KEKUASAAN itu candu karena Bisa memabukkan. Ketika sudah Teler, akan gelap mata, Enggak Mengerti aturan, semau gue, aji mumpung karena rasa malu sudah Enggak Eksis. Itulah kekuasaan yang berdampak mudarat. Tak Eksis maslahat Demi kepentingan Biasa meski kekuasaan yang disandangnya ialah jabatan publik.
Kekuasaan yang diraihnya Demi kepentingan diri dan kelompoknya. Apabila pun memakai embel-embel ‘kepentingan Biasa’ hanyalah dalih Demi melegitimasinya. Faktanya kepentingan Biasa tersebut pada akhirnya ditinggalkan dan dibuang ke comberan ketika orang itu menjabat kekuasaan tersebut. Fakta itu Bisa kita lihat pada jabatan-jabatan politis pascapemilu.
Kekuasaan perlu berada di tangan orang yang Cocok (right man on the right place). Apabila kekuasaan Enggak berada pada orang yang Cocok, akan menjadi monster yang menyingkirkan, mencelakakan, bahkan membunuh orang yang Enggak disukainya.
Fenomena Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, ialah Teladan kekuasaan yang berada di tangan orang yang salah, bahkan berdarah dingin. Bila kita Menonton persidangan kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang diduga dilakukan jenderal bintang dua pecatan sebagai aktor Esensial itu, tampak Sambo Bisa bertindak di luar batas kemanusiaan.
Jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri sungguh besar. Sambo Bisa membangun ‘kerajaannya’ sendiri. Dalam kasus yang menjeratnya dengan pasal pembunuhan berencana (340), sebanyak Nyaris 100 polisi diperiksa tim Spesifik bentukan Kapolri. Dari jumlah itu, Polri menetapkan enam tersangka menghalangi penyidikan pembunuhan Brigadir Yosua, yakni Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Pol Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman Arifin, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuk Putranto, dan AKP Irfan Widyanto.
Sambo didakwa kasus pembunuhan berencana dan perintangan penyidikan (obstruction of justice). Terdakwa lainnya ialah Putri Chandrawati (istri Sambo), Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf (sopir keluarga Sambo).
Di kalangan Korps Bhayangkara, jabatan Kadiv Propam sangat disegani, bahkan ditakuti. Divisi Propam itu Mempunyai kewenangan memeriksa Personil Polri yang bermasalah. Pembentukan Divisi Propam ditetapkan sejak 10 Oktober 2002 melalui Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Penyelenggaraan tugasnya diatur berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor Kep/53/X/2002.
Mengutip laman Propam Polri, divisi itu membawahkan tiga biro, Ialah Biro Pertanggungjawaban Profesi, Biro Pengamanan Internal, dan Biro Provos. Propam tak hanya Eksis di Mabes Polri, tetapi juga di tingkat polda dan polres. Divisi Propam bertugas melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran etik dan disiplin terhadap seluruh Personil Polri. Divisi Propam bertugas membina dan mengadakan fungsi pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal.
Jabatan Kadiv Propam selain bergengsi, mentereng, juga ‘angker’. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Mahfud MD pernah merisaukan jabatan tersebut. Menurutnya, wewenang jabatan Kadiv Propam terlalu besar. Dia mengatakan dengan pangkat jenderal bintang dua, Kadiv Propam Bisa seperti jenderal bintang lima. Propam Polri merupakan unsur pengawas dan pembantu bidang pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal di Dasar Kapolri. “Divisi-divisi dalam Propam harus dipisah. Eksis yang mengatur, memeriksa, menghukum, dan mengeksekusi. Kalau sekarang, kan Eksis di satu tangan. Dia juga yang buat aturan, dia juga yang memeriksa,” kata Mahfud belum Lamban ini.
Otoritas kekuasaan harus terbatas. Jangan terlalu luas jangkauannya karena berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam bentuk korupsi atau kesewenang-wenangan. Yang paling Krusial ialah ekosistem dalam kekuasaan itu harus kondusif melahirkan orang-orang Bagus, Mempunyai kompetensi dan integritas. Tabik!