NAMA Inspektorat Jenderal alias Itjen belakangan naik daun seiring mencuatnya isu transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun. Isu transaksi janggal itu berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Fulus (TPPU) Mahfud MD.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu yang pertama kali melambungkan isu transaksi yang bikin geger itu di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sleman, Rabu (8/3). “Saya sudah dapat laporan yang pagi tadi, terbaru malah Terdapat pergerakan mencurigakan sebesar Rp300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan, yang sebagian besar Terdapat di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai,” ujarnya.
Pernyataan Mahfud MD langsung direspons Inspektur Jenderal Kemenkeu Mega Nurmawan Nuh. Dia mengaku belum mengetahui transaksi mencurigakan tersebut. “Kami belum menerima informasinya seperti apa,” ungkapnya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (8/3).
Alih-alih diproses hukum dugaan transaksi janggal Rp300 triliun, beberapa hari kemudian angkanya bertambah menjadi Rp349 triliun periode 2009-2023. Selanjutnya, yang terjadi ialah saling bantah di media hingga Senayan antara Mahfud MD, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Aneh memang saling berbantah antara Mahfud MD dan Sri Mulyani. Padahal, data primernya sama berasal dari PPATK.
Menurut menteri terbaik di dunia (Best Minister in the World Award) di World Government Summit yang diselenggarakan di Dubai, Uni Arab Emirates pada 2018 ini Tak seluruhnya transaksi Rp349 triliun itu terjadi di kementeriannya. Menurutnya, transaksi janggal itu sudah diproses Itjen Kemenkeu. “Jadi, yang Betul-Betul berhubungan dengan pegawai Kementerian Keuangan itu Rp3,3 triliun,” kata Sri Mulyani Demi rapat kerja Berbarengan Komisi XI DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3).
Kasus transaksi janggal Rp349 triliun ialah buntut heboh laporan kekayaan eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo. Kini Rafael sudah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Transaksi selama 14 tahun itu sungguh fantastis. Semestinya bila Itjen Kemenkeu bekerja secara transparan, siapa yang diberikan Denda ringan, sedang atau berat, hingga berujung dilimpahkan ke aparat penegak hukum bagi pegawai Kemenkeu tentu Tak akan mengejutkan publik. Begitu pula bila menyangkut instansi lain disampaikan ke publik Tiba di mana penanganannya.
Sudah Pelan publik pesimistis akan kerja Itjen. Bahkan, menjadi ajang penyelesaian secara ‘adat’. Pasalnya, penanganan oleh Itjen sama saja dengan ‘jeruk makan jeruk’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian ‘jeruk makan jeruk’ ialah penyelesaian masalah oleh Personil korps sendiri sehingga diragukan objektivitasnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pasal 49, Itjen ialah bagian dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Itjen bertanggung jawab kepada menteri/kepala lembaga. Selain Itjen, Terdapat juga
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab kepada Presiden, Inspektorat Pemerintah Propinsi bertanggung jawab kepada Gubernur, dan Inspektorat Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Wali Kota. APIP Dapat dikatakan ‘Harimau ompong’. Eksistensi APIP secara logika saja Tak nyambung. Bayangkan saja bagaimana seorang Inspektorat Dapat memeriksa menteri, gubernur, bupati atau wali kota yang mengangkatnya. Jangankan memeriksa menteri, memeriksa bawahan yang notabene sahabat menteri saja Tak bakal Dapat. Begitu pula ring-1 gubernur, bupati atau wali kota, sulit dijangkau inspektorat. Budaya paternalistik di mana ewuh pakewuh nomor wahid ke atasan ialah mission imposible bagi aparatur pengawasan intern Dapat bekerja secara maksimal, kecuali yang menjadi Sasaran pemeriksaan ialah bawahan dan bukan karib pimpinan.
Menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak awal tahun Tiba 20 Oktober 2022 Terdapat 31 pelaku tindak pidana korupsi yang berpangkat eselon I/II/III. Koruptor berpangkat eselon itu mencapai 39,24% dari total pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, yang totalnya berjumlah 79 orang Tiba 20 Oktober 2022. Pelaku korupsi terbanyak berikutnya berstatus sebagai wali kota/bupati/wakilnya dengan jumlah 18 orang dan pihak swasta 17 orang.
Bila inspektorat ‘Wafat suri’ sebaiknya dibubarkan saja karena hanya buang-buang anggaran. Terkecuali Terdapat sebuah sistem di mana inspektorat Dapat bekerja secara independen. Korupsi di Indonesia memang susah dikikis karena sama seperti fenomena gunung es. Mencair di permukaan, tetapi membatu di dasarnya. Tabik!