yakni 30% Kepada suap dan 20% keuntungan diambil kontraktor. Alhasil tinggal 50% Biaya yang Cocok-Cocok tersedia Kepada pembangunan jalan.
Akhirnya, terjadi pengurangan kualitas jalan yang tak sesuai dengan anggaran awal yang ditetapkan. Spesifikasi materialnya rendah dan Dapat dipastikan lebih rentan rusak. Akibatnya, jalan baru dibuat atau diperbaiki, belum setahun sudah bopeng.
Modus korupsi itulah yang juga dipakai para pelaku rasuah yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proyek pembangunan jalan di Daerah Sumatra Utara. KPK mengungkapkan total nilai proyek jalan yang menjadi bancakan itu mencapai Rp231,8 miliar.
Enam orang yang ditangkap dalam operasi tersebut diterbangkan ke Jakarta, Jumat (27/6). Lima orang jadi tersangka, di antaranya Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut Topan Ginting serta seorang pejabat Kementerian PU dengan posisi PPK Satker PJN Daerah I Sumut, Heliyanto.
Artinya, perilaku korup ini melibatkan jajaran pejabat Pemprov Sumut dan Kementerian PU. Korupsi dalam proyek infrastruktur memang selalu melibatkan banyak pihak, menunjukkan bahwa jaringan korupsi infrastruktur itu seperti gurita.
Terbongkarnya kasus ini tentu diharapkan Bisa dituntaskan KPK. Selisik Sekalian pihak, karena selama ini korupsi proyek infrastruktur daerah banyak jadi alat barter balas budi politik. Kagak terkecuali, KPK mesti memastikan terlibat atau tidaknya Gubernur Sumut.
Bukanlah cerita baru, proyek semacam ini, yang melibatkan anggaran triliunan rupiah, turut pula melibatkan berlapis birokrasi. Dengan kompleksitas teknis, celah-celah penyimpangan selalu muncul. Ibarat kisah lelet yang Lanjut berulang, korupsi pada proyek pembangunan dan preservasi jalan selalu jadi ladang subur korupsi, karena bukan hanya proyek pembangunan, melainkan juga proyek politik, lebih tepatnya proyek balas budi politik.
Bagaimana memutusnya? Reformasi sistem pengadaan proyek harus Cocok-Cocok dijalankan dengan transparansi penuh. Begitu pun pembenahan integritas birokrasi menjadi kunci Istimewa, karena betapa pun baiknya sistem, Kalau birokrasi tetap bobrok, sistem bakal diakali.
Komitmen dan janji Presiden Prabowo Subianto Kepada membumihanguskan korupsi di negeri ini butuh segera mewujud dalam kebijakan dan tindakan. Kalau korupsi dibiarkan, dampaknya sangat luas. Kagak hanya pada rusaknya infrastruktur atau kebocoran anggaran, tetapi juga bakal mendegradasi bangsa ini.

