Meraih Kesempatan Ekonomi di 2025

Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah. Foto: Istimewa.

Jakarta: Indonesia Dapat memaksimalkan Kesempatan guna Membikin ekonomi menjulang tinggi di 2025. Proyeksi atas pertumbuhan ekonomi RI juga Dapat saja melesat ke atas, Apabila pemerintah siap dan waspada terhadap sejumlah tantangan, Berkualitas dari domestik maupun Dunia.

Adapun, Biaya Moneter Dunia atau International Monetary Fund (IMF) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5,1 persen. Sementara Bank Dunia atau World Bank, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 sebesar 5,1 persen.

Sedangkan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 sebesar 5,2 persen.

“Proyeksi ini sesungguhnya Enggak terlalu berbeda jauh dengan Sasaran pertumbuhan ekonomi pada APBN 2025 sebesar 5,2 persen,” kata Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 2 Januari 2025.

Menurut Said, Indonesia berpotensi Tetap menghadapi pelemahan konsumsi rumah tangga sebagai penopang Primer pertumbuhan perekonomian. Merosotnya daya beli berdampak pada rendahnya tingkat permintaan. “Gejala ini sesungguhnya sudah nampak sejak pasca pandemi,” tutur dia.

Ia pun membeberkan sederet tantangan yang harus dihadapi agar pemerintah siap dan mawas diri. Hal ini juga agar Indonesia Dapat memanfaatkan Kesempatan ekonomi sehingga Dapat melambung tinggi.
 

1. Perang tarif

Tiongkok dihadapkan perang ekonomi secara multifront, perang tarif dengan Amerika Perkumpulan (AS) dan Uni Eropa. Uni Eropa bahkan telah memberlakukan bea masuk 43 persen mobil listrik dari Tiongkok.

Cek Artikel:  Percepat NZE 2050, Pemerintah Olah Tandan Nihil Kelapa Sawit Jadi Bioetanol

AS juga akan memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas barang ekspor Demi meredam imigran, dan peredaran narkotika. AS juga akan mengenakan tarif ekspor dari negara negara yang melakukan dedolarisasi, seperti Tiongkok dan negara negara BRICS.

“Apabila perang tarif ini semakin menajam di tahun ini, maka Indonesia akan terkena spillover effect, Dapat negatif Tetapi juga positif,” terang Said.

Negatifnya, ungkap dia, ketidakpastian bisnis Mendunia semakin tinggi, biaya ekspor Dapat berpotensi semakin tinggi. Tetapi bila Indonesia Dapat menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka Kesempatan ekspor Indonesia akan besar.

“Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai Kesempatan emas kedepan,” tuturnya.
 

2. Perekonomian Tiongkok melempem

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2025 berada di kisaran 4,5 persen, perkiraan ini lebih rendah dari prediksi pertumbuhan Tiongkok di tahun 2024 sebesar 4,8 persen.

Apabila perekonomian Tiongkok makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke Tiongkok.

“Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi resiko atas menurunnya perekonomian Tiongkok, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke Tiongkok yang menurun,” tutur Said.
 

3. Dolar AS makin kuat

Said menuturkan, perang tarif Dapat berdampak pada depresiasi dolar AS (USD) terhadap rupiah. Belajar perang tarif Tiongkok dan AS pada 2018 Lampau, banyak pelaku pasar lebih menyalakan tombol ‘risk on‘, artinya menggenggam USD lebih low risk ketimbang mata Fulus lainnya.

Cek Artikel:  Naik Kembali, Harga Emas Jadi Rp1,406 Juta pada Rabu 4 September 2024

“Apabila situasi ini terulang, maka kita harus bersiap sejak Awal Demi memperkuat sistem moneter kita,” urai dia.

Said mengungkapkan Dampak penguatan USD akan berlangsung Pelan Apabila perang tarif berkepanjangan. Indonesia harus memanfaatkan diplomasi perdagangan Dunia Demi Membikin tata perdagangan dunia lebih adil, setidaknya Enggak merugikan kepentingan nasional Indonesia.

“Sedangkan di dalam negeri, BI, OJK, dan pemerintah perlu mengatur lebih ketat Kembali atas devisa hasil ekspor Demi kepentingan nasional,” Jernih Said.
 

 

4. Turunnya kelas menengah

Di dalam negeri, sambung Said, Indonesia menghadapi penurunan kelas menengah dan konsumsi rumah tangga. Menurunnya kelas menengah akan menjadi ancaman bagi upaya Indonesia atas posisinya Begitu ini di upper middle income country. Sementara menurunnya daya beli akan menjadi sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Said bilang, pemerintah Dapat mengombinasikan program makan siang bergizi gratis Demi siswa guna meningkatkan gizi anak, sekaligus menggerakan ekonomi UMKM. Libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok makan bergizi gratis.

“Langkah ini akan berdampak multiplier ekonomi, Karena sektor UMKM akan menyerap produk produk petani dan peternak. Apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia,” tutur dia.
 

5. Industri nonmigas susut

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2014 sebesar 21,28 persen dan pada 2023 kontribusinya menyusut 18,67 persen atau Rp3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp20.892 triliun.

Cek Artikel:  Hunian Pintar Bergaya Jepang dengan Teknologi Ramah Lingkungan

“Banyak pihak menilai kita mengalami deindustrialisasi. Meskipun Nomor statistik menunjukkan penurunan, Tetapi Kesempatan industri manufaktur kita Bangun sangat besar sekali. Karena Apabila industri manufaktur tumbuh, saya berkeyakinan, kelas menengah juga akan tumbuh sejalan dengan program industrialisasi, Karena kelas menengah Dapat menjadi tenaga kerja yang adaptif Demi menopang kebutuhan industri,” ucap Said.

Menjawab tantangan tersebut, kata Said, Kesempatan yang Dapat ditempuh oleh pemerintah Demi membangkitkan industri manufaktur dan mendorong kembali tumbuhnya kelas menengah hanya dengan perluasan program hilirisasi, yang Begitu ini Tetap di sektor nikel.

“Perluasan hilirisasi Dapat merambah ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok Mendunia,” jelasnya.
 

6. Pecut investasi

Said menuturkan, Indonesia Mempunyai Kesempatan menurunkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR), Komparasi antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi yang diperlukan Demi mencapai pertumbuhan, Apabila berhasil membereskan hambatan ekonomi, seperti korupsi, dan memberikan pesan yang Jernih kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun kedepan.

“Dengan ICOR yang rendah, maka produk ekspor Indonesia Dapat berdaya saing di pasar Mendunia. Menurunnya tingkat korupsi juga menguatkan kepercayaan kepada pemerintah,” terang Said.

Mungkin Anda Menyukai