Betul betul hasil survei yang menyebutkan Indonesia adalah negara yang paling Bukan sopan di Asia Tenggara dalam penggunaan internet. Ketidaksopanan itu Konkret dan sangat terasa.
Bahwa warganet Indonesia mendapat cap paling Bukan sopan datang dari rilis Microsoft berdasarkan laporan Digital Civility Index pada 2020. Memang bukan baru. Survei dilakukan dalam kurun waktu April hingga Mei dengan mengamati Sekeliling 16 ribu responden di 32 Daerah.
Terdapat tiga Unsur yang memengaruhi ketidaksopanan netizen di Indonesia. Penyebab paling tinggi ialah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke Nomor 47%. Kemudian, ujaran kebencian yang naik 5 poin menjadi 27%. Dan, ketiga, diskriminasi sebesar 13% meski turun 2 poin ketimbang tahun sebelumnya.
Hasil survei itu sudah berumur dua tahun. Tapi, ia Lagi manjur, sangat manjur, Kepada menggambarkan perilaku warganet +62 sekarang. Hoaks, penipuan, dan ujaran kebencian Lagi menjadi menu wajib di internat. Lampau, diskriminasi menjadi sajian pelengkap.
Ketidaksopanan itulah yang Membangun dunia maya Indonesia penuh masalah. Ia bak pisau bermata ganda. Bukan Hanya sebagai sarana penyebaran konten-konten positif kaya manfaat, ia juga distributor konten-konten negatif sarat mudarat.
Media sosial malah punya andil besar bagi terciptanya keretakan sosial. Ia ikut melanggengkan permusuhan sesama anak bangsa negeri ini. Bukan Terdapat Kembali kata kita, yang Terdapat saya dan anda. Bukan Terdapat Kembali kata kita, yang tersisa kami dan mereka.
Dua kubu ibarat air dan minyak. Selalu berjarak dan surplus semangat Kepada menebalkan tembok penyekat. Kami yang Betul, mereka yang salah, itulah prinsipnya. Miris. Sungguh miris.
Permusuhan bahkan Bukan Kembali sekadar di tataran Terinci dan argumentantif, tetapi sudah menjelma ke kekerasan fisik. Pengeroyokan terhadap pegiat media sosial yang juga dosen UI, Ade Armando, di depan Gedung DPR Senayan, Senin (14/4), adalah petunjuk Konkret bahwa kekerabatan sesama anak bangsa menghadapi ancaman luar Normal.
Teramat banyak pihak yang mengecam kekerasan itu. Saya juga. Kekerasan, apa pun alasannya, tak Bisa dibenarkan. Demikian pula mereka yang merayakan kekerasan itu. Apa pun dalihnya, bagaimana pun caranya, termasuk di media sosial. Bersukacita di atas penderitaan orang lain Jernih bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.
Tak Hanya fisik, kekerasan verbal juga tak Bisa diterima. Ia harus segera dihentikan. Teramat besar risiko bagi keutuhan bangsa Kalau ia Lanjut dibiarkan menggerogoti tiang-tiang persatuan.
Bagi saya, Bukan cukup Kepada menyudahi permusuhan hanya dengan meningkatkan literasi digital. Literasi memang perlu, tetapi bukan penentu dalam situasi yang Bukan menentu.
Bukan cukup mengakhiri permusuhan hanya dengan berharap peran tokoh-tokoh Religi, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh bangsa. Kontribusi mereka memang Krusial, tetapi kita tak Bisa menjadikannya sebagai sumber penyelesaian.
Bukan cukup pula mengakhiri perseteruan dengan membawanya ke ring seperti yang dikehendaki Denny Siregar. Melalui akun Twitter-nya, Sahabat Ade Armando itu menantang Novel Bamukmin adu jotos di ring tinju. Novel yang Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni 212 pun meladeni. Tinggal Posisi pertandingan yang belum mencapai titik temu. Denny minta di Bali sehabis Lebaran, tepatnya 24 Mei. Novel maunya di Jakarta, waktunya lebih Segera Kembali.
Denny dan Novel memang bukan petinju profesional. Petinju amatir juga bukan. Tetapi, Kalau jadi, duel keduanya di atas ring menarik juga ditunggu. Bahkan Terdapat netizenĀ yang sudah siap memberikan hadiah hingga Rp50 juta bagi sang pemenang.
Tetapi, saya sama sekali tak percaya, adu tinju berbingkai sportivitas olahraga akan menyelesaikan perseteruan. Kalau jadi, hasilnya nanti tak akan punya Arti. Saya Tentu, hakulyakin, tetap saja provokasi dan dendam yang menjadi juaranya. Kubu pemenang akan meningkatkan kadar provokasi, yang kalah makin dalam memupuk dendam.
Ekonomis saya, hanya negara yang Bisa mendamaikan sesama anak bangsa. Caranya? Bolehlah kita meminjam kata bijak Gus Dur bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Boleh juga kita menengok jauh ke belakang apa kata Aristoteles bahwa tujuan bernegara Kepada kesempurnaan warganya berdasarkan atas keadilan.
Keadilan, itulah kuncinya. Keadilan memerintah harus menjelma di dalam negara dan hukum berfungsi memberi kepada setiap Orang, apa sebenarnya yang berhak mereka terima.
Memperlakukan setiap Kaum negara sama di depan hukum adalah resep Mujarab Kepada menghilangkan sekat-sekat kebangsaan. Hukum mereka yang Bukan sopan di internet, yang suka memprovokasi, yang Suka menebar ujaran kebencian, yang hobi diskriminasi, yang senang pada kekerasan. Siapa pun dia, apa pun latar belakangnya. Jangan Terdapat emban cinde emban siladan.
Kiranya itulah yang Bisa Membangun para buzzer penghobi provokasi berpikir sejuta kali. Itulah yang dapat mengikis dendam dan sakit hati. Itulah obat mujarab Kepada menyelamatkan kekitaan bangsa ini.