Mimpi kian tidak Terbeli

‘SAMPAI kapan mimpi-mimpi itu kita beli
Tiba nanti sampai habis terjual harga diri
Tiba kapan harga-harga itu melambung tinggi
Tiba nanti sampai kita tak bisa bermimpi’.

Iwan Fals menciptakan lagu Mimpi yang Terbeli itu pada 1988. Ketika itu, harga-harga tengah melambung tinggi sehingga masyarakat bawah, yang tidak punya cukup uang, cuma bisa membeli mimpi. Mereka tidak sanggup membeli barang-barang keinginan mereka itu.

Saya mengutip lirik lagu itu untuk melihat kondisi saat ini, 35 tahun kemudian. Kagak semua harga melambung seperti  kata Iwan Fals yang memotret suasana 1988. Tetapi, toh masyarakat bawah belum juga bisa mewujudkan mimpi. Mimpi mereka kian tidak terbeli karena daya beli terus merosot.

Sejumlah analis ekonomi menyebut merosotnya daya beli itu bisa dilihat dari turunnya angka inflasi. Analisis mereka sekaligus mengingatkan agar kita jangan terlampau girang dalam menyikapi inflasi yang rendah sebab inflasi rendah bisa bermakna negatif: turunnya daya beli.

Cek Artikel:  Solusi yang Menyengsarakan

Badan Pusat Tetaptik (BPS) mencatat inflasi periode Mei 2023 secara bulanan 0,09%. Bilangan itu lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Juga lebih rendah daripada bulan sebelumnya yang mencapai 0,25%. Menciutnya inflasi itulah yang oleh ekonom disebut sebagai salah satu tanda daya beli masyarakat melemah.

Penurunan permintaan terjadi khususnya pada barang-barang manufaktur, terutama pakaian dan alas kaki. Komponen yang mengalami permintaan tinggi ialah komponen harga bergejolak, yaitu bahan makanan dan minuman serta makanan dan minuman jadi.

Mengecilnya inflasi tersebut menjadi pola musiman yang kerap terjadi setelah Lebaran. Setelah Lebaran inflasi biasanya selalu drop. Tetapi, musim kali ini berbeda. Ketika Lebaran pada April lalu, angka inflasi juga cuma 0,3%. Padahal, biasanya, di musim Lebaran, inflasi bisa mencapai 0,7%.

Cek Artikel:  Ormas Tambang

Tak pelak, kian terlihat bahwa rendahnya inflasi mencerminkan menurunnya daya beli masyarakat. Dalil ekonomi menyebutkan, jika inflasi inti menurun, salah satunya mengindikasikan tren daya beli masyarakat menurun.

Sebaliknya, jika inflasi inti meningkat, itu menunjukkan tren daya beli masyarakat meningkat. Inflasi inti salah satunya didorong pendapatan dari masyarakat yang meningkat, yang kemudian mendorong aktivitas masyarakat dan perdagangan.

Turunnya daya beli juga tecermin pada merosotnya permintaan. Hal itu  tampak dari sampai dengan Lebaran tahun ini demand

sangat rendah. Sektor manufaktur, berdasarkan hasil survei purchasing managers’ index (PMI) manufaktur Indonesia, menunjukkan tren melambat.

Eksis catatan penting dari Ketua Lazim Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani ihwal tren PMI manufaktur Indonesia yang mengalami perlambatan. Menurut Shinta, itu terjadi karena industri manufaktur belum merasakan adanya peningkatan permintaan pasar domestik yang signifikan pasca-Ramadan dan Idul Fitri.

Cek Artikel:  Virus Foya-foya

Hal itu disebabkan efek akumulatif inflasi terhadap daya beli masyarakat dan kurangnya lapangan kerja baru. Inflasi yang agak tinggi saja sudah mengguncang daya beli, apalagi bila ada inflasi tinggi. Tetapi, kali ini, inflasi yang rendah pun nyatanya belum mampu mengungkit daya beli.

Mimpi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia mestinya terus-menerus diikhtiarkan dan didekatkan kepada kenyataan oleh negara. Tetapi, perkara ‘hari ini’ yang mesti dibereskan ‘hari ini’, yakni ketimpangan yang tinggi, merosotnya daya beli, dan menyempitnya lapangan kerja, seperti luput dari cawe-cawe serius negara.

Semoga otot-otot negara masih kuat dan sigap membereskan tiga masalah mendesak itu. Banyak yang khawatir otot-otot negara jadi melemah karena terlalu sering dipakai mengurusi soal-soal lain yang jauh dari kepentingan rakyat.

 

Mungkin Anda Menyukai