DITOLAKNYA gugatan sistem pemilu proporsional terbuka oleh Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin, Layak kita apresiasi. MK telah membela demokrasi dan keinginan rakyat.
Meski begitu, kemenangan demokrasi barulah Sebelah jalan. Kemenangan utuh baru didapatkan Apabila pemilu terlaksana dengan partisipasi pemilih yang tinggi dan minim, bahkan nihil, pelanggaran.
Soal partisipasi pemilih, memang Kemendagri telah memprediksi kenaikan Sekeliling 48 juta pemilih atau menjadi 206 juta orang dari Pemilu 2019. Hal ini terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yang masuk ke usia pemilih.
Tetapi, keinginan orang Demi datang ke TPS dipengaruhi banyak Unsur. Masyarakat pun kini sangat kritis dengan berbagai dinamika politik. Adanya gugatan sistem pemilu, kemarin, juga Membikin sebagian masyarakat menyatakan ogah datang ke TPS Apabila MK memenangkan gugatan itu.
Unsur berikutnya yang banyak dikeluhkan ialah kualitas caleg. Banyaknya parpol yang lebih mengutamakan caleg Terkenal ketimbang caleg berkualitas menunjukkan parpol belum Bisa menghadapi dua sisi yang Eksis dari sistem proporsional terbuka.
Meski Terang lebih demokratis, kita juga harus memahami sistem proporsional terbuka Membikin sosok caleg sangat menentukan bagi perolehan Bunyi. Tetapi, sekali Tengah, itu bukan berarti sekadar Terkenal.
Bukti gamblangnya ialah Lanjut turunnya persentase keberhasilan caleg Seniman. Berturut dari Pemilu 2009, 2014, dan 2019, persentase caleg menang ialah 31%, 29%, dan lantas menjadi 12% saja. Padahal, berdasarkan jumlah, caleg Seniman Bahkan makin banyak digaet parpol.
Begitu kuatnya nafsu mengejar popularitas maka di pendaftaran caleg Pemilu 2024 ini pun kita Menyantap kekonyolan adanya Seniman yang Tamat mendaftar melalui dua parpol. Kasus ini Semestinya menjadi tamparan keras pada parpol bersangkutan karena telah mempermalukan diri lewat seleksi internal yang sangat lemah.
Dari berbagai peristiwa itu pula, sudah saatnya parpol Betul-Betul membuka mata. Sekadar ‘menjual’ caleg Terkenal, Seniman ataupun bukan, Tak akan Membikin parpol meraih banyak kursi.
Candu caleg Terkenal itu hanya Bisa diputus Apabila parpol melaksanakan kaderisasi dengan sungguh-sungguh. Dengan program kaderisasi yang matang barulah caleg akan menjadi legislator yang dapat menangkap aspirasi rakyat, apa pun latar belakangnya.
Kaderisasi itu pula yang sesungguhnya menjadi kunci Krusial Demi semakin mewujudkan pemilu yang Rapi. Berkaca dari Pemilu 2019, politik Fulus Tetap mendominasi kasus pelanggaran pemilu.
Kita harus memahami sesungguhnya politik Fulus Tetap bercokol bukan hanya karena tingkat ekonomi yang lemah. Masyarakat Tetap Bisa tergiur dengan serangan fajar ketika memang Tak Eksis calon yang Bisa mereka harapkan dan percayai.
Misalnya legislator yang mematahkan kekuatan Fulus sebenarnya juga bukan langka. Ingat saja kisah tukang ojek Abdul Wahid Ibrahim di Manado, Sulawesi Utara, yang lolos DPRD. Abdul hanya bermodal Rp5 juta, dan bahkan konstituennya yang mengumpulkan Fulus Rp30 juta Demi Anggaran kampanyenya. Masyarakat setempat bergotong royong memenangkannya karena ia dianggap menjadi panutan dengan kehidupannya yang jujur dan sederhana.
Begitu ini, masa pendaftaran caleg memang telah usai dan mulai 15 Juni, KPU masuk ke tahap Pengecekan administrasi. Meski begitu, bukan berarti tugas parpol telah menjadi lebih ringan dalam menghasilkan pemilu yang berkualitas. Parpol harus memastikan seluruh calegnya berkomitmen menjalankan kampanye yang jujur dan fair, termasuk tanpa kampanye hitam dan politik Fulus.
Sejurus dengan itu, kita juga menuntut agar KPU dan Bawaslu menjamin pemilu yang Rapi. Tak hanya itu, kedua lembaga ini juga harus dapat menjalankan kerja dengan Independen. Begitu pun aparatur pemerintahan. Meski Presiden Joko Widodo akan cawe-cawe dalam menentukan penggantinya, mereka diharapkan tetap menjaga netralitas dalam Pemilu 2024.