Mewujudkan Undang-Undang Rumah Ibadah

Mewujudkan Undang-Undang Rumah Ibadah
(Dok. Pribadi)

KONFLIK seputar rumah ibadah Tetap menjadi luka yang terbuka dalam praktik kehidupan beragama di Indonesia. Pada 27 Juni 2025, kekerasan berlatar Religi pecah di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebulan kemudian, rumah doa umat Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, mengalami perusakan oleh sekelompok Penduduk. Sementara itu, di Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, penyegelan rumah ibadah oleh pemerintah setempat berlangsung lebih dari satu pekan sejak 2 Agustus.

Rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan bahwa regulasi yang Eksis belum Bisa melindungi kebebasan beragama dan beribadah secara setara. Peraturan Berbarengan Menteri Religi dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Tetap menjadi satu-satunya acuan administratif, tetapi Bukan Mempunyai daya ikat yang cukup sebagai jaminan konstitusional.

Ketika perlindungan hak beribadah digantungkan pada aturan setingkat peraturan menteri, maka Bukan mengherankan Apabila konflik serupa Lalu berulang. Lebih dari dua Sepuluh tahun pascareformasi, ironi ini Lalu hadir: kebebasan yang dijanjikan oleh konstitusi Bahkan tersendat oleh hambatan administratif, tafsir sosial yang sempit, dan paradigma berpikir tokoh-tokoh Religi yang kaku.

 

PAYUNG YANG BOCOR

PBM lahir sebagai jalan tengah di tengah resistensi dan kecurigaan antarkelompok Religi. Ia mengatur Mekanisme pendirian rumah ibadah dengan pendekatan administratif dan prinsip koordinatif. Tetapi, dalam praktiknya, PBM Bahkan menjadi alat Restriksi yang sering ditafsirkan secara sepihak oleh aparatur atau Grup mayoritas di tingkat lokal. Persyaratan dukungan masyarakat Sekeliling sering kali menjadi ranjau. Alih-alih menjadi sarana partisipasi, ia berubah menjadi instrumen penolakan. Umat yang sudah Lamban tinggal di lingkungan tersebut Bisa sewaktu-waktu dihambat Demi beribadah karena dianggap belum mendapat ‘izin sosial’. Dalam situasi ini, kebebasan beragama menjadi bersyarat dan diskriminatif.

Cek Artikel:  Mengangkat Isu Human Capital dalam Pilpres 2024

Kondisi ini menciptakan ketimpangan antara hak dan akses. Umat mayoritas relatif mudah mendirikan rumah ibadah, sementara Grup minoritas harus menempuh jalan panjang yang berliku, menghadapi penolakan, bahkan intimidasi. Padahal, Religi Sepatutnya menjadi ruang pembebasan spiritual, bukan instrumen Restriksi sosial. Ketika hukum Bukan hadir melindungi mereka yang terpinggirkan, negara tengah absen dalam tanggung jawab konstitusionalnya.

 

DARI WACANA KE JAMINAN

Arah kebijakan Menteri Religi 2025–2029 yang menempatkan ‘kerukunan dan Asmara kemanusiaan’ sebagai program prioritas merupakan langkah strategis. Tetapi, tanpa payung hukum yang tegas dan inklusif, nilai-nilai ini hanya akan berhenti sebagai wacana. Kerukunan Bukan cukup dibangun dari pertemuan antaragama dan seruan normatif, tetapi harus didukung oleh regulasi yang memastikan ruang Terjamin dan adil bagi Sekalian umat.

Cek Artikel:  Hamas dan Kepemimpinan Yahya Sinwar

Undang-Undang (UU) Rumah Ibadah dapat menjadi instrumen transformasi. Ia perlu menjamin hak beribadah sebagai hak konstitusional, melindungi minoritas, dan mendorong penyelesaian konflik berbasis keadilan restoratif. Undang-undang ini juga menjadi penegas bahwa rumah ibadah bukan sekadar bangunan fisik, tetapi Aktualisasi diri dari kebebasan spiritual yang dilindungi negara.

Dalam berbagai Cerminan publik, Asa atas revisi PBM Lalu menguat. Banyak yang menginginkan agar negara Bukan sekadar menjadi penengah Begitu konflik meletup, tetapi tampil sejak awal sebagai penjaga keadilan dan pelindung kebebasan warganya. Aspirasi itu menunjukkan bahwa kita membutuhkan regulasi yang bukan hanya prosedural, melainkan juga berdasar pada semangat keadilan dan pengakuan atas Harkat setiap pemeluk Religi.

 

MENDOBRAK KEBEKUAN REGULASI

Sudah saatnya DPR dan pemerintah mengambil langkah proaktif. Peninjauan terhadap PBM 2006 mesti diarahkan bukan sekadar revisi, tetapi pembentukan UU baru yang lebih kuat, adil, dan mengikat. Legislasi ini akan menjadi tonggak Krusial dalam merawat kebinekaan dan menjamin kehadiran negara dalam isu-isu sensitif keberagamaan.

Terlalu Lamban konflik rumah ibadah dipandang sebagai insiden lokal, padahal ia merefleksikan problem struktural dalam pengaturan kebebasan beragama. Tanpa keberanian politik Demi melahirkan UU Rumah Ibadah, kita hanya akan mengulang luka yang sama dalam bingkai yang berbeda. Keberagaman membutuhkan keberanian Demi melindungi perbedaan secara adil.

Cek Artikel:  Sekilas Beberapa Persoalan Kesehatan dan Kedokteran di RI

Merdeka beragama Bukan cukup dimaknai dengan absennya tekanan negara. Ia harus ditandai dengan kehadiran hukum yang melindungi dan sikap adil negara kepada seluruh umat, tanpa kecuali. Bahkan pada isu-isu paling sensitif seperti pendirian rumah ibadah, komitmen negara terhadap konstitusi diuji. Di sinilah keberanian moral dan politik dibutuhkan: bukan Demi menundukkan perbedaan, tetapi Demi memeluknya dengan keadilan.

UU Rumah Ibadah bukan sekadar instrumen administratif, tetapi representasi etis dari Paras negara yang melayani Sekalian umat. Bila kesakralan ibadah Bukan dijamin oleh hukum, nilai luhur Pancasila kehilangan daya hidupnya di tengah masyarakat. Regulasi yang berpihak bukan berarti mengistimewakan, tetapi menjamin bahwa setiap Penduduk dapat beribadah tanpa rasa takut, tanpa rasa terasing, dan tanpa dipaksa menjadi seragam.

Lebih dari itu, UU Rumah Ibadah dapat menjadi alat rekonsiliasi sosial. Ia Bukan hanya melindungi hak, tetapi juga membangun kepercayaan antarwarga dan menurunkan ketegangan berbasis prasangka.

Dalam negara majemuk seperti Indonesia, jaminan beribadah Bukan hanya soal toleransi pasif, tetapi juga praktik keadilan yang aktif. Negara mesti memberi sinyal yang tegas bahwa perlindungan terhadap minoritas bukan bentuk keberpihakan sektoral, melainkan manifestasi dari keadilan konstitusional. Ketika hukum berdiri di sisi yang rentan, di situlah demokrasi menemukan martabatnya.

Mungkin Anda Menyukai