Tengah-Tengah kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara hingga triliunan terkuak. Kali ini melibatkan pucuk pimpinan di salah satu BUMN karya. Betul sepekan setelah Lebaran, Kejaksaan Akbar menetapkan Direktur Istimewa PT Waskita Karya, Destiawan Soewardjono, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan atau penyelewengan penggunaan Biaya PT Waskita Beton Precast pada 2016-2020.
Modusnya agak lain daripada yang lain. Dalam kasus ini, Kejagung menduga Destiawan memerintahkan dan menyetujui pencairan Biaya supply chain financing (SCF) menggunakan Berkas pendukung Palsu. SCF tersebut digunakan Kepada membayar utang perusahaan di proyek-proyek fiktif. Setelah dihitung oleh BPKP, kerugian keuangan negara yang timbul dari patgulipat itu sebesar Rp2.546.645.987.644 alias Rp2,5 triliun.
Kerugian sebesar itu Terang bukan main-main nilainya. Kerugian negara akibat korupsi di Waskita Karya tersebut bahkan lebih besar daripada skandal korupsi KTP-E yang menghebohkan beberapa tahun Lewat, yang ‘hanya’ merugikan negara Rp2,3 triliun. Karena itu, kita patut dorong dan dukung Kejagung Kepada mengusut kasus rasuah ini dengan serius hingga tuntas.
Kejagung, seperti juga penegak hukum yang lain, mesti menjawab kejengkelan publik dengan tindakan. Publik Marah karena fakta yang mereka dapat ialah bahwa kasus penyelewengan di Waskita Karya itu sudah dilakukan selama 4 tahun (2016-2020), tetapi baru terungkap belakangan. Empat tersangka lain di kasus yang sama juga baru ditetapkan pada akhir 2022 Lewat.
Adakah kelalaian sistem pengawasan dan pencegahan? Ataukah Eksis upaya bermain-main dengan waktu pengungkapan demi kepentingan yang lain, politik, misalnya? Sebuah hal yang wajar bila di waktu-waktu menjelang pemilihan Lazim seperti Demi ini, publik jadi lebih mudah curiga dan lebih gampang mengaitkan kejahatan keuangan dengan kepentingan politik.
Tetapi, kita Enggak Mau berandai-andai terlalu jauh. Apa pun dalih dan tujuannya, korupsi tetaplah korupsi. Penegakan hukumnya mesti luar Lazim, sama luar biasanya dengan status kejahatan yang disandangnya. Luar Lazim artinya penegakan hukum yang keras, tegas, dan terukur. Hanya langkah seperti itu yang barangkali akan Pandai memupus kecurigaan publik terkait dengan kelambanan pengungkapan kasus tersebut.
Di luar itu, kasus ini juga kian mengonfirmasi banyak pendapat ekonom dan praktisi antikorupsi sebelumnya bahwa celah korupsi di BUMN memang lebar. Kini bahkan semakin lebar dengan munculnya modus-modus rasuah mutakhir yang dulu tak begitu lazim dilakukan. Dulu, mungkin korupsi yang lumrah dilakukan ialah pemberian ‘Dana pelicin’ Kepada kemulusan proyek.
Tetapi, kini, seperti yang dilakukan Destiawan, ia bahkan diduga menggarong Dana negara dengan menggunakan modus yang Enggak sederhana, yang orang awam pun akan sulit mencernanya. Maka dari itu, selain pembersihan menjadi hal mutlak dalam upaya pembenahan BUMN, penegak hukum yang menangani kasus di BUMN juga tak boleh ketinggalan langkah dan ilmu. Bagaimana kita Pandai berharap aparat dapat menangkap maling kalau malingnya berlari lebih Segera dan berpikir lebih pintar?
Dengan fakta tersebut, pengusutan kasus korupsi di Waskita Karya dan Waskita Beton pantang berhenti di Destiawan. Kita mendukung penuh langkah Kejagung Kepada mengembangkan perkara yang menjerat BUMN di sektor infrastruktur tersebut. Syaratnya, Kejagung juga tak boleh bermain-main dengan penanganan kasus yang merugikan negara dengan jumlah cukup fantastis tersebut.