KEBERADAAN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi harapan pendiri bangsa yang tercantum pada UUD 1945. Kepada memperkuat BPK, amendemen ketiga UUD 1945 menambahkan Pasal 23F dengan menyerahkan kewenangan pemilihan anggota BPK kepada DPR tanpa campur tangan pemerintah.
Amendemen konstitusi itu memperkukuh keberadaan BPK sebagai satu-satunya lembaga audit negara yang bebas dan mandiri dari kekuasaan mana pun. Besarnya kewenangan lembaga audit negara itu ternyata disalahgunakan beberapa oknum BPK.
Perbuatan lancung yang dipertontonkan segelintir pemimpin dan auditor BPK terasa mencederai cita-cita mulia para pendiri bangsa. Oknum tersebut ternyata gagal mematuhi tiga prinsip etika BPK, yaitu independensi, integritas, dan profesionalisme.
Auditor negara ialah profesi yang sarat dengan tuntutan integritas dan kompetensi yang terbentuk melalui proses pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Profesi itu menempatkan integritas sebagai mahkota dan kompetensi sebagai pakaian. Politikus menjadi antitesis profesi auditor, terbukti anggota BPK yang berasal dari politikus rawan mencederai etika profesi itu karena beban politik yang mereka sandang.
Kejaksaaan Akbar pada 3 November 2023 menahan Achsanul Qosasi, anggota III BPK yang mantan politikus Partai Demokrat, atas dugaan penerimaan suap Rp40 miliar dari proyek BTS 4G Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Penerimaan suap diduga terjadi pada 19 Juli 2022, saat Kejaksaan Akbar sedang mengusut kasus itu.
Kenekatan bekas anggota DPR itu melakukan rasuah menjelang proses penyidikan kasus tersebut terasa di luar nalar akal sehat. Kasus serupa sebelumnya dilakukan Rizal Djalil, anggota IV BPK yang mantan politikus Partai PAN, yang menerima suap pada 2019.
Kendati suap diterimanya setelah pelaksanaa audit BPK 2020 dan 2021, patut diduga komitmen penyerahan uang sudah terjadi sebelumnya. Kemungkinan Achsanul diminta mengamankan proses audit tersebut dengan diiming-imingi fulus sebagai kompensasi dapat saja terjadi.
Faktanya, BPK pada 2020 dan 2021 tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang berindikasi korupsi dan sebaliknya, memberikan opini wajar tanpa (WTP) untuk periode tersebut. Padahal, BPK memiliki instrumen dan sumber daya mengawasi proyek jumbo dimaksud agar terhindar dari bancakan pengusaha dan politikus.
Minimnya peran BPK
Kalau saja BPK melaksanakan audit atas proyek BTS 4G sesuai dengan Peraturan BPK Nomor 1 Pahamn 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dapat dipastikan proyek tersebut terhindar dari pidana korupsi.
Pasalnya, audit reguler yang dilakukan BPK terhadap Kemenkominfo mampu menemukan indikasi korupsi manakala terjadi pada tahap awal. Meskipun BPK secara rutin melaksanakan audit pada Kemenkominfo, Kejaksaan Akbar tidak melibatkan BPK dalam audit investigasi penghitungan kerugian keuangan negara. Kejaksaan Akbar tidak meminta bantuan BPK, tetapi langsung meminta BPKP melakukan audit investigasi dimaksud.
Fakta tersebut mengindikasikan BPK tidak melaksanakan peran dan kewenangan melaksanakan audit investigasi. Penelusuran lebih lanjut juga diperlukan untuk memastikan alasan Korps Adhyaksa tidak melibatkan BPK dalam menangani kasus tersebut. Apakah BPK enggan menerima permintaan audit investigasi dari Kejaksaan Akbar karena benturan kepentingan?
Kewenangan BPK melakukan audit investigasi kerugian negara merupakan kewenangan atributif. UU Nomor 15 Pahamn 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Pahamn 2006 tentang BPK menegaskan audit investigasi merupakan kewenangan BPK. Surat Edaran Mahkamah Akbar Nomor 4 Pahamn 2016 menegaskan BPK memiliki kewenangan konstitusional menyatakan adanya kerugian keuangan negara.
Selain itu, posisi BPK yang sejajar dengan presiden dan berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif membuat kedudukan BPK bebas dari pengaruh ketiga cabang kekuasaan tersebut.
Tetapi, segala kompetensi BPK menjadi lumpuh manakala independensi terganggu oleh perilaku koruptif oknum pemimpin BPK. Rekayasa pemeriksaan atau jual beli opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dapat saja terjadi manakala integritas pimpinan BPK sudah tergadai.
Kasus suap anggota BPK itu sangat disayangkan karena perbuatannya meruntuhkan independensi auditor BPK dalam melaksanakan audit terhadap kasus BTS 4G dimaksud. Peristiwa itu berpotensi menghancurkan kredibilitas lembaga yang diharapkan mengawal keuangan negara dari para koruptor itu.
Aroma politis saat seleksi
Suap yang diterima anggota BPK menimbulkan daya rusak terhadap independensi dan integritas jajaran auditor di bawahnya. Independensi ialah suatu sikap dan tindakan dalam melaksanakan audit untuk tidak memihak kepada siapa pun dan tidak dipengaruhi siapa pun.
Personil BPK tersebut akan berupaya mengatur dan merekayasa temuan audit sesuai dengan keinginan pemberi suap sehingga mengakibatkan temuan dan hasil pemeriksaan menjadi bias dan tidak objektif. Hal itu terbukti dari audit investigasi penghitungan kerugian negara sebagai fakta persidangan oleh Kejaksaan Akbar menggunakan hasil pemeriksaan BPKP.
Dengan berdalih melaksanakan konstitusi, DPR menjadikan pemilihan anggota BPK untuk mempraktikkan politik dagang sapi. Kandidat yang diterima bukan yang ahli audit keuangan negara, melainkan figur yang dijagokan ketua umum parpol. Bukan rahasia lagi tiap fraksi sejak awal pendaftaran sudah mempunyai kandidat yang akan dijadikan anggota BPK.
Mekanisme yang karut-marut itu berpotensi menghasilkan anggota BPK yang terbebani oleh titipan parpol pengusungnya. Dalam kasus BTS 4G, ketika ada dugaan aliran dana kepada anggota Komisi I DPR dalam proses persetujuan alokasi anggaran proyek, pimpinan BPK yang berasal dari parpol tidak mustahil berupaya mengamankan kolega mereka di Senayan.
Proses seleksi anggota BPK diserahkan ke tangan politikus Senayan ternyata gagal menghasilkan pimpinan lembaga audit negara yang jauh dari pengaruh politik. Dari sembilan anggota BPK saat ini, tercatat enam orang berasal dari anggota parpol dan hanya satu orang yang murni berasal dari pejabat karier BPK. Ironisnya BPK dijadikan tempat penampungan politikus yang gagal terpilih.
Minimnya transparansi dan akuntabilitas proses seleksi BPK menyebabkan kandidat terpilih tidak lagi didasarkan pada kompetensi dan kriteria yang objektif, tetapi ditentukan penilaian subjektif selera politikus.
Asa BPK sebagai institusi audit negara yang paling tepercaya dan layak dipimpin manusia setengah dewa ternyata jauh panggang dari api. Alih-alih mengawal keuangan negara dari para koruptor, segelintir pemimpin dan auditor BPK berkonspirasi menikmati uang haram tersebut.