MUI, di Antara Kesempatan dan Tantangan

MUI, di Antara Peluang dan Tantangan
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta(Dok.MI)

BERTEPATAN denga hari Jumat, 27 November 2020, Wakil Presiden RI Prof Dr KH Ma’ruf Amin, yang sekaligus juga terpilih sebagai Ketua Lazim Dewan Pertimbangan MUI, menutup Munas X MUI di Hotel Sultan, Jakarta. Hasil Munas MUI secara umum tidak jauh berbeda dengan hasil munas sebelumnya, baik dalam program kerja maupun peraturan dasar dan peraturan rumah tangga serta rekomendasi dan taujihat.

Terdapat beberapa wajah pengurus baru, yang umumnya representasi ormas-ormas Islam, perguruan tinggi, dan pondok pesantren. Komposisi personalia di dalam pengurus MUI menunjukkan konfigurasi yang baik, antara senior dan yang muda. Hanya saja, kepengurusan MUI kali ini diperkirakan membengkak karena adanya struktur baru bernama dewan penasihat di samping dewan pertimbangan dan pengurus harian.

Eksispun kapasitasnya, masih terlalu dini untuk menilai. Tetapi, duet antara KH Ma’ruf Amin dan KH Miftah, yang didampingi oleh praktisi-praktisi ormas, diharapkan bisa membawa perubahan di dalam kiprah MUI ke depan.

 

Kesempatan dan kekuatan MUI

Terpilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pertimbangan yang juga sebagai Wakil Presiden RI, ditambah sejumlah besar tokoh yang direkomendasikan oleh ormas-ormas Islam, secara terbuka membuat kepengurusan ini berpeluang untuk bekerja secara maksimum. Bagaimanapun, sebagai wapres, tentu saja akan memberikan berbagai kemudahan. Apalagi, di dalamnya ada Pak Zainut Tauhid yang juga menjaat Wakil Menteri Keyakinan RI.

Tentu dengan kenyataan itu saja tidak cukup, tetapi masih perlu diakomodasi sejumlah tokoh birokrasi, atau tokoh-tokoh lain yang expert di dalam berbagai bidang. Hanya saja, masih banyak tokoh penting dan ulama besar yang kemampuan individualnya dikenal luas, di dalam dan luar negeri, tidak terakomodasi di dalam kepengurusan MUI. Mungkin, karena mereka tidak terlibat secara langsung di dalam oramas Islam dan kemasyarakatan lainnya.

Hadirnya sejumlah UU yang secara eksplisit menyebut MUI seperti UU Perbankan Syari’ah, UU Jaminan Produk Halal, UU Perseroan Terbatas (PT), dan terakhir ini UU tentang Pondok Pesantren, dan berbagai UU lainnya yang secara inklusif memberikan arti tersendiri bagi MUI. Tinggal bagaimana cara mengelola organisasi besar ini dengan lincah.

Ilustrasi kepengurusan MUI kali ini, terkesan seperti lokomotif yang harus menarik gerbong panjang dan besar, tentu agak sulit untuk bermanuver di lorong-lorong sempit. Oleh karena itu, kepemimpinan MUI (The New MUI) perlu menggunakan potensinya untuk menggalang partisipasi publik yang lebih luas. Kesempatan lain ialah pengakuan merek dan logo MUI di dalam UU Jaminan Produk Halal (JPH), yang sudah dikenal luas di dalam berbagai mancanegara. Negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tentu saja sangat berkepentingan untuk memperkenalkan produk-produknya ke luar negeri.

 

Tantangan ke depan

Kalau masa depan datang lebih awal dari perkiraan, sudah barang tentu akan mendatangkan masalah. Mestinya si ‘Masa Depan’ itu datang 100 tahun lagi ke depan, tetapi sudah telanjur masuk di dalam saku anak-anak kecil kita. Duniaisasi yang sedemikian dahsyat melipat waktu dan jarak menjadikan dunia ini laksana benda kecil di dalam genggaman kita.

Pengaruh globalisasi ini, selain melahirkan kemajuan yang luar biasa, terutama di dalam dunia IT dan transportasi, juga akan dengan mudah menyulut kekecewaan global, bahkan mungkin aksi nekat dalam bentuk teroris. Terorisme, radikalisme, liberalisme, dan pragmatisme dapat dikatakan sebagai anak kandung globalisasi.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa kini sedang terjadi jarak antara ajaran agama dan lingkungan pacunya. Bahkan, dirasakan agama juga semakin berjarak dengan pemeluknya. Kagak sedikit orang merasa teralienasi dengan ajaran agamanya. Berbagai kontradiksi sedang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Idealisasi ajaran agama dirasakan tidak simetris lagi dengan idealisasi kehidupan nyata di dalam masyarakat.

Ajaran agama dirasakan semakin dogmatis, normatif, berorientasi masa lampau, konservatif, statis, tradisional, tekstual, kualitatif, dan deduktif. Sementara lingkungan pacu kehidupan dirasakan semakin rasional bahkan liberal, bebas, berorientasi masa depan, dinamis, mobile, sophisticated, kontekstual, kuantitatif, dan induktif.

Cek Artikel:  Keyakinan Perdamaian

Ajaran agama semakin terasa membebani, membatasi, dan mengikat pemeluknya. Akibatnya, ajaran agama dikesankan kehilangan zona nyaman dan syahdu. Keyakinan tidak banyak lagi menjanjikan ketenangan, kesyahduan, dan kepuasan batin. Sementara lingkungan pacu kehidupan semakin menantang manusia untuk berani melakukan terobosan, memotong jalan mencapai tujuan dan kebahagiaan, terlepas itu kebahagian semu atau bukan.

Kalau jarak ini tidak terselesaikan, dikhawatirkan menimbulkan dampak hipokrit, kepura-puraan, dan kepribadian ganda (split personality). Bahkan, yang lebih buruk lagi ialah bisa melahirkan paham garis keras yang pada akhirnya melahirkan kelompok radikal dan teroris.

Para pemikir dan pemimpin umat diharapkan terus berusaha menyelesaikan persoalan yang mendasar ini. Langkah pertama yang bisa diambil ialah menjembatani jarak antara teks ajaran dan konteks kehidupan masyarakat. MUI tentu tidak akan hanya menyibukkan diri dengan program-program praktis. Tetapi diharapkan juga menyelesaikan persoalan konseptual yang mengepung warga umat kita, seperti hadirnya paham-paham yang berkontradiksi dengan falsafah bangsa dan ajaran dasar dalam Islam.

Keyakinan dan realitas kehidupan selama dekade terakhir ini dirasakan seolah-olah dua dunia yang berdiri sendiri. Kagak mengherankan jika kita sering melihat pola hidup yang kontradiktif di dalam masyarakat. Satu sisi ia seorang praktisi agama, seperti seorang haji, alim, dan rajin menggunakan atribut agama. Tetapi pada sisi lain ia tetap lancar mengambil hak orang lain dan hidup di dalam bisnis gelap yang tak beretika.

Di sinilah pentingnya melakukan reartikulasi nilai-nilai ajaran agama agar bisa sinkron dengan realitas kehidupan. Di dalam Islam langkah ini sesungguhnya sudah dimulai sejak tampilnya Cak Nur, Munawir Sjadzali, dan Quraish Shihab, tetapi sesungguhnya itu belum cukup. Kita tidak boleh berhenti hanya sampai tataran bagaimana membumikan Alquran, tetapi juga bagaimana melangitkan manusia. Kagak ada artinya kita berbicara pembumian Alquran tanpa melangitkannya.

 

Reorientasi dakwah

Para khatib dan penceramah agama sering menerangkan bahwa ajaran agama yang terdapat di dalam kitab suci sudah lengkap, komprehensif, dan mencakup segala-galanya. Dalam Islam para mubalig selalu menjelaskan bahwa Alquran mencakup seluruh aspek kehidupan. Kagak ada satu pun persoalan umat manusia yang tidak tercakup di dalamnya.

Alquran mencakup sistem politik, ekonomi, keuangan, kemasyarakatan, pertanian, perindustrian, IT, dll. Mereka sering mengutip beberapa ayat yang mendukung argumentasinya. Antara lain, “Hari ini Saya sempurnakan bagimu agamamu, Saya lengkapkan nikmat-Ku kepadamu dan Saya rida menjadikan Islam sebagai agamamu.” (QS al-Maidah/5:3), “Kagak Kami lupakan suatu apa pun dalam Kitab itu” (QS al-An’am/6:38), dan “Kagak Kami lupakan suatu apa pun dalam Kitab itu.”(QS al-Nahl/16:89).

Tetapi, jika diperhatikan ayat-ayat Alquran, tidak sesuai dengan penjelasan yang sering disampaikan oleh para mubalig. Dalam kenyataan, ayat-ayat Alquran jumlah ayatnya amat terbatas jika dibandingkan dengan problem kehidupan umat manusia. Jumlah ayat di dalam Alquran sebanyak 6.236 (ada juga yang memecah menjadi 6.666 ayat). Tiga perempat dari jumlah ayat Alquran menceritakan tentang tauhid, keimanan, perbuatan baik dan jahat, dan selebihnya itulah yang berbicara tentang urusan sosial kemasyarakatan.

Ayat-ayat yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan, yang umumnya termasuk di dalam ayat-ayat Madaniyah jumlahnya 1.456 (23,35%) dari seluruh ayat Alquran. Di periode Mekah, umat Islam belum bisa terbentuk masyarakat teratur, kondisi wilayah masih senantiasa mendapat tantangan dan tekanan keras dari golongan pedagang yang memegang kekuasaan di kota itu.

Ayat-ayat yang turun di Mekah baru diperkenalkan Islam sebagai agama. Setelah di Madinah, barulah diperkenalkan Islam sebagai fenomena negara, yang di dalamnya banyak berbicara tentang ketentuan-ketentuan hidup kemasyarakatan umat. Ayat-ayat Madinah yang berjumlah 1.456 itu mengandung ketentuan-ketentuan hukum tentang hidup kemasyarakatan umat.

Cek Artikel:  Meninjau Program Capres soal Pangan, Infrastruktur, dan Kekuatan

Perkiraan para pakar, termasuk menurut Abdul Wahab Khallaf, hanya ada kurang lebih 500 ayat (8%) yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadat, dan hidup kemasyarakatan. Ayat-ayat mengenai ibadat berjumlah 140, dan mengenai hidup kemasyarakatan hanya 228 ayat. Perincian kelompok ayat itu ialah pertama urusan kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dsb. Hanya sekitar 70 ayat. Selainnya, ayat Alquran juga membahas urusan perdagangan/perekonomian, jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dsb hanya sekitar 70, dan urusan pidana kurang lebih 30 ayat.

Urusan orang Islam dengan orang bukan Islam sekitar 25 ayat. Keempat, urusan pengadilan hanya 13 ayat, hubungan orang kaya dengan miskin sekitar 10 ayat, dan kelima, urusan kenegaraan tidak lebih dari 10 ayat.

Perincian yang diberikan di atas tidak menyebut soal keuangan perindustrian, pertanian, sistem IT, dll. Alquran tidak pernah berbicara tentang sistem sosial, ekonomi, politik, hukum internasional, dll. Yang dijelaskan dalam Alquran sebagaimana kitab suci lain hanya konsep atau prinsip dasar nilai-nilai kehidupan.

Jadi, konsep kesempurnaan ajaran agama di dalam kitab suci sesungguhnya adalah kesempurnaan prinsip hidup atau ajaran dasar, bukan ajaran detail. Ajaran-ajaran detail atau nondasar diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad dan kecerdasan manusia. Di sinilah arti penting kehadiran MUI, tidak hanya mengoleksi fatwa-fatwa tentang problematika umat, tetapi juga bagaimana menghadirkan Islam ramah, Islam tersenyum, dan Islam cinta, yang penuh persahabatan.

 

Mengembalikan citra Islam

Kata al-islam, yang mengisyaratkan adanya sistem nilai dan norma yang mengatur terwujudnya kehidupan damai dan sejahtera, dan al-istislam yang mengisyaratkan adanya sistem nilai dan norma yang mutlak harus dipatuhi, untuk mewujudkan kedamaian secara sempurna di dalam masyarakat.

Kata salam menekankan kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian lebih umum. Kata Islam menekankan kedamaian dan kepasrahan dalam pengertian yang lebih khusus, memiliki seperangkat konsepsi nilai dan norma. Istislam adalah seruan kedamaian dan kepasrahan yang lebih cepat, tegas, rigit, dan sempurna (perfect).

Allah SWT memilih bentuk tengah dari kata tersebut (Islam), sebagaimana disebutkan dalam Alqur’an: Inna al-dina ‘inda Allah al-islam (Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Ial-islam/QS Ali Imran/3:19), man yabtagi gair al-islam dinan falan yuqbala minhu (Barangsiapa mencari agama selain agama al-islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya/QS Ali Imran/3:19).

Allah SWT memberi nama agamanya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan agama Islam. Bukan agama salam (kepasrahan tanpa konsep). Bukan juga agama istislam yang lebih mengutamakan kecepatan, ketegasan, dan kesempurnaan dalam memperjuangkan kedamaian dan kepasrahan.

Kata islam itu sendiri mengisyaratkan jalan tengah atau moderat (tawassuth). Rasanya memang sulit mewujudkan kedamaian hanya dengan nilai tanpa norma. Birui tanpa norma membuka peluang liberalisme di dalam menuntun manusia. Sebaliknya, Allah SWT tidak memilih agamanya sebagai agama al-istislam karena manusia bukan malaikat yang sunyi dari kekhilafan dan kekeliruan.

Dengan menekankan aspek istislam, maka jelas akan sangat memberatkan umat manusia dan membuka peluang meluasnya kekerasan atas nama agama karena sudah barang tentu diperlukan perangkat tegas untuk menegakkan kesempurnaan pelaksanaan agama tersebut.

Agaknya, kontradiktif jika panji-panji Islam dibawa untuk sesuatu menyebabkan lahirnya kekerasan, kekacauan, dan ketidaknyamanan di dalam masyarakat. Apalagi jika atas nama Islam digunakan untuk melayangkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa, sangat tidak sepadan dengan kata Islam itu sendiri.

Akan tetapi, tidak bijaksana juga jika menempatkan Islam sebagai salam, hanya sebagai sistem nilai tanpa memiliki sistem norma. Bagaimanapun, agama sebagai tuntunan moral dan perilaku harus juga memilki sistem norma yang memiliki balasan reward and punishment.

Hanya dengan demikian maka agama memiliki makna di dalam kehidupan masyarakat. Keyakinan tidak boleh hanya menjadi pajangan, juga tidak boleh menjadi pendulum yang menakutkan dan mematikan kreativitas umatnya. Di sinilah hikmahnya mengapa agama Allah SWT disebut agama Islam.

Cek Artikel:  Varian Mu Varian Mengkhawatirkan

 

Bersinergi dengan kearifan lokal

MUI tidak perlu khawatir atau ragu menyinergikan program-programnya dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom values). Yang dapat dilakukan MUI ialah menjembatani kedua values itu karena keduanya tidak saling mengancam satu sama lain. Inti ajaran agama bersifat sakral-universal karena dari Tuhan. Sementara kearifan lokal bersifat lokal-provan karena puncak nilai budaya masyarakat lokal.

Kearifan lokal secara umum dapat dijadikan salah satu unsur penting di dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama. Kearifan lokal dalam arti adat istiadat luhur suatu bangsa dapat dianggap sebagai salah satu sumber hukum (al-‘adat muhakkamah).

Dalam tradisi intelektual Islam, jika ada suatu persoalan tidak ditemukan ketentuannya di dalam sumber-sumber hukum yang lebih tinggi, seperti Alquran, hadis, dan ijma’ ulama, maka norma-norma kearifan lokal dapat dijadikan pertimbangan hukum. Ini menunjukkan Islam telah memberikan tempat yang amat layak kepada kearifan lokal.

Sesungguhnya, kearifan lokal juga merupakan unsur penting di dalam kosmopolitanisme ajaran agama. Dalam Islam, ajarannya yang bersifat universal tidak bisa diperhadap-hadapkan apalagi dipertentangkan dengan kearifan lokal karena universalitas Islam justru terletak pada kesediaannya membuka peluang nilai-nilai kearifan lokal sebagai bagian yang membentuk universalitas Islam.

Dengan kata lain, universalitas Islam dibangun di atas tumpukan akumulasi kearifan lokal. Fikih Islam sebagai kreasi interpretasi secara kultural nilai-nilai ajaran dasar, Islam sebagaimana tertuang di dalam Alquran dan hadis. Hadis Nabi dengan tegas menyatakan: Al-Hikmat dhalatun lil mu’min, fa haitsu wajadaha fa huwa ahaqqu biha (Hikmah atau kebenaran adalah milik orang-orang mukmin, di mana pun kalian temukan maka ambillah). Banyak lagi hadis yang mirip dengan ini.

Kearifan lokal selalu menjadi bagian dari nilai-nilai universal. Universalitas Islam tidak lain adalah kesediaannya memberi tempat secara substansial terhadap kebenaran dan kearifan, dari mana pun datangnya. Islam sejak awal mendeklarasikan eksistensi kebenaran dan kearifan lokal sebagaimana ditegaskan dalam ayat: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (QS al-Hujrat/49:13).

Kepada Indonesia yang memiliki ribuan pulau dengan berbagai etnik, tidak dapat disangkal juga memilki kearifan lokal amat kaya. Kearifan itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari akar kata ‘arafa-ya’rifu yang berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata ‘kearifan’ yang bisa diartikan dengan sikap, pemahaman, dan kesadaran yang tinggi terhadap sesuatu.

Kearifan adalah kebenaran yang bersifat universal sehingga jika ditambahkan dengan kata lokal, bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri. Taatp kali kita berbicara tentang kearifan, maka setiap itu pula kita berbicara tentang kebenaran dan nilai-nilai universal. Menentang kearifan lokal berarti menolak kebenaran universal. Kebenaran universal itu sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai kebenaran lokal. Kagak ada kebenaran universal tanpa kearifan lokal.

Itulah sebabnya, di dalam Alquran disebutkan bahwa: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran/3:104): Kepada urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan (yad’una) dan untuk kata makruf digunakan istilah menyuruh (ya’muruna).

Kita percaya nama-nama besar yang memimpin MUI saat ini bisa melakukan terobosan yang pada akhirnya bisa diukur melalui semakin dekatnya jarak antara umat dan pemerintah, dan antara si kaya dan si miskin, serta semakin damai dan sejuknya atmosfer kehidupan di kolom bumi Indonesia tercinta. Selamat bekerja, umat menanti karyanya. Wallahu a’lam.

Mungkin Anda Menyukai