Momentum untuk Mengubah dan Memperbaiki

Momentum untuk Mengubah dan Memperbaiki
(MI/Tiyok)

SETIAP krisis berawal dari dalam sistem. Apakah itu organisasi bisnis, sosial, dan pemerintah, potensi krisis senantiasa berakar dalam mekanisme internal. Krisis tidak selalu muncul dalam skala masif dan seketika, tetapi dia tumbuh secara perlahan. Awalnya tampak seperti gejala ringan, tetapi kemudian dengan cepat menyeruak keluar secara beruntun seperti efek kotak Pandora.

Skandal korupsi yang menjerat salah satu pejabat dinas pajak dan isu pencucian uang yang melibatkan institusi keuangan pemerintah akhir-akhir ini ialah contoh gejala krisis yang sedang berlangsung dalam tubuh pemerintah. Bisa jadi, skala krisis dan kerusakan yang sebenarnya jauh lebih besar daripada apa yang terlihat. Seberapa besar dari seluruh krisis ini akan terbuka di mata publik akan sangat bergantung pada keinginan dan kekuatan pemerintah untuk mengungkap atau sebaliknya, justru menutupi aib institusi negara.

Nyaris sepuluh tahun Presiden Joko Widodo menjadi kepala pemerintahan. Di tangan beliau berada seluruh kekuasaan dan otoritas dalam mengatur kebijakan nasional yang berdampak pada kehidupan setiap warga negara Indonesia. Banyak yang sudah dilakukan dan tidak sedikit yang telah dicapai. Tetapi, saat beliau akan mengakhiri masa jabatan, pelan-pelan kita melihat satu per satu gejala krisis terungkap ke publik. Fatalnya, krisis ini bersifat sistemis dan mengakar dalam sistem pemerintahan.

 

Kenapa krisis ini terjadi dan bagaimana memitigasinya? 

Krisis ialah konsekuensi dari kualitas organisasi. Dalam konteks struktur kepemerintahan, kualitas kelembagaan sangat ditentukan model kepemimpinan dan arah kebijakan yang diambil. Karena itu, krisis yang sepertinya akan terus berkembang biak itu tidak lepas dari bagaimana Presiden Jokowi membangun sistem tata kelola tempat dia menjadi nakhoda.

Selama ini, Presiden Jokowi telah berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam pembangunan ekonomi. Hanya saja, banyak catatan kritis terhadap apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan pemerintahan Joko Widodo. Mulai utang yang naik secara dramatis, persentase pekerja informal yang masih dominan, serta gagalnya proyek skala besar seperti tol laut dan food estate. Hal itu diperburuk pembangunan infrastruktur yang masif, tetapi cenderung under utilized akibat kurang matangnya perencanaan. Belum lagi, proyek pembangunan IKN yang cenderung tergesa-gesa, tidak urgen, dan mengabaikan suara publik. Itu berdampak pada tingkat risiko kegagalan yang tinggi.

Hanya tinggal setahun masa jabatan Presiden Jokowi. Waktu yang sempit itu tidak cukup bagi Jokowi untuk melakukan pembenahan struktural. Karena itu, harapan kita tertuju pada pemerintah pasca-Pilpres 2024. Pergantian kepemimpinan ialah momentum untuk melakukan transformasi fundamental dalam memitigasi kondisi institusi pemerintah yang rawan krisis. Karena itu, siapa pun yang terpilih dalam pilpres, agenda perubahan dan perbaikan tidak dapat dihindari jika kita ingin melihat Indonesia berjalan di rel yang benar. Perubahan dan perbaikan yang dibutuhkan bukan sekadar bersifat teknis dan praktis, misalnya penentuan proyek pembangunan atau penyesuaian program kebijakan unggulan, melainkan harus dilakukan secara mendasar, yaitu pada metode dan sistem pemerintahan. Pada tingkatan itu, agenda perubahan dan perbaikan dapat diwujudkan dalam tiga domain.

Cek Artikel:  Melampaui Warsa Kecemasan

 

Kepemimpinan berbasis sains

Harus diakui bahwa sejak Presiden Jokowi menjabat, ritme kerja pemerintah terasa berjalan dengan cepat jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Berbagai proyek infrastruktur tadinya butuh waktu bertahun-tahun untuk dikerjakan, tetapi di masa jabatan Jokowi proyek-proyek tersebut bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Mulai jembatan, bendungan, pelabuhan, hingga tol. Kita semua paham pentingnya infrastruktur. Di dalam teori pembangunan, infrastruktur ialah akselerator pertumbuhan ekonomi yang krusial. Karena itu, sudah tepat jika pemerintahan Presiden Jokowi terfokus pada pembangunan infrastruktur.

Masalahnya, membangun infrastruktur tidak sekadar harus cepat, tetapi juga harus cermat. Itu menjadi titik kelemahan Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur. Proyek-proyek infrastruktur seakan dilakukan berdasarkan intuisi semata. Pembangunan LRT di Palembang, Bandara Kertajati, kereta cepat Jakarta Bandung, dan pembangunan IKN ialah contoh gamblang bagaimana keputusan program infrastruktur justru membawa potensi kerugian bagi pemerintah, yang akan dibebankan ke rakyat lewat pajak. Pola pengambilan keputusan yang bersifat intuitif, tanpa penguasaan masalah secara dalam, itu merebak di berbagai sektor seperti pariwisata, pendidikan, dan transportasi.

Antidot untuk kepemimpinan intuitif ialah kepemimpinan yang berbasis sains. Dalam dunia yang begitu kompleks seperti saat ini, sains menjadi kebutuhan mutlak dalam mengelola pemerintahan. Dengan sains, kepemimpinan politik akan menjadi rasional sekaligus bijak. Setidaknya, ada dua fungsi strategis sains dalam kepemimpinan nasional. Pertama, sains menyediakan cara untuk menganalisis masalah yang ada di masyarakat dan lingkungan secara akurat. Melalui data dan bukti empiris, kepemimpinan yang berbasis sains akan mampu mengidentifikasi berbagai persoalan yang sering muncul secara bersamaan. Pendekatan itu akan menghasilkan solusi dan respons yang efektif dan efisien.

Kedua, sains meningkatkan kapasitas pemerintah untuk melakukan perencanaan secara matang, terukur, dan terintegrasi. Pengalaman selama masa Presiden Jokowi menunjukkan buruknya mekanisme perencanaan yang sistematis serta rendahnya kapasitas pengelolaan krisis karena sebagian besar keputusan ditentukan kepentingan politik Jokowi dan orang di sekitarnya. Sebagai contoh yang paling gamblang ialah ketika Indonesia menghadapi pandemi di tahun pertama respons pemerintah yang cenderung menyangkal berakibat tingginya tingkat kematian akibat covid-19. Hal itu tidak akan terjadi jika kepemimpinan dibimbing sains. Dalam model kepemimpinan itu, pemerintah memiliki rujukan yang valid dan objektif sehingga siapa pun presidennya, keputusan yang diambil akan dapat merespons berbagai isu yang muncul dengan tepat.

Cek Artikel:  Diserangnya Mahkamah Kita

 

Pertumbuhan berbasis keadilan

Kita bersyukur bahwa selama 20 tahun terakhir Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup masif hingga menempatkan Indonesia sebagai anggota G-20. Begitu ini, Indonesia masuk kategori negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle income). Pendapatan per kapita Indonesia sebenarnya masih sangat rentan karena berada di batas bawah (borderline), yang dengan mudah menurunkan status Indonesia ke dalam kelompok lower-middle income.

Karena itu, pemerintah Jokowi terus berusaha mendorong pertumbuhan sebagai cara untuk menaikkan pendapatan per kapita. Sejak menjabat, Presiden Jokowi seakan tidak pernah lelah untuk menarik investor asing untuk masuk ke Indonesia melalui berbagai insentif. Korporasi besar domestikpun tidak lepas diberi konsesi dan fasilitas agar mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Diharapkan, Indonesia mampu lepas dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).

Sayangnya, dua indikator menunjukkan rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, 58% pekerja Indonesia masih berada dalam sektor informal, angka yang terus naik dalam lima tahun terakhir. Maksudnya, peningkatan investasi tidak berbanding lurus terhadap penyerapan tenaga kerja ke dalam ke sektor formal. Kedua, walaupun pendapatan per kapita mencapai $4,180, jika kita tilik secara dalam, terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara kelompok mayoritas paling bawah dan kelompok minoritas paling atas (lihat gambar). Apabila 10% penduduk teratas memiliki pendapatan per kapita setingkat negara-negara penghasilan tinggi di Eropa, ada sekitar 30% penduduk terbawah Indonesia yang masih terjebak dalam penghasilan rendah seperti beberapa negara Afrika.

Apabila tidak dimitigasi secara struktural, kesenjangan itu akan terus berlangsung, bertambah parah, dan menjadi api dalam sekam yang dapat menyulut ketegangan sosial. Dalam jangka panjang, kesenjangan itu akan merusak keberlanjutan pertumbuhan. Karena itu, agenda perubahan dan perbaikan semestinya diwujudkan melalui paradigma baru, yakni pertumbuhan berbasis keadilan. Dalam paradigma itu, keadilan bukan tujuan yang dicapai setelah pertumbuhan, melainkan pertumbuhan dan keadilan berjalan seiring dan saling memperkuat.

Selama ini, pertumbuhan ekonomi dikejar melalui mekanisme trickle-down effect yang sangat problematik. Pendekatan itu terbukti memberi keuntungan lebih besar kepada korporasi dan elite politik ekonomi yang menguasai sumber daya produksi. Apabila dalam trickle-down effect pertumbuhan didorong melalui mekanisme pull the top (kelompok atas ditarik ke atas), dalam pertumbuhan berbasis keadilan, pertumbuhan dikejar melalui mekanisme push the bottom (kelompok paling bawah didorong ke atas). Mekanisme itu mengurangi kesenjangan antara kelompok paling atas dan kelompok paling bawah secara sistematis dan kolektif.

Kepada mewujudkan pertumbuhan berbasis keadilan, ada lima pilar keadilan yang menjadi fokus kebijakan ekonomi pemerintah, yakni kesehatan, perumahan, pendidikan, mobilitas, dan jaminan pekerjaan. Kelima pilar dikelola secara terintegrasi sebagai bagian inti dari kebijakan ekonomi, bukan sekadar instrumen kesejahteraan sosial yang bersifat belas kasih. Pada akhirnya, tercapainya keadilan dalam lima domain itu akan meningkatkan kualitas sumber daya manusa Indonesia yang niscaya akan memberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan (sustainable growth).

Cek Artikel:  Debat Ambang Batas

 

Tata kelola berbasis kolaborasi

Satu ciri khas pemerintahan Joko Widodo ialah perilaku tata kelola yang cenderung sentralistis seperti di era Orde Baru. Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana Presiden Jokowi memimpin langsung program pembangunan infrastruktur dan investasi, dengan otoritas sepenuhnya berada di pemerintah pusat. Misalnya yang paling gamblang ialah pembangunan IKN yang bernuansa sangat sentralistis. Seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan ibu kota baru itu dilaksanakan pihak pemerintah nyaris tanpa partisipasi dari unsur masyarakat. Tata kelola sentralistis itu juga ditemui berbagai sektor, misalnya pendidikan, lingkungan, penanganan pandemi dan kesehatan, serta keuangan.

Bagi pemerintahan Jokowi, tata kelola sentralistis sepertinya lebih menarik karena pekerjaan seakan-akan menjadi lebih mudah ketika seluruh proses dikendalikan satu entitas. Tetapi, ketika kita berhadapan dengan masalah yang sangat kompleks dan dengan sumber daya terbatas, tata kelola sentralistis yang bersifat reduktif tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara komprehensif. Beberapa proyek pemerintahan Jokowi yang berakhir dengan kegagalan ialah bukti yang cukup untuk mencari model tata kelola yang lebih adaptif.

Indonesia ialah bangsa yang sangat majemuk, yang berada di lingkungan alam dengan tingkat keragaman (biodiversitas) yang tinggi. Kompleksitas ialah hal yang tidak terhindarkan. Karena itu, dibutuhkan sistem tata kelola berbasis kolaborasi yang mampu mengadopsi kompleksitas dan menjadikannya sebagai keunggulan. Itu ialah domain ketiga dalam agenda perubahan dan perbaikan. Konsep tata kelola kolaboratif (collaborative governance) relatif masih baru. Mulai berkembang sekitar awal 2000-an.

Konsep itu merupakan lanjutan dari konsep partisipatoris. Bedanya, praktik partisipatoris membatasi peran aktor nonpemerintah dalam proses perencanaan, sedangkan tata kelola kolaboratif memberi ruang yang jauh lebih luas bagi berbagai aktor di luar pemerintah untuk berkolaborasi dan terlibat dalam perencanaan, sekaligus pengerjaan dan pelaksanaan program dan proyek yang dicanangkan pemerintah sebagai platform provider. Kontribusi sumber daya dari berbagai aktor akan meringankan pekerjaan pemerintah.

Seperti yang dikatakan Chris Ansell dan Alison Gash (2008), tata kelola kolaboratif menciptakan suasana yang memperkuat kepercayaan, komitmen, dan pengertian antaraktor yang bekerja sama dengan pemerintah. Permasalahan yang kompleks dapat lebih mudah diselesaikan karena bergabungnya berbagai perspektif dan pengetahuan menghasilkan solusi yang jauh lebih efektif dan bertahan lama. Itu ialah kunci bagi Indonesia untuk tetap melangkah maju ke depan dan meninggalkan praktik kepemimpinan yang usang.

Begitunya untuk mengubah dan memperbaiki.

Mungkin Anda Menyukai