TUJUH tahun Lampau, saya berbincang dengan Ibrahim, sesepuh di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Puluhan naskah Klasik berusia ratusan tahun tertata rapi di lemari rumahnya. Tangannya bergetar halus ketika dia memperlihatkan sebuah kitab tentang Isra Mikraj beraksara Arab-Melayu. “Saya Tak Dapat membacanya,” ucapnya.
Saya heran kenapa dia menyimpan dan merawat tulisan-tulisan Sepuh itu sementara tak satu pun dia Pandai membacanya. Dia pun menjawab, “Saya hanya menjalankan Amanah orangtua.” Katanya, dulu, Naskah itu selalu menemani ayahnya berceramah, modal Esensial seorang pemuka membekali masyarakatnya dengan nilai-nilai Religi.
Kisah sederhana itu melekat. Di ruang rumah yang hangat, saya merasa sedang belajar hal yang mungkin terlupa di ruang-ruang rapat. Pelestarian, pada dasarnya, adalah soal amanah. Ia hidup bukan karena definisi yang rapi, melainkan karena kebiasaan kecil yang diulang tanpa banyak bicara.
RAGAM PARADOKS
Dalam suasana lain, belum Pelan ini, Berita dari Belanda meramaikan pemberitaan. Presiden Prabowo Subianto secara Formal berhasil memulangkan 28.000 artefak fosil Orang purba yang dua abad Lampau ditemukan oleh Spesialis paleoantropologi, E Dubois, di Jawa Timur.
Sebagai Anggota Biasa, saya bangga. Rasanya seperti Eksis bagian dari cerita panjang kita yang menemukan jalan pulang. Ini adalah rangkaian strategi repatriasi yang telah bertahun-tahun sukses dijalankan pemerintah.
Tetapi, rasa itu bercampur dengan gambar dari penghujung Agustus 2025. Api membubung di Gedung Grahadi Surabaya dan penjarahan artefak sejarah di museum Kediri melengkapi cerita pilu yang terjadi di sejumlah Kawasan. Akibat keserakahan segelintir Golongan Orang, benda budaya pun turut terimbas.
Ingatan saya kemudian melompat ke 2023, ketika Museum Nasional di Jakarta terbakar. Seperti banyak orang, saya terkejut. Lampau Berita berganti, kehidupan berjalan Tengah, dan mungkin kita menyimpan peristiwa itu di laci yang sama bertuliskan ‘Semoga Tak terulang’. Tamat kemudian gejolak akhir Agustus memaksa kita membuka laci itu kembali.
Rangkaian kemalangan tersebut melahirkan kesan dalam benak saya. Di satu sisi kita kian mahir berbicara soal pemulangan benda dari luar negeri. Di sisi lain, kita belum selesai menjawab pertanyaan paling mendasar tentang apa Definisi ‘rumah’ bagi benda-benda itu. Apakah jarak antara ‘Punya negara’ dan ‘Punya kita’ selama ini terlalu lebar? Apakah di kepala banyak orang, bangunan bersejarah lebih mirip kantor yang dingin daripada ruang keluarga yang akrab?
Mungkin ini masalah bahasa. Kita terbiasa memakai istilah teknis seperti preservasi, konservasi, restorasi, digitalisasi, dan katalogisasi. Tentu saja ini Seluruh Krusial. Tapi saya juga ingat Persona Ibrahim yang Tak menyebut satu pun istilah. Sekadar menjalankan pesan bapaknya, barangkali, di situlah kunci awal yang paling sederhana.
AMANAH BATIN
Kita harus belajar dari Ibrahim dalam merawat benda bersejarah. Dia memang Tak merawat naskah itu karena paham isi teksnya. Tetapi, dia melakukannya karena memahami konteksnya secara batiniah. Baginya, naskah itu bukan objek Tewas. Ia adalah jembatan memori, perpanjangan sosok Orang Sepuh yang ia hormati, dan simbol dari nilai-nilai yang pernah hidup di sekitarnya. Ibrahim terhubung dengan benda itu melalui ikatan emosional, bukan ikatan intelektual semata. Inilah yang saya sebut sebagai ‘amanah’ yang hidup.
Amanah, dalam konteks ini, melengkapi apa yang kita sebut sebagai kewajiban profesional. Tentu, ini bukan berarti para kurator, konservator, dan seluruh insan kesejarahan Tak Mempunyai semangat ini. Sebaliknya, banyak dari mereka adalah para ‘Ibrahim’ di dalam institusi. Mereka bekerja dengan gairah dan kecintaan mendalam, sering kali dengan sumber daya yang terbatas. Mereka kerap harus bergerak dalam sebuah sistem dan paradigma yang lebih menekankan aspek teknis dan administratif. Paradigma ini, yang lahir dari niat Berkualitas Buat melindungi, terkadang tanpa sengaja menciptakan jarak psikologis antara koleksi dan masyarakat luas. Benda-benda itu menjadi objek studi yang harus dijaga sterilitasnya, bukan pusaka yang rohnya Dapat dirasakan Serempak.
Persoalannya terletak pada jurang antara kewajiban kelembagaan dan amanah komunal. Ketika pelestarian dipahami sebagai tugas formal para Spesialis di dalam gedung, masyarakat di luar gedung akan memandangnya sebagai ‘urusan pemerintah’ atau ‘Punya negara’ yang berjarak dan abstrak. Mereka Tak merasa Mempunyai ikatan emosional yang mendorong mereka Buat ikut menjaga. Tragedi akhir Agustus adalah gejala ekstrem dari keterputusan ikatan ini.
Inilah Akibat dari praktik Tak Menyantap sejarah dan kebudayaan sebagai sesuatu yang prioritas. Teknologi, ekonomi, dan politik akan kering tanpa memahami bagaimana pengetahuan masa silam membentuk kearifan dan Langkah pandang kita Menyantap masa kini dan masa depan.
Oleh karenanya, kepulangan benda bersejarah harus disambut meriah lahir maupun batin. Secara lahiriah, pemerintah sudah terlihat cakap memahami situasi dan konsekuensinya. Menyadari iklim tropis Indonesia yang rawan bencana alam, mereka Paham bahwa menjemput pulang artefak dari Eropa Malah berpotensi mempercepat kerusakannya. Karena itu, sejumlah strategi telah disiapkan Buat menjadikan benda-benda tersebut nyaman kembali ke rumah.
Yang Tak kalah Krusial ialah menyiapkan sambutan batin. Rumah yang hangat Tak hanya berarti gedung yang Terjamin, tetapi juga lingkungan sosial yang memeluknya. Sebuah rumah di mana para Spesialis di dalamnya dan masyarakat di luarnya berbagi rasa kepemilikan dan tanggung jawab yang sama.
JANGKAR BUDAYA
Terinspirasi dari Ibrahim, keluarga adalah jangkar terkecil yang berperan mengakarkan rasa Mempunyai. Keluarga adalah museum pertama bagi setiap anak. Jauh sebelum seorang anak belajar tentang fosil Pithecanthropus erectus, manuskrip Kakawin Nagarakretagama atau Candi Borobudur, ia belajar tentang album foto kakek-neneknya, resep masakan warisan, atau sebilah keris peninggalan leluhur.
Di sanalah amanah itu pertama kali dititipkan. Ketika seorang ibu menceritakan kain batik yang dipakainya Ketika menikah, atau seorang Orang Sepuh menjelaskan mengapa marga keluarga begitu Krusial, Ketika itulah sejarah diisi dengan nyawa. Ia berhenti menjadi sekadar benda, dan menjelma menjadi bagian dari identitas.
Sayangnya, kita Tak Dapat menuntut setiap keluarga Buat menjadi pencerita yang ulung Apabila rantai pengetahuannya telah terputus. Banyak orangtua hari ini yang juga merupakan produk dari sistem yang Tak memprioritaskan narasi sejarah dan budaya. Di sinilah lembaga pendidikan berperan.
Kurikulum sekolah Tak hanya mendorong siswa menghafal tahun peristiwa atau nama raja. Data sejarah yang kering itu harus menjadi kisah yang menggetarkan batin. Tak hanya mengenalkan sejarah nasional, budaya dan kepercayaan lokal pun harus menjadi arus Esensial.
Masalahnya, menciptakan ekosistem sekolah dan guru semacam ini bukanlah pekerjaan mudah. Ia Tak Dapat lahir dari seminar atau lokakarya semata. Ia membutuhkan sebuah keberpihakan politis yang Konkret dan berkelanjutan. Alih-alih menjadi tanggungan kurikulum, kunjungan ke situs sejarah Malah jadi komoditas sekolah. Biayanya yang mahal harus ditanggung oleh siswa di tengah kesenjangan latar belakang ekonomi orangtuanya.
KETELADANAN ELITE
Di sinilah kita Tamat pada simpul yang paling mendasar sekaligus paling pelik, yakni etika elite. Keberpihakan politis ini, pada akhirnya, adalah cerminan dari etika para pengambil kebijakan. Apakah mereka Menyantap jabatan sebagai amanah Buat merawat warisan dan kesejahteraan rakyat, atau sebagai kesempatan Buat mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan? Pertanyaan ini membawa kita kembali ke pangkal dari gejolak Agustus Lampau.
Aksi demonstrasi yang berujung pada pembakaran dan penjarahan itu Tak lahir dari ruang hampa. Ia adalah letupan amarah dari rasa pengkhianatan yang menumpuk. Ketika rakyat Menyantap segelintir elite memperkaya diri dengan rakus, mengabaikan kepentingan publik, dan menggerus rasa keadilan, ikatan kepercayaan antara pemimpin dan yang dipimpin pun terkoyak.
Keserakahan elite menciptakan masyarakat yang merasa Tak Mempunyai masa depan. Dan, bagi orang yang merasa masa depannya dirampas, masa silam pun kehilangan Arti. Buat apa merawat peninggalan leluhur Apabila hari esok saja terasa begitu suram dan Tak adil?
Gedung bersejarah jadi Sasaran yang Renyah. Bagi massa yang marah, gedung-gedung itu bukan Tengah simbol keagungan Serempak, melainkan penanda kemapanan sebuah kekuasaan yang korup dan berjarak. Mereka menyerangnya karena merasa dikhianati oleh sistem yang Sebaiknya menjaganya. Memang Eksis yang menyebut bahwa pelaku penyerangan itu adalah massa bayaran. Jikapun Betul, Ekonomis saya, kemunculan Golongan ini adalah imbas dari kesenjangan sosial-ekonomi.
Maka, belajar dari Ibrahim bukan hanya soal meniru gestur kecilnya dalam merawat naskah. Ini adalah tentang esensi amanah dalam skala yang paling luas. Seperti Ibrahim yang menjaga kitab karena Amanah ayahnya, para elite Sebaiknya menjaga negara ini beserta seluruh rakyat dan warisan budayanya sebagai Amanah dari para pendiri bangsa.
Api di Surabaya dan penjarahan di Kediri adalah alarm paling keras, mengingatkan kita bahwa fondasi dari Seluruh upaya pelestarian, repatriasi, dan pendidikan budaya adalah etika kepemimpinan. Tanpa keteladanan elite, Seluruh Percakapan tentang cagar budaya akan menjadi percakapan di menara gading. Sementara itu, di Dasar, api perlahan-lahan merayap, siap menghanguskan rumah yang kita sebut Indonesia.

