RUMUS Standar menggariskan bahwa keterbukaan itu sumber kepercayaan. Bahkan, di bidang hukum, sudah amat masyhur dalil yang dinyatakan pemikir Inggris Jeremy Bentham bahwa selama Kagak Terdapat keterbukaan, Kagak akan Terdapat keadilan. Roh keadilan ialah keterbukaan. Ia taji tertajam dan penjaga terkuat dalam melawan ketidakjujuran.
Sebaliknya, ketertutupan melahirkan Asrar. Ia sumber kecurigaan, induk syak wasangka, bahkan amunisi fitnah. Data yang disembunyikan, misalnya, Niscaya memantik pertanyaan panjang selama Kagak muncul jawaban. Manajemen tertutup itu pula yang Membangun Orde Baru keropos, Lampau tumbang. Ia menyimpan bom waktu kasak-kusuk yang berlanjut kemarahan.
Karena itu, wajar belaka bila banyak yang bertanya, apa maksud Komandan pemberlakuan Restriksi kegiatan masyarakat (PPKM) Luhut Binsar Pandjaitan menghilangkan data kasus Kematian pada laporan harian korona? Bukankah Bilangan Kematian merupakan indikator Krusial penanganan kasus covid-19? Apakah pemerintah takut dianggap meneror warganya?
Data itu bukan teror mental kepada publik. Sebaliknya, data itu bentuk pertanggungjawaban. Maka, ‘melipat’ data Kematian dalam laporan kasus covid-19 Kepada dimasukkan dalam ‘kantong’ yang rapat Bahkan melahirkan banyak ‘jangan-jangan’. Publik berspekulasi, jangan-jangan Pas dugaan selama ini bahwa data korona antara daerah dan pusat Kagak Klop. Jangan-jangan data-data itu sangat amburadul.
Untung rencana itu dibatalkan. Meskipun sudah membikin spekulasi yang luas, pembatalan ‘penyembunyian’ Bilangan Kematian itu tetap patut diapresiasi. Tentu dengan catatan segera ungkap ke publik: apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah Pas bahwa rencana pengeluaran data Kematian itu semata karena kekacauan input Lampau berakibat pada penurunan level PPKM di sejumlah tempat? Terbuka sajalah. Publik maklum, kok.
Keterbukaan itu juga menyangkut dugaan adanya data ribuan Kematian kasus covid-19 yang Kagak tercatat. Seperti yang dilaporkan komunitas Kaum pengawas penanganan covid-19 yang menamakan diri Laporcovid-19. Golongan itu menemukan Terdapat lebih dari 19 ribu kasus Kematian akibat korona yang sudah dilaporkan pemerintah kabupaten/kota, tetapi Kagak tercatat di data pemerintah pusat.
Data dari 510 pemerintah daerah yang dikumpulkan tim Laporcovid-19 menunjukkan, hingga 7 Agustus 2021, terdapat 124.790 Kaum yang meninggal dengan status positif korona. Sementara itu, jumlah Kematian positif covid-19 yang dipublikasikan pemerintah pusat pada waktu yang sama sebanyak 105.598 orang. Apabila dihitung Terdapat selisih 19.192 Kematian.
Sekali Tengah, data Kematian merupakan indikator sangat Krusial Kepada Menyaksikan seberapa efektif penanganan pandemi. Persoalan ketidakakuratan data mestinya segera diperbaiki, bukan malah dijadikan Argumen Kepada menghapus indikator ini.
Para Ahli, para epidemiolog, sudah mengingatkan bahwa data Kematian ialah ukuran vital kesehatan suatu populasi, memberikan informasi pola penyakit yang menyebabkan Kematian dari waktu ke waktu. Pola Kematian, kata mereka, akan menjelaskan perbedaan dan perubahan status kesehatan, mengevaluasi strategi kesehatan, serta memandu perencanaan dan pembuatan kebijakan. Karena itu, hal ihwal kekacauan data ini harus segera dibereskan. Ini bukan main-main.
Bayangkan bila data yang kacau itu terkait dengan sasaran Donasi sosial (bansos). Lampau, atas Argumen itu, data penerima bansos Kagak jadi dipublikasikan. Niscaya kekacauan bertumpuk-tumpuk yang terjadi, alih-alih Membangun tenang. Apalagi, faktanya memang data penyaluran dan penerima bansos ini Lagi belum seutuhnya beres.
Data yang kacau, Membangun perencanaan kebijakan juga kacau, apalagi Penyelenggaraan kebijakan: tambah kacau. Kocak rasanya di tengah dunia sudah merumuskan kebijakan berbasiskan big data, kita, mau Kagak mau, malah Maju-terusan dihadapkan pada urusan keluar-masuk data.
Apa iya, soal pemberesan data ini selalu dijawab layaknya Musik Koes Plus Bilaman-Bilaman? Atau, menjawab kekacauan data dengan ‘menyembunyikannya’. Malu ah.

