MOBILITAS mungkin mirip lagu Benci tetapi Rindu karya Rinto Harahap yang dipopulerkan oleh Diana Nasution di akhir 1970 an itu. Mobilitas, ia dirindukan karena akan menggerakkan perekonomian. Di sisi lain, ia di ‘benci’ karena berpotensi membuat perekonomian mandek.
Studi yang saya lakukan bersama Syarifah Namira Fitrania (akan terbit) dengan menggunakan Big data Google Community Mobility Report, menunjukkan mobilitas memiliki korelasi positif dengan beberapa indikator ekonomi, seperti konsumsi suku cadang mobil, konsumsi BBM, penjualan motor, dan juga rekreasi.
Di sisi lain, keputusan perusahaan melakukan ekspansi juga tergantung pada mobilitas. Apabila mobilitas rendah, skala ekonomi sulit tercapai, Purchasing Manager Index turun, kapasitas produksi dan penggunaan tenaga kerja juga turun. Hasil temuan ini konsisten dengan studi Office Chief Economist Bank Sendiri (OCE): mobilitas memiliki korelasi yang positif dengan indeks belanja. Di sini mobilitas punya wajah yang dirindukan.
Di sisi lain, studi saya dan Fitrania menunjukkan, bagaimana kenaikan mobilitas, khususnya mobilitas ke toko serbaada, farmasi, serta retail, dan rekreasi meningkatkan jumlah kasus positif baru covid-19. Itu sebabnya kebijakan pemerintah di berbagai negara, termasuk di Indonesia, untuk membatasi mobilitas, punya landasan yang kuat. Dari sisi ini, mobilitas yang meningkat ialah sesuatu yang di kuatirkan atau ‘dibenci’.
Prospek pemulihan ekonomi
Dilema ini membawa kita kepada pertanyaan: bagaimana prospek pemulihan ekonomi Indonesia pasca vaksinasi? Mungkin ada beberapa hal yang bisa kita amati. Pertama, ada harapan perbaikan dari sisi eksternal. Pemulihan ekonomi Tiongkok dan Amerika Perkumpulan, akan mendorong ekspor Indonesia. Kenaikan ekspor ini, terutama didorong oleh kenaikan harga komoditas dan energi, seperti kelapa sawit, karet, dan batu bara. Ekspor industri pengolahan juga mulai meningkat.
Secara keseluruhan, ekspor meningkat sebesar 30% pada Maret 2021 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Impor nonmigas juga mulai meningkat, 24% pada Maret 2021 jiks dibandingkan dengan periode sama tahun 2020 . Ini pertanda baik. Kita tahu porsi terbesar dari impor kita ialah impor barang modal dan bahan baku. Kenaikan impor menjadi pertanda bahwa aktivitas produksi mulai berjalan.
Selain itu, beberapa leading indicators seperti Purchasing Manager Index (PMI) meningkat pada Maret. Penjualan mobil–walau pertumbuhan antartahunnya masih negatif– sudah menunjukkan tanda perbaikan. Hal yang sama juga terjadi pada konsumsi semen. Pendeknya, ada tanda-tanda pemulihan ekonomi.
Kedua, dari sisi domestik, pemulihan ekonomi tampaknya didorong oleh meningkatnya mobilitas akibat vaksin. Studi kuantitatif tahap awal yang saya lakukan, menunjukkan adanya perubahan perilaku dalam mobilitas sebelum, dan setelah vaksin diberikan.
Studi itu menunjukkan, semakin luas cakupan vaksinasi, semakin tinggi mobilitas. Tak hanya itu, tampaknya ada kebosanan (fatigue) yang terjadi karena pembatasan mobilitas. Analisis kuantitatif yang saya lakukan menunjukkan bahwa kurang dari lima hari setelah menerima vaksin, orang keluar rumah. Mobilitas meningkat. Pusingkatan mobilitas ini di satu sisi berpengaruh positif terhadap belanja dan aktivitas ekonomi.
Karena itu, saya memperkirakan akan ada akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam paruh kedua tahun 2021. Pertumbuhan triwulan kedua 2021 akan melesat tinggi karena dua alasan: basis yang rendah di tahun 2020 dan pemulihan akibat peningkatan mobilitas. Tetapi, pertumbuhan akan sedikit melandai dalam triwulan ketiga dan keempat. Secara keseluruhan ekonomi bisa tumbuh 4-5%.
Kembalinya mobilitas dan aktivitas ekonomi ialah berita gembira. Tetapi, di sini kita justru harus amat berhati-hati. Rasa bosan dan rasa percaya diri karena telah mendapat vaksinasi, dapat membuat kita terlena. Tengok pengalaman India. Munculnya mutasi virus baru, optimisme karena penurunan jumlah kasus positif sebelumnya, serta tingginya orang yang telah mendapat vaksin, mengakibatkan mobilitas meningkat. Orang terlena, pandemi dianggap berakhir. Akibatnya, terjadi ledakan kasus baru. Kita harus belajar dari pengalaman ini.
Di Indonesia, jumlah kasus baru juga sudah mulai menurun dalam beberapa minggu terakhir. Vaksinasi juga sudah mulai dilakukan dan telah mencapai angka lebih dari 18 juta untuk total dosis pertama dan kedua. Akibatnya, kita mulai melihat mobilitas meningkat, ekonomi mulai membaik. Apabila kita tidak hati-hati dan protokol kesehatan tidak dijalankan, kasus positif bisa meningkat lagi dan pemerintah terpaksa mengetatkan kembali mobilitas. Akibatnya, ekonomi akan kembali terpukul.
Ketiga, dari gambaran di atas, kita bisa melihat bahwa pemulihan ekonomi akan tergantung pada peningkatan mobilitas. Padahal, kita tahu peningkatan mobilitas memiliki risiko meningkatkan jumlah kasus positif. Di sini, peran dari vaksin dan protokol kesehatan menjadi amat penting. Kita melihat bagaimana pemulihan ekonomi relatif tinggi di Tiongkok, Singapore, Vietnam, dan beberapa negara yang menerapkan disiplin protokol kesehatan yang ketat. Kemampuan mengatasi pandemi akan menentukan pemulihan ekonomi.
Di AS misalnya, kemampuannya melakukan vaksinasi dengan cepat, tampaknya akan membuahkan optimisme pemulihan ekonomi yang tinggi. Bagaimana Indonesia? Jujur saja, kita masih punya persoalan dalam penerapan disiplin protokol kesehatan. Dalam kondisi seperti ini, pemulihan ekonomi akan bergantung pada seberapa cepat program vaksinasi bisa dilakukan. Kinerja Indonesia dalam melakukan vaksinasi relatif baik sebenarnya. Tetapi, ada persoalan yang muncul: keterbatasan pasokan vaksin.
Munculnya pandemi gelombang ketiga di berbagai negara, mendorong beberapa negara untuk membatasi ekspor vaksinnya. Tujuannya agar kebutuhan dalam negerinya terpenuhi. Argumen yang rasional. Akibatnya, munculah issue vaksin nasionalisme. Sayangnya, langkah ini tidak akan menyelesaikan persoalan pandemi. Mengapa? Pandemi hanya bisa diselesaikan jika kekebalan komunitas (herd immunity), tercapai pada skala global.
Mudahnya begini: jika masih banyak negara yang mengalami pandemi, perbatasan antarnegara akan tetap dibatasi. Bila tidak, pandemi akan tetap terjadi. Itu sebabnya, penyelesaian hanya bisa dilakukan jika ada kerja sama pada skala global. Pendeknya, dunia hanya akan sehat bila semua negara sehat. Ironisnya, karena semua negara mementingkan dirinya sendiri, demi memenuhi kebutuhan domestiknya, dan ini masuk akal, masalah pandemi menjadi sulit terpecahkan.
Kondisi ini mengingatkan saya pada situasi Prisoners Dilemma dalam game theory. Penyelesaiannya: kerja sama pada level global. Karena itu, saya menganjurkan Indonesia untuk aktif berdiplomasi untuk mendapatkan vaksin dan mendorong inisiatif untuk Pertemuan Tingkat Tinggi Pemimpin Dunia mengenai vaksin nasionalisme. Ini sangat penting terutama karena ada isu ketimpangan dalam distribusi vaksin.
Majalah The Economist menunjukkan bagaimana negara-negara kaya dengan populasi 14% dari total penduduk dunia menguasai 53% dari vaksin covid-19. Pandai dibayangkan kesulitan yang dihadapi negara miskin dan berkembang. Indonesia, karena kita bukan produsen vaksin, pasokan kita juga akan tergantung pada akses dan produksi vaksin global.
Paruh kedua tahun ini, ada harapan akselerasi pemulihan ekonomi. Cita-cita itu didukung oleh meningkatnya mobilitas, yang tecermin dalam perbaikan pelbagai leading indicators. Sayangnya, di sisi lain kita tahu, bila mobilitas yang meningkat tak disertai implementasi protokol kesehatan. Selain itu, ada soal keterbatasan pasokan vaksin. Ini membawa risiko meningkatnya kembali pandemi. Akibatnya, pemulihan ekonomi bisa terganggu.
Karena itu, kita tak boleh terlena. Pandemi belum selesai, akses vaksin harus diperoleh dan protokol kesehatan tetap dijalankan. Mobilitas memang mirip lagu Benci tapi Rindu. “Bencinya hati ini/Tapi aku rindu”, begitu lantunan Diana Nasution di akhir 1970-an.