SEKARANG, sejumlah daerah di Indonesia sudah memasuki awal musim hujan. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), perkiraan secara umum menunjukkan bahwa musim hujan akan dimulai pada bulan November 2023, walaupun tidak secara bersamaan di seluruh wilayah. Sementara itu, puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari dan Februari 2024.
Masyarakat mesti berhati-hati dan waspada dengan sejumlah penyakit yang sering muncul pada saat musim hujan, diantaranya adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD). Meskipun sekarang demam dengue sering terjadi pada musim kemarau, namun penyakit itu berpotensi lebih besar terjadi saat musim hujan.
Musim penghujan memang dapat menjadi waktu rawan peningkatan kasus DBD karena musim penghujan menciptakan lingkungan yang lebih ideal bagi nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan vektor penyakit DBD, untuk berkembang biak. Air hujan yang menumpuk di genangan, potongan-potongan plastik, dan wadah lain yang dapat menampung air menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk tersebut. Selain itu, musim hujan juga membuat orang cenderung lebih sering berada di dalam rumah, meningkatkan risiko gigitan nyamuk di dalam ruangan.
Demi menekan peningkatan kasus DBD selama masa peralihan musim, beberapa langkah pencegahan penting yang dapat diambil antara lain:
Pertama, pengendalian populasi nyamuk: Melakukan kontrol terhadap populasi nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor virus DBD. Ini dapat dilakukan melalui penggunaan insektisida, pemasangan jaring nyamuk, pengelolaan air, atau pendekatan inovatif seperti penggunaan metoda Wolbachia.
Metoda Wolbachia merupakan metode biologis yang dilakukan dengan menanamkan bakteri Wolbachia pada populasi nyamuk sehingga dapat mengurangi kemampuan nyamuk untuk mentransmisikan virus penyakit. Program pengendalian DBD dengan metode nyamuk Wolbachia telah menunjukkan efektivitas yang menjanjikan dalam beberapa penelitian dan proyek lapangan.
Nyamuk yang diinfeksi dengan bakteri Wolbachia ini dapat membantu menghambat perkembangbiakan virus dengue dalam tubuh nyamuk, sehingga mengurangi kemampuan nyamuk untuk menyebarkan virus tersebut kepada manusia. Beberapa proyek lapangan telah dilakukan di berbagai negara, dan hasilnya menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kasus DBD di area yang diintervensi dengan nyamuk Wolbachia.
Tetapi demikian, efektivitasnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk keberlanjutan program, partisipasi masyarakat, lingkungan, dan kondisi lokal lainnya. Meskipun masih perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami seluruh dampak dan potensi efektivitasnya dalam jangka panjang, metode nyamuk Wolbachia telah menunjukkan harapan sebagai salah satu alat dalam upaya pengendalian DBD.
Kedua, edukasi dan kesadaran Masyarakat. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencegahan DBD melalui kampanye penyuluhan, informasi tentang tanda dan gejala DBD, serta promosi praktik pencegahan seperti penggunaan kelambu, penggunaan obat anti-nyamuk dan pembersihan tempat berkembang biak nyamuk.
Edukasi ini mesti disampaikan hingga pada lapisan masyarakat terbawah karena kelompok inilah yang paling rentan terhadap DBD. Informasi tidak bisa hanya terbatas dikota-kota atau daerah urban area saja.
Ketiga, penguatan Infrastruktur kesehatan. Memastikan fasilitas kesehatan siap mengatasi lonjakan kasus DBD dengan persediaan obat dan peralatan medis yang cukup, serta tenaga medis yang terlatih untuk penanganan kasus DBD. Tenaga medis mesti sudah sangat terampil dalam mendiagnosis DBD dan memberikan pelayanan adekuat.
Bahkan mereka perlu dilatih untuk mendiagnosis dengan menggunakan parameter sederhana, yaitu berdasar keluhan dan penggunaan alat-alat sederhana. Ini penting karena pada daerah perifer tidak semua memiliki akses terhadap pemeriksaan laboratorium trombosit.
Keempat, surveilans dan pelacakan kasus. Sangat perlu meningkatkan sistem surveilans untuk mendeteksi kasus DBD secara dini, serta memberlakukan tindakan respons cepat untuk meminimalkan penyebaran virus. Pada saat yang sama, pemerintah perlu melakukan penguatan kebijakan dan program pemerintah dalam pengendalian vektor, pencegahan penyakit, dan intervensi lingkungan yang dapat meminimalkan risiko peningkatan kasus DBD.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan sektor kesehatan, peningkatan kasus DBD selama masa peralihan musim dapat ditekan.