Menyelamatkan Muruah MK

AKIBAT laku menyimpang yang diduga dilakukan orang dalam, muruah, integritas, dan kredibilitas Mahkamah Konstitusi (MK) menukik tajam. Ia harus segera diselamatkan jika tidak ingin benar-benar tenggelam.

MK sedang mempertaruhkan eksitensinya. Putusan gugatan uji materi terkait dengan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden di UU tentang Pemilu membuat penjaga konstitusi itu mendapat sorotan buruk, sangat buruk.

Dalam putusannya pada 16 Oktober lalu, majelis hakim MK menyatakan usia minimal capres dan cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan itu tak cuma kontroversial, tapi juga kental dengan aroma permainan politik dan campur tangan kekuasaan.

Putusan MK itu diyakini publik sebagai siasat MK pembuka jalan bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk bisa berkompetisi di Pilpres 2024 sebagai cawapres. Gibran yang berusia 36 tahun ialah putra sulung Presiden Joko Widodo. Dia juga keponakan Ketua MK Anwar Usman. Bangsa ini menjadi saksi bahwa Gibran akhirnya menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto.

Cek Artikel:  Segera Atasi Badai PHK

Putusan itu dipersoalkan karena proses pengambilannya tak seperti biasanya. Tak cuma publik, anggota majelis hakim MK pun mempermasalahkan. Saldi Isra yang memberikan dissenting opinion, amsalnya, menyebut putusan tersebut membingungkan, jauh di luar batas penalaran, dan aneh luar biasa.

Dinamika pengambilan putusan juga menimbulkan tanda tanya besar, amat besar. Versi Saldi, ada perubahan pendirian hakim dari menolak dalam perkara yang Anwar Usman tak ikut memutus, menjadi mengabulkan di perkara yang melibatkan Anwar dalam pengambilan putusan.

Putusan MK memang final dan mengingkat. Tetapi, jika putusan dibuat serampangan, suka-suka, tak independen karena takluk pada kekuasaan, muruah MK jelas dipertaruhkan.

MK ialah lembaga negara pengawal konstitusi yang memiliki kewenangan memutus pada tingkat pertama dan terakhir. Kewenangan dan kekuasaan mereka sangatlah besar, bahkan mutlak. Padahal, kekuasaan yang besar, apalagi mutlak, sangat dekat dengan penyelewengan.

Cek Artikel:  Independenitas Jokowi Jangan Hanya Omong-Omong

Bahwa MK harus diselamatkan, kita sepakat. Rakyat tak ingin lembaga yang begitu mulia dikendalikan oleh orang-orang yang menggadaikan kemuliaan. Publik tak mau lembaga yang begitu terhormat diisi oleh hakim yang melacurkan kehormatan.

Pada konteks itu, kepedulian masyarakat dengan melaporkan dan mengadukan dugaan pelanggaran etik oleh pengambil putusan soal tas usia capres-cawapres patut didukung. Sikap MK yang cepat membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK) pun layak disambut positif. Dalam pengumumannya, kemarin, MKMK Jimly Asshiddiqie mewakili unsur masyarakat, Bintan Saragih mewakili akademisi, dan Wahiduddin Eksisms mewakili hakim konstitusi yang masih aktif.

Begitu ini, memang baru MKMK yang menjadi instrumen untuk menangani pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi. MKMK juga masih bersifat ad hoc. Ia baru ada, baru dibentuk ketika ada perkara dugaan pelanggaran yang dilakukan para wakil Tuhan di muka bumi itu. Karena itu pula, mau tidak mau, suka tidak suka, kita berharap kepada mereka untuk menyelamatkan muruah MK.

Cek Artikel:  Jalan Panjang Beleid Bedinde

Menyelamatkan MK yang nyaris roboh karena putusan norak soal usia capres-cawapres berarti harus menindak tegas hakim-hakim yang berperilaku cela. Itulah yang mutlak ditunjukkan Jimly dan kawan-kawan. Dugaan penyimpangan dalam putusan itu terang-benderang, tidak samar-samar, sehingga semestinya tak terlalu sulit bagi mereka untuk mencari siapa yang melanggar. Tinggal kemauan dan keberanian yang berbicara, yang menentukan.

Harus kita katakan, nasib MK ada di tangan MKMK. Apabila MKMK hanya sekadar basa-basi, cuma formalitas untuk menyikapi kegeraman rakyat, MK bisa jadi akan roboh beneran.

Mungkin Anda Menyukai