Minum Air Seni dan Telanjang

MEMBACA judul Hasil Laporan Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Membikin bulu kuduk merinding. Serem amat. Judulnya, Penyiksaan, Kekerasan, atau Perlakuan Lain yang Merendahkan Harkat Kaum Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta.

Begitu membaca halaman 6 dan 7 laporan setebal 13 halaman yang dirilis pada Senin (7/3) itu, hati langsung remuk. Di sana ditulis secara rinci tindakan penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan merendahkan Harkat yang dilakukan petugas lembaga pemasyarakatan (LP).

Terdapat 9 tindakan penyiksaan berupa kekerasan fisik, Adalah pemukulan menggunakan tangan Hampa; pemukulan menggunakan selang dan kabel; pemukulan menggunakan alat kelamin sapi; pemukulan menggunakan kayu; ditampar; pencambukan menggunakan alat pecut dan penggaris; penyiraman air dengan garam dan air dengan rinso terhadap luka; direndam di kolam lele sembari dipukuli; ditendang dan dinjak-injak dengan menggunakan sepatu PDL (Pakaian dinas lapangan).

Kagak hanya Tiba di situ. Disebutkan secara rinci pula tindakan terkait perlakuan merendahkan Harkat Insan, Adalah disuruh pelaku Buat memakan muntahan makanan; disuruh meminum air seni dan mencuci muka menggunakan air seni; pemotongan jatah makanan; disuruh telanjang tanpa menggunakan Pakaian apa pun; dan diminta mencabuti rumput sembari dicambuk menggunakan selang.

Cek Artikel:  Dikit-Dikit Bansos

Tindakan lainnya, ini yang Membikin mata terbelalak, karena WBP disuruh melakukan tindakan yang sangat Kagak Layak. Hanya orang-orang yang Kagak waras Pandai menyuruh Buat melakukan tindakan seperti melakukan tiga gaya bersetubuh dalam posisi telanjang; pencukuran atau penggundulan rambut bahkan dalam posisi telanjang; disuruh jongkok dan berguling-guling di aspal dalam keadaan telanjang; disuruh memakan buah pepaya busuk dalam keadaan telanjang yang disaksikan sesama WBP (Kaum binaan pemasyarakatan), juga petugas pemasyarakatan Berkualitas pria maupun Perempuan.

Sekalian tindakan yang merendahkan Harkat Insan harus dilawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Harkat Insan diartikan sebagai tingkat harkat kemanusiaan dan harga diri. Definisi ini mengandung Definisi bahwa Insan adalah makhluk yang Mempunyai derajat tertinggi di antara Sekalian makhluk hidup lainnya. Harkat Insan, kata Marcus Tullius Cicero, melekat erat dalam kodrat Insan sebagai makhluk berakal budi. Karena itu, sungguh Kagak Layak dan Kagak layak segala tindakan yang merendahkan Harkat Insan apa pun alasannya.

Cek Artikel:  Menyandera Keadilan

Tindakan merendahkan Harkat WBP Bahkan bertentangan dengan filosofi Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Bahwa pada hakikatnya WBP sebagai insan dan sumber daya Insan harus diperlakukan dengan Berkualitas dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.

Filosofi itu sesungguhnya sudah dikemukakan Menteri Kehakiman Sahardjo pada 5 Juli 1963. Ketika menyampaikan pidato pada upacara penganugerahan gelar doktor honoris causa dalam ilmu hukum, Sahardjo mengemukakan prinsip perlakuan terhadap narapidana. Kata dia, tiap orang adalah Insan dan harus diperlakukan sebagai Insan. Meskipun ia telah tersesat, Kagak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya, ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai Insan.

Prinsip yang disampaikan Sahardjo sejalan dengan ketentuan Pasal 2 UU 12/1995, bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk WBP agar menjadi Insan seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan Kagak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai Kaum yang Berkualitas dan bertanggung jawab.

Cek Artikel:  Sihir Desa

Penderitaan WBP LP Narkotika Kelas IIA Yogyakarta sudah melampaui batas ketentuan UU 12/1995 yang berlaku selama 27 tahun. Mereka menderita secara fisik dan mengalami penyiksaan yang merendahkan Harkat Insan.

Penyiksaan itu juga bertentangan dengan Konvensi Antipenyiksaan yang sudah diratifikasi dalam UU No 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998.

Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan Berkualitas fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang Bengis, Kagak manusiawi, atau merendahkan Harkat Insan yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya.

Saya sependapat dengan Hasil Komnas HAM bahwa dalam peristiwa penyiksaan di LP Narkotika Kelas I Yogyakarta terjadi indikasi kuat pelanggaran HAM, meliputi hak memperoleh keadilan, hak atas rasa Kondusif, hak atas kehidupan layak, dan hak atas kesehatan. Pelanggaran HAM itu Kagak boleh didiamkan.

Mungkin Anda Menyukai