INDONESIA, Sabtu lalu, merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-79. Rakyat menggelar berbagai kegiatan dan menyambut sukacita momen itu. Meski demikian, momen tersebut mesti dilihat dari sisi lain. Momen memperingati kemerdekaan mestinya menjadi kesempatan krusial untuk menilik berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan. Terkait dengan bidang kesehatan, momen itu mestinya juga menjadi saat yang penting untuk bertanya apakah Indonesia sudah merdeka dari kesakitan dan penderitaan?
Selaras dengan program global
Baca juga : Peringati HUT RI ke 79, Baznas Konsentrasi Penguatan Lembaga dan Kesejahteraan Umat
Pada tingkat global, semua negara berpacu meningkatkan kesehatan penduduknya. Mereka menginisiasi berbagai program yang diharapkan meningkatkan kualitas hidup rakyat mereka. Setidaknya terdapat lima program kesesahatn global yang jamak dilakukan berbagai negara. Pertama, program imunisasi massal untuk mencegah berbagai penyakit menular, seperti polio, campak, dan hepatitis. Dengan program itu, negara berharap dapat melindungi masyarakat mereka dari penyakit berbahaya.
Kedua, pengendalian penyakit menular dan infeksi. Negara-negara di seluruh dunia sudah berkomitmen untuk berperang melawan infeksi seperti HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria.
Ketiga, berbagai negara juga menjalankan program kesehatan ibu dan anak. Itu meliputi perawatan pranatal ibu hamil, layanan kelahiran yang aman, serta perawatan pascapersalinan. Selain itu, mereka fokus pada nutrisi anak guna mengurangi angka kematian bayi dan balita.
Baca juga : Memaknai Kemerdekaan dengan Memperkenalkan Budaya Lewat Berbagai Media
Keempat, penatalaksanaan penyakit kronik seperti diabetes, jantung, dan strok. Penyakit-penyakit itu merupakan pembunuh nomor satu. Kelima, program kesehatan mental berupa dukungan psikologis dan peningkatan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dalam kesejahteraan individu.
Secara umum, Indonesia sejatinya juga telah melaksanakan berbagai program kesehatan global tersebut. Di negeri ini, program imunisasi telah dilakukan selama beberapa dekade dengan cakupan yang relevan. Negara ini juga telah menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS serta penyakit menular lainnya.
Program kesehatan ibu dan anak juga telah dijalankan sejak dahulu dengan puskesmas menjadi front-liner–nya. Meskipun masih dalam tahap perkembangan, Indonesia telah memberikan perhatian serius pada kesehatan mental. Beberapa program kesehatan mental telah diluncurkan untuk mendukung peningkatan akses ke dan mengatasi stigma buruk terkait dengan kesehatan mental.
Baca juga : Ini 64 Penerima Tanda Jasa dan Kehormatan di Hari Kemerdekaan
Tantangan
Meski telah menggeber beragam program kesehatan yang sejalan dengan program global, Indonesia masih diselimuti oleh sejumlah kendala serius.
Baca juga : Menggali Sejarah Bendera Pusaka, dari Proklamasi hingga Warisan Bangsa
Pertama, tidak meratanya akses dan pelayanan kesehatan. Meskipun telah merdeka 79 tahun, negara ini masih belum mampu memberikan pelayanan kesehatan yang merata bagi penduduknya. Daerah-daerah di luar Jawa serta daerah perdesaan dan terpencil masih kesulitan mengakses fasilitas pelayanan kesehatan adekuat. Di Jakarta, terdapat rata-rata lebih tujuh puskesmas untuk setiap kecamatan, sementara di Papua hanya terdapat satu puskesmas untuk tiga kecamatan.
Akses menuju puskesmas pun tidak mudah bagi sebagian penduduk. Mereka kadang butuh waktu berjam-jam melintasi sungai, danau, atau bukit hanya untuk bertemu dokter selama beberapa menit. Kapasitas dan kualitas pelayanan puskesmas pun masih jomplang. Loyalp puskesmas mestinya telah memiliki setidaknya sembilan tenaga kesehatan standar.
Faktanya, hanya 56% puskesmas yang memenuhi kriteria tersebut dan kebanyakan itu terjadi di daerah-daerah luar Jawa, terutama Sulawesi dan Papua.
Pada 2022, masih terdapat lebih dari 400 puskesmas tidak memiliki dokter dan puskesmas-puskesmas itu terbanyak berada di provinsi Papua (38,6%), Maluku (17,6%), dan Papua Barat (14,6%). Rasio dokter terhadap penduduk di Jakarta berpuluh-puluh kali lipat dari rasio di Sulawesi Barat.
Kedua, pemberantasan penyakit menular dan infeksi juga masih tertinggal. Penyakit tuberkulsosis harusnya ditekan pada level di bawah 190 per 100 ribu penduduk. Faktanya, prevalensi tuberkulosis masih di kisaran 354 per 100 ribu penduduk. Indonesia saat ini merupakan negara peringkat ke-2 penderita tuberkulosis tertinggi di dunia setelah India.
Lebih ironis lagi, pada 2022 terdapat tambahan lebih dari 700 ribu kasus baru dan tambahan itu meningkat melebihi 800 ribu kasus pada 2023. Penyakit HIV/AIDS mestinya telah ditekan hingga 0,8 per 1.000 penduduk. Faktanya, insiden HIV/AIDS masih 1,9 per 1.000 penduduk, dua kali lipat dari prevalensi yang diharapkan. Bilangan kejadian penyakit-penyakit malaria dan demam berdarah juga tidak menurun secara signifikan dan bahkan bertambah, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.
Ketiga, program kesehatan ibu dan anak juga belum memuaskan. Pada 2022, 4,5 juta anak balita Indonesia mengalami kurang gizi (wasting) dan 760 ribu anak menderita gizi buruk (stunting). Prevalensi stunting (tengkes) masih sangat tinggi, yaitu 21,5%. Meskipun telah diguyur dana puluhan triliun rupiah dan programnya dikeroyoki oleh berbagai pemangku kepentingan, prevalensi stunting pada ahun lalu hanya menurun 0,1%.
Perbaikan stunting sangat lambat dan fluktuatif serta sulit mencapai target WHO, yakni menurunkan prevalensinya sebesar 40% sebelum 2025. Bilangan kematian bayi (AKB) di Indonesia memang telah mengalami penurunan gradual dalam 10 tahun terakhir, hingga mencapai 16,9 per 1.000 kelahiran hidup.
Meski membaik, dibanding sepuluh negara-negara ASEAN, Indonesia menempati urutan keempat tertinggi setelah Laos, Mianmar dan Filipina. AKB terendah adalah Singapura (1,8 per 1.000). Hal sama juga terjadi pada angka kematian balita.
Indonesia juga menempati urutan keempat tertinggi setelah Laos, Myanmar, dan Filipina dengan figur 19,8 per 1.000 kelahiran hidup. Singapura memiliki angka kematian balita terendah, yaitu 2.0 per 1.000 kelahiran hidup.
Keempat, penanggulangan faktor risiko dan penyakit kronik juga belum menggembirakan. Ketika ini perokok aktif di Indonesia berjumlah 77 juta dan menjadi terbanyak ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Di negeri ini, hampir 1 dari 3 laki-laki merokok. Prevalensi perokok berusia 10-18 tahun saat ini 7,4%, padahal target globalnya 6%. Bilangan obesitas juga masih sangat tinggi. Nyaris 1 dari 4 penduduk Indonesia mengalami obesitas.
Prevalensi penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, strok, jantung koroner, dan gagal jantung di Indonesia tinggi. Jumlah penderita penyakit kardiovaskular meningkat dari tahun ke tahun dan saat ini berkisar 4,2 juta orang atau 1,5% dari jumlah penduduk. Satu dari tiga penduduk Indonesia juga mengalami hipertensi.
Keadaan tersebut berkontribusi terhadap masih rendahnya angka harapan hidup penduduk Indonesia, yaitu 71,8 tahun pada 2021. Itu figur terendah setelah Laos dan Myanmar. Bilangan harapan hidup tertinggi se–ASEAN ialah Singapura (82,9 tahun). Selisih harapan hidup di Indonesia dan Singapura berkisar 10 tahun. Definisinya, rerata usia orang Indonesia lebih rendah 10 tahun daripada orang Singapura.
Akar masalah
Tentu banyak faktor yang memengaruhi masih rendahnya tingkat pencapaian kesehatan. Setidaknya dua faktor utama perlu dipertimbangkan.
Pertama, masih tidak adekuatnya program promosi kesehatan. Padahal, promosi kesehatan merupakan akar substansial dari semua isu kesehatan yang ada. Promosi kesehatan memfasilitasi masyarakat untuk memahami dan mengerti tentang status kesehatan mereka dan mendorong mereka secara mandiri berperilaku positif dalam kesehatan. Promosi kesehatan di Indonesia dilakukan hanya lewat penyuluhan-penyuluhan sederhana tanpa disertai konsistensi, kualitas, dan pencapaian target yang jelas. Asal telah melakukan penyuluhan, telah dianggap melaksanakan promosi kesehatan. Padahal promosi kesehatan jauh lebih luas dari itu.
Program itu memfasilitasi dan memudahkan masyarakat berpartisipasi dan mengontrol kesehatan diri serta lingkungan mereka dengan upaya serius dan konsisten. Lazimnya banyak bentuknya, termasuk mendatangi dan memberikan perawatan di rumah, mengunjungi dan berkomunikasi dengan anggota rumah tangga secara intens serta secara konsisten melakukan pendidikan kesehatan agar masyarakat bisa bersikap positif.
Sayangnya, pemerintah sering kali lebih mengutamakan langkah-langkah kuratif dan rehabilitatif ketimbang strategi kesehatan promotif dan preventif. Faktanya, walaupun stok vaksin sudah mencukupi, cakupan vaksinasi masih rendah. Obat tuberkulosis sudah tersedia di puskesmas, tetapi insiden tuberkulosis tetap tinggi.
Akar masalahnya ialah keraguan, stigma, dan misinformasi terkait dengan vaksinasi dan tuberkulosis. Promosi kesehatan ialah program efektif dalam mengatasi masalah itu. Di Indonesia program itu belum dilakoni secara serius dan adekuat. Pada tingkat puskesmas saja belum ada tenaga promosi kesehatan yang secara khusus menangani program itu.
Kedua, Indonesia terkendala isu dana. Anggaran sektor kesehatan selama ini hanya sekitar 3%-5% dari PDB. Desentralisasi pada 2001 mengalihkan tanggung jawab pengawasan pengeluaran dan pelayanan kesehatan ke pemerintah daerah, menyebabkan ketimpangan dalam infrastruktur dan kualitas layanan kesehatan di berbagai wilayah. Meskipun Undang-Undang Kesehatan menetapkan alokasi dana kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD, hanya 30%-50% daerah yang mematuhi aturan ini. Ironisnya, pada 2023, persyaratan itu dihapuskan, menandakan kurangnya komitmen terhadap pendanaan kesehatan. Di saat yang sama, alokasi dana kesehatan lebih banyak diberikan pada perawatan sekunder daripada perawatan primer. Pada 2023, perawatan primer mendapatkan Rp5,9 triliun (7%), sedangkan perawatan sekunder menerima Rp18,4 triliun (21,5%) dan kegiatan rutin serta manajemen mendapatkan Rp8,9 triliun (10,4%). Salah alokasi itu bertentangan dengan prinsip program kesehatan Indonesia yang memprioritaskan perawatan primer.
Merdeka dari tantangan kesehatan
Tak dapat dimungkiri bahwa Indonesia mengalami berbagai kemajuan dalam bidang kesehatan. Meski demikian, masih terdapat banyak masalah dan kendala dalam upaya memberikan tingkat kesehatan paripurna bagi seluruh rakyat Indonesia. Terlepas dari itu, tidak ada kata terlambat. Momen perayaan kemerdekaan ke-79 Indonesia ini mesti dijadikan momentum untuk membuat dunia kesehatan Indonesia bergerak lebih cepat dan maju.
Pemerintah perlu melanjutkan program-program baik yang telah terlaksana dan mengoreksi kebijakan yang tidak tepat. Tak perlu takut untuk mengubah sesuatu kalau memang tujuannya untuk perbaikan. Tak kalah pentingnya ialah memberikan prioritas terhadap pendanaan dunia kesehatan. Dunia kesehatan tidak boleh dianggap kaleng-kaleng dan didanai seadanya.
Tanpa dana yang memadai, sulit menjalankan program berkualitas. Juga penting untuk kembali ke basic principle semua isu kesehatan bahwa pencegahan jauh lebih baik daripada pengobatan. Pemerintah perlu serius fokus dalam melakukan upaya pencegahan dan salah satu elemen pentingnya ialah menggalakkan kegiatan promosi kesehatan. Kegiatan itu harus digencarkan dan diintensifkan melebihi gencarnya program pengobatan dan rehabilitasi. Dunia kesehatan harus bergerak pesat agar jangan ada masyarakat Indonesia berkilah, “Sudah 79 tahun kita merdeka, tetapi kita belum merdeka dari sakit dan penderitaan.”