Merebut Momentum Demokrasi

Merebut Momentum Demokrasi
(Dok. Pribadi)

GEJALA otokratisasi menguat dalam dekade terakhir seiring dengan kecenderungan pemusatan kuasa dan atribusi berlebihan pada figur pemimpin. Pemilu menyediakan suatu momentum untuk menahan gerak balik tersebut dan memastikan bahwa demokrasi tidak luruh. Membuka selubung demagoguery, memperkuat konsolidasi civil society, dan menjalin kolaborasi di antara kekuatan sosial, menjadi bagian langkah untuk merebut kesempatan perubahan politik mendatang.

 

Sikap permisif

Situasi keruh politik nasional hari ini membangunkan kesadaran banyak orang bahwa demokrasi Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Ruang kebebasan sipil menyempit. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua lembaga produk reformasi, kembali terpuruk. Sementara itu, pemilu menyajikan pertarungan telanjang kekuasaan dengan mengabaikan banyak aspek etis ataupun legal.

Keburukan itu tidak datang tiba-tiba. Pukulan keras terhadap demokrasi Indonesia telah muncul saat kepentingan sepihak kekuasaan menumpang rentannya checks and balances dalam pemakzulan Gus Dur (Budiman, 2001; Barton, 2002). Setelahnya, kualitas demokrasi kita terus menurun dan sumber utama ancamannya ialah kekuasaan negara (Power & Warburton, 2020; Setiawan & Tomsa, 2022).

Mengapa selama ini publik seolah cenderung permisif terhadap hal-hal yang mengancam demokrasi? Pertama, publik menghendaki suatu stabilisasi politik setelah guncangan berkelanjutan sejak 1997. Dalam banyak kasus, stabilisasi tersebut mewujud melalui suatu pertukaran kepentingan antarelite. Hasilnya, kekuatan-kekuatan utama politik semakin mapan ketika demokrasi justru semakin merosot.

Cek Artikel:  Kota dalam Plastik

Kedua, publik juga menghendaki suatu prioritas bagi peningkatan pendapatan setelah krisis ekonomi sejak 1997. Kecuali guncangan selama masa pandemi covid-19, perekonomian Indonesia secara umum cenderung stabil dalam dua dekade terakhir. Celakanya, prioritas pada pembangunan ekonomi itu dijalankan antara lain dengan mengorbankan pembangunan politik dan demokrasi.

Ketiga, pengabaian distribusi berkeadilan pertumbuhan ekonomi berdampak ketimpangan sosial yang memicu aksentuasi populisme dan sentimen identitas dalam pemilu. Ketika pertarungan politik kian keruh dan polarisasi sosial semakin tajam karenanya, pendekatan keamanan dan penyempitan kebebasan banyak diterima sebagai solusi instan untuk menjaga stabilitas dan persatuan bangsa.

Dalam dekade terakhir, pemerintahan Jokowi mampu memberi jawaban atas masalah-masalah tersebut. Pada tataran elite, distribusi kuasa lewat politik akomodasionis telah memperkuat konsolidasi kekuasaan Jokowi. Pada tataran massa, pembangunan infrastruktur dan program-program populis berhasil memelihara tingkat tinggi kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah.

Kita kemudian mendapati bukan saja resentralisasi kekuasaan pemerintah, melainkan juga persekongkolan bersama pemerintah-DPR untuk melemahkan negara melalui legislasi. Intervensi pemerintah terhadap lembaga penegak hukum serta politisasi TNI/Polri dan birokrasi berlangsung terbuka. Sementara itu, media massa dikungkung kekuatan oligarki, civil society tampak begitu lunglai.

Cek Artikel:  Diaspora Muhammadiyah, Khazanah lelet yang makin Relevan

 

Kesempatan perubahan

Pemilu 2024 ialah pada dasarnya suatu arena pertaruhan bagi perubahan mendasar politik. Ia menyediakan bagi publik suatu momentum untuk memilih: membiarkan pembalikan ke arah otokrasi atau sebaliknya, memperjuangkan penguatan demokrasi. Merebut momentum tersebut menjadi suatu kebutuhan, melampaui kepentingan untuk memastikan keterpilihan pasangan calon tertentu.

Pada pemilu lalu, populisme Jokowi didukung mayoritas antara lain karena ia dipandang sebagai penawar kecenderungan neo-otoritarianisme. Tetapi, pascapemilu, kebutuhan konsolidasi kekuasaan didorong sebegitu jauh oleh Jokowi hingga justru membelokkan arah perubahan politik. Akibatnya, politik nasional mengambil secara ironik jalan yang mulanya hendak dilawan bersama.

Perhatikan bahwa revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan UU MK malah menegaskan dominasi Jokowi. Janji-janji untuk memperkuat penegakan hukum dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran masa lalu HAM menguap. Bahkan, upaya pelanggengan kekuasaan dilakukan secara manipulatif dan menabrak konstitusi, mulai usul penundaan pemilu hingga penambahan periode jabatan presiden.

Langkah untuk menahan laju otokratisasi dapat dimulai dengan membuka selubung demagoguery. Publik tidak boleh lagi terkecoh oleh hasrat personal pemimpin untuk mengakumulasi kekuasaan dengan bertudung nilai-nilai seperti persatuan dan kemakmuran ekonomi. Literasi politik, pula literasi komunikasi, dapat menghindarkan orang dari jebakan pendakuan dan janji palsu kampanye.

Cek Artikel:  Memajukan Olahraga dengan IPO

Berikutnya, konsolidasi kekuatan civil society menjadi suatu kemendesakan untuk mampu menampik dominasi negara. Keterbatasan kapasitas kelembagaan dan perbedaan pilihan politik tidak boleh menghambat pengembangan jaringan dan ragam wacana civil society. Manakala kekuatan tersebut terpulihkan, kekuasaan negara dapat dikontrol lebih baik demi menghindari kesewenang-wenangan.

Menimbang keberadaan berbagai kekuatan sosial, civil society juga tidak mungkin bekerja sendiri untuk memelihara capaian-capaian demokrasi. Kerja sama dengan media massa, lembaga pendidikan, dan partai politik berintegritas dapat memperkuat infastruktur politik. Pada gilirannya, itu akan menjadi imbangan penting bagi kekuasaan negara di tengah lemahnya checks and balances.

Taklah cukup untuk sekadar memberikan dukungan bagi pasangan calon tertentu dalam pemilu. Lebih daripada itu, demi memastikan arah perubahan politik, terdapat tanggung jawab berkelanjutan warga untuk terus mengawasi kekuasaan. Personifikasi dan bentuk-bentuk lain atribusi berlebihan pada pribadi pemimpin terbukti membuat sistem politik meranggas bersama layunya demokrasi.

Mungkin Anda Menyukai