BELUM lagi dunia selesai dengan pandemi covid-19, di tahun 2022 ini WHO sudah menetapkan dua penyakit yang bisa berpotensi menjadi pandemi. Setelah beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh adanya hepatitis misterius yang terjadi di beberapa negara, pekan yang lalu dokter Tedros selaku Direktur Jenderal WHO mendeklarasikan penyakit cacar monyet, atau yang lebih dikenal sebagai monkeypox, sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Status kedaruratan tersebut merupakan status tingkat kewaspadaan global di bawah status pandemi. WHO tidak dengan mudah menetapkan status ini. Mereka harus mengumpulkan berbagai ahli penyakit menular dunia untuk melihat risiko kemungkinan terjadinya pandemi akibat cacar monyet.
Kedaruratan global
Meskipun para ahli tidak mencapai kesepakatan tentang adanya kedaruratan secara global, dokter Tedros selaku Dirjen WHO merasa tetap perlu untuk mendeklarasikan penyakit tersebut sebagai penyakit PHEIC. Hal itu mengingat peningkatan kasus cacar monyet yang sangat tinggi di banyak negara dalam waktu yang singkat. Penetapan penyakit sebagai kedaruratan global akan membantu upaya penanggulangan karena ada peningkatan prioritas untuk menyediakan sumber daya, mempersiapkan sistem pelayanan kesehatan, mempercepat proses penelitian, dan menyediakan vaksin yang sangat esensial untuk menghentikan penularan.
Lewat, apa sebenarnya monkeypox itu? Monkeypox adalah penyakit yang disebabkan oleh virus DNA keluarga orthopoxvirus. Virus ini masih satu keluarga dengan penyakit cacar yang sudah dapat diberantas dari muka dunia pada akhir dekade 70-an. Perlu dicatat bahwa penyakit cacar adalah penyakit yang berbeda dengan penyakit cacar air yang masih sering dijumpai pada anak-anak usia sekolah. Penyakit cacar air disebabkan oleh virus varicella-zoster. Virus yang masih satu keluarga dengan virus penyebab herpes.
Bagus penyakit cacar monyet maupun cacar air memiliki gejala klinis yang relatif serupa, yaitu adanya demam, nyeri kepala, rasa lelah, lesi kulit berupa ruam dan tanda-tanda kulit melepuh. Akan tetapi, angka kematian akibat kedua penyakit tersebut berbeda. Kematian akibat cacar air sangatlah jarang. Sebaliknya, kematian akibat penyakit cacar monyet bisa mencapai 11% di antara mereka yang belum divaksinasi. Cacar monyet bukanlah penyakit yang baru seperti covid-19. Penyakit ini telah ada sejak dahulu bersama dengan penyakit cacar. Bahkan, orang yang menerima vaksin cacar juga terlindungi dari penyakit cacar monyet ini.
Cacar monyet, yang umumnya menjadi penyakit endemis di wilayah Afrika Barat dan Tengah, saat ini menjadi salah satu ancaman bagi kesehatan masyarakat. Hal itu terjadi setelah kita berhasil memberantas penyakit cacar secara global, dan kemudian menghentikan program vaksinasi cacar. Penyakit yang umumnya bersifat zoonosis dan menular kepada orang yang mempunyai kontak erat dengan beberapa jenis tupai maupun tikus, juga mampu menular dari orang ke orang.
Secara epidemiologis, outbreak penyakit ini sebagian besar terjadi di negara-negara Afrika. Pada 2003, pertama kali tercatat outbreak di luar Afrika, ketika ada 70 kasus cacar monyet di Amerika Perkumpulan yang disebabkan oleh prairie dog, hewan serupa marmut yang sering menjadi hewan peliharaan di sana. Hewan tersebut terinfeksi virus cacar monyet karena tinggal dalam satu kandang yang sama dengan tikus yang diimpor dari Ghana. Cacar monyet tercatat juga menyebar ke Israel pada 2018, juga Inggris di 2018, 2019, 2021, dan 2022. Di Singapura, penyakit ini tercatat pernah ditemukan pada 2019.
Pusingkatan kasus
Tetapi, sejak Mei 2022, WHO mencatat peningkatan kasus yang bermakna di negara-negara nonendemis, dan dengan riwayat perjalanan ke daerah nonendemis. Sebagian besar dari kasus yang terkonfirmasi justru mempunyai riwayat perjalanan ke berbagai negara di Eropa dan Amerika Utara, dibandingkan dengan mereka yang mempunyai riwayat perjalanan ke Afrika. Hingga hari ini, tercatat hampir 22.500 kasus yang tersebar di 79 negara. Sejumlah 22.140 kasus dilaporkan dari 72 negara yang sebelumnya tidak pernah melaporkan adanya kasus cacar monyet. Hanya 344 kasus dilaporkan berasal dari 7 negara endemik cacar monyet.
Tingginya jumlah dan sebaran kasus yang di luar kewajaran ini yang menyebabkan WHO meningkatkan status cacar monyet sebagai PHEIC. Para ahli menduga tingginya tingkat penyebaran kasus tersebut akibat semakin menurunnya tingkat kekebalan komunitas. Hal itu disebabkan program vaksinasi cacar telah dihentikan pada dekade 80-an ketika dunia sudah berhasil melakukan pemberantasan penyakit cacar.
Penularan dari manusia ke manusia pada penyakit ini dapat terjadi akibat kontak dekat melalui droplet, atau kontak langsung dengan lesi kulit penderita, maupun dengan memegang benda yang baru saja digunakan penderita. Penularan juga dapat disebabkan oleh kontak erat selama hubungan seksual. Di samping itu, transmisi vertikal dari ibu ke anak dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan.
Sebagian besar kasus yang terlaporkan selama ini ditengarai akibat penularan seksual, terutama di antara laki-laki yang melakukan hubungan dengan laki-laki lain. Penderita cacar monyet dapat menularkan virus ke orang lain semenjak gejala muncul hingga seluruh ruam kulit telah sembuh sempurna dan berganti kulit. Penderita akan mengalami sakit selama 2-4 minggu. Hingga saat ini, belum diketahui apakah kasus asimptomatik juga akan menularkan virus.
Seperti kebanyakan penyakit yang disebabkan oleh virus, juga belum ada obat yang mampu menyembuhkan cacar monyet. Obat-obatan yang diberikan terutama ditujukan untuk mengurangi gejala dan komplikasi penyakit apabila terjadi. Hingga saat ini, vaksin merupakan intervensi medis yang terbukti efektif mencegah terjadinya cacar monyet.
Penelitian terhadap vaksin cacar sebelumnya menunjukkan bahwa vaksin cacar juga mampu melindungi dari penularan cacar monyet hingga 80%, meskipun belum ada vaksin yang spesifik ditujukan untuk cacar monyet. Demi ini, ada satu vaksin modifikasi virus vaccinia (strain Ankara) telah disetujui oleh Uni Eropa sebagai vaksin untuk mencegah cacar monyet di benua itu. Akan tetapi, soal akses menjadi masalah utama karena keterbatasan jumlah vaksin yang tersedia saat ini.
Hingga saat ini, pemerintah belum melaporkan adanya cacar monyet di Indonesia. Hal itu bisa saja karena memang cacar monyet belum masuk ke Indonesia, atau kasus yang ada memang masih sangat sedikit, sehingga belum mampu dideteksi oleh sistem surveilans kita. Dengan gejala klinis yang mirip, kasus cacar monyet bisa saja dikelirukan sebagai cacar air. Kepada melakukan konfirmasi diagnosis diperlukan pemeriksaan PCR dengan ketersediaan reagen pemeriksaan yang masih sangat terbatas.
Golongan risiko tinggi
Di sisi yang lain, data epidemiologis menunjukkan bahwa kasus cacar monyet tidak semenular penyakit cacar maupun cacar air. Penularan pun sebagian besar dicurigai melalui kontak seksual pada kelompok tertentu sehingga sangat mungkin penyebaran kasus cacar monyet akan mengikuti pola tersebut. Karena itu, pemerintah sebaiknya meningkatkan kewaspadaan pada kelompok risiko tinggi dan mengintegrasikan surveilans cacar monyet pada sistem surveilans penyakit menular seksual.
Pada akhirnya, pandemi covid-19, epidemi hepatitis misterius, maupun cacar monyet mengingatkan kepada kita bahwa ke depan akan ada berbagai penyakit menular yang berpotensi menjadi pandemi. Mobilitas dan interaksi manusia secara global yang sangat tinggi menyebabkan risiko tersebut tidak dapat dihindari. Kunci pengendalian yang berhasil bertumpu pada kerja sama yang kuat antara pemerintah dan masyarakat untuk melakukan langkah-langkah pengendalian yang diperlukan.
Mengingat cacar monyet dapat ditularkan melalui dorplet ataupun kontak dekat, pencegahan covid-19 secara umum seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak tetap efektif untuk mencegah penularan. Selain itu, bagi kelompok risiko tinggi penularan secara seksual, perlu kehati-hatian dalam berinteraksi dengan pasangan yang bukan pasangan tetapnya. Semoga, dengan langkah-langkah pencegahan tersebut, kita dapat meminimalkan risiko penyebaran cacar monyet di Indonesia.