“UMWERTUNG aller Werte- penjungkirbalikan nilai-nilai. Mungkin tak ada ungkapan yang lebih tepat daripada adagium Friedrich Nietzsche ini guna melukiskan kondisi etika kehidupan berbangsa kita.
Bayangkan saja, di tengah-tengah inflasi kehidupan beragama di Indonesia, praktik korupsi tetap saja marak. Kehidupan religius seakan-akan tidak berdampak sedikit pun pada perbaikan moralitas publik.
Bahkan, tak sedikit orang beranggapan kalau korupsi itu bukan kejahatan, apalagi dosa. Tambahan lagi, sejumlah koruptor berusaha menutupi aibnya lewat donasi sosial atau pembangunan rumah ibadat. Setelah proses purifikasi itu praktik korupsi kembali menjadi business as usual.
Benang kusut
Idealisme menata demokrasi Indonesia tanpa korupsi ibarat menegakkan benang kusut. Kerja keras KPK untuk meberantas korupsi terkesan tidak didukung partai-partai politik yang masih saja getol merekrut calon legislatif eks narapidana korupsi. Sementara itu, di mata publik DPR dipersepsikan sebagai salah satu lembaga publik terkorup.
Terobosan Komisi Pemilihan Lumrah (KPU) lewat penerbitan PKPU No 20 Mengertin 2018 tentang larangan bagi eks narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif sesungguhnya merupakan oasis di tengah prahara pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi, niat baik dan terobosan berani KPU ini dimentahkan Bawaslu dengan meloloskan lima mantan koruptor untuk menjadi bakal caleg 2019.
Dalam cengkeraman kuasa Bawaslu, impian publik untuk mendapatkan wakil rakyat yang lebih bersih telah gugur sebelum bersemi. Nurani publik yang disuarakan koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih pun tidak digubris Bawaslu (Media Indonesia, 2/9).
Deretan dosa politik Bawaslu terus bertambah. Laporan tentang dugaan mahar politik yang melibatkan bakal calon Wakil Presiden Sandiaga Uno tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh lembaga ini. Kredibilitas Bawaslu dalam membangun sistem politik yang bebas korupsi terus merosot di mata publik.
Tumor ganas
Deretan persoalan di atas menunjukkan sulit dan rumitnya usaha pemberantasan korupsi. Tak berlebihan jika Pemimpin Gereja Katolik Roma sejagat, Paus Fransiskus, mengibaratkan korupsi dengan tumor ganas yang hanya mungkin disembuhkan lewat mukjizat. “Dosa akan diampuni, namun korupsi tak dapat diampuni” (Paus Fransiskus, 2014).
Menurut Paus Fransiskus, awalnya korupsi berakar dalam dosa individu koruptor, seperti tumor, ia kemudian menyebar ke seluruh tatanan sosial, hingga akhirnya berkembang menjadi dosa struktural. Apabila korupsi sudah membudaya dan menjadi jati diri sebuah masyarakat, dia akan merambah ke semua lapisan sosial, termasuk institusi moral seperti agama.
Jati diri seorang koruptor dan masyarakat koruptif terungkap dalam kesibukan berlebihan dengan dirinya sendiri. Ia tak mampu berpikir melampaui dirinya atau melebarkan sayap-sayap solidaritas sosial. Dalam masyarakat koruptif, agama cenderung direduksi menjadi ritualisme simbolis minus pertanggungjawaban dan komitmen sosial.
Akar terdalam kejahatan korupsi ialah kecenderungan absolutisasi dimensi imanen atau duniawi hidup manusia. Kecenderungan ini dapat terbaca dalam sikap mendewakan harta material dan kuasa duniawi. Koruptor cenderung menjadikan dirinya sebagai pusat segalanya akan kehilangan rasa malu, membangun isolasi sosial, dan terperangkap dalam triumfalisme. Seorang koruptor tak mengenal persahabatan, yang dikenalnya hanyalah konspirasi. Konspirasi dibangun semata-mata untuk kepentingan dirinya.
Daya destruktif
Korupsi memiliki daya destruktif yang sangat masif bagi kehidupan bernegara. Hal ini diungkapkan Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, dalam acara promulgasi Konvensi PBB Antikorupsi, “Korupsi adalah sebuah wabah dengan spektrum dampak sangat luas yang menghancurkan tatanan sosial. Ia menguburkan demokrasi dan kedaulatan hukum, ia adalah akar dari pelanggaran-pelanggaran HAM, menghancurkan tatanan ekonomi pasar, menurunkan kualitas hidup dan menyuburkan kejahatan terorganisasi, terorisme, dan ancaman-ancaman kemanusiaan lainnya” (Kofi Annan, 2004).
Akibat paling serius dari korupsi sering dialami masyarakat miskin. Korupsi ialah praktik perampasan tanpa rasa kemanusiaan atas hak-hak orang miskin dan terpinggirkan. Akibat langsung dari korupsi untuk orang-orang miskin tampak dalam fenomena sekolah tanpa buku, perpustakaan, buku tulis, bolpoin, atau kapur tulis; rumah sakit di mana upah para perawat tidak dibayar selama berbulan-bulan dan para pasien menunggu kematian lantaran tak pernah ditangani secara medis dengan serius, juga kualitas infrastruktur publik lainnya, seperti jalan raya, transportasi publik, pelayanan air minum dan listrik berada di bawah standar atau bahkan tak diurus sama sekali oleh negara atau diserahkan ke sektor swasta dengan risiko biaya tinggi bagi konsumen. Sesungguhnya korupsi ialah mesin pembunuh yang mahadasyat dengan dampak paling fatal dialami masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Moralitas bangsa
Korupsi ialah praktik manipulasi atas kekuasaan legitimasi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Secara etis korupsi menghancurkan trust atau rasa saling percaya yang menjadi salah satu basis utama tatanan sosial. Sebagai seorang yang tidak memiliki pengetahuan medis yang cukup, misalnya, saya tak punya pilihan lain selain harus percaya bahwa dokter akan membuat diagnosis dan menulis resep obat yang benar untuk penyakit yang saya derita.
Saya juga harus percaya bahwa presiden terpilih tak akan mengumumkan perang melawan negara tetangga atau perusahan situs e-mail tidak akan menyerahkan data-data pribadi saya kepada badan intelijen tertentu. Dalam sebuah tatanan yang korup trust dasariah seperti ini absen dan sama sekali tak berfungsi. Pada gilirannya korupsi akan menghancurkan segala pilar kehidupan bersama dan menihilkan terbentuknya sebuah komunitas politik atau nation.
Masifnya dampak korupsi bagi kehidupan bersama, harus menjadi alasan bagi semua elemen bangsa Indonesia untuk berperang melawan kejahatan korupsi. Salah satu strategi paling ampuh untuk mengatasi korupsi ialah penguatan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang militan berperang melawan korupsi.
Harus diakui bahwa gerakan antikorupsi di Indonesia masih dimonopoli kelompok kelas menengah dan belum merasuki masyarakat luas pada umumnya. Hal ini berkaitan erat dengan praktik demokrasi di Indonesia yang masih diwarnai dengan pola relasi patron-klien dan patronase. Salah satu faktor penyebab bertumbuhnya patronase dan pola relasi patron-klien dalam proses demokrasi di Indonesia ialah belum berkembangnya ruang publik etis sebagai jantung demokrasi.
Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik yang diisi dengan masyarakat sipil yang kuat dan aktif mengontrol penyelenggaraan kekuasaan. Kekuasaan tanpa kontrol dari masyarakat sipil kritis akan bermuara pada kesewenang-wenangan, seperti pernah diawasi Lord Acton dalam adagiumnya ‘power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutly’.
Demi memperkukuh ruang publik etis sebagai kontrol atas kekuasaan, agama-agama sebagai institusi moral harus menjadi agen perubahan terdepan dalam perang melawan korupsi. Keyakinan-agama, misalnya, perlu menggali dan menafsir kembali ajaran kitab sucinya dalam terang usaha pemberantasan korupsi. Dalam tradisi teologi Kristen, misalnya, pandangan tentang korupsi sudah cukup dikenal. Dosa dimengerti sebagai sesuatu yang koruptif. Definisinya, dosa merusak jiwa manusia dan menghancurkan kodratnya. Tetapi, dosa tidak saja dipahami secara personal.
Ajaran Gereja juga mengenal konsep tentang dosa sosial karena itu tugas profetis teologi, antara lain ditunjukkan dalam perjuangan melawan korupsi sebagai dosa sosial. Teologi yang benar harus mampu mewartakan Allah sebagai cinta dan keadilan. Gambaran Allah ini harus mampu mengalahkan korupsi sebagai manipulasi atas rasa saling percaya.
Korupsi ialah kejahatan individual dan sekaligus sosial. Ia menghancurkan jiwa manusia dan melumpuhkan kemampuan manusia untuk bertindak etis. Ia menghancurkan manusia dan juga institusi-institusi sosial. Karena itu korupsi harus menjadi keprihatinan agama-agama dalam keterlibatan konkret dan refleksi teologis.