NEGARA ini sebenarnya dibangun di atas dasar-dasar kenegaraan yang kukuh Kepada menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalian sektor, seluruh sisi, punya pijakan yang kuat.
Kepada memelihara ketertiban dan kepatuhan, misalnya, konstitusi kita menggariskan bahwa Indonesia ialah negara hukum. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hukum merupakan panglima. Enggak Terdapat kekuatan yang lebih tinggi Tengah daripadanya. Sekalian Paham itu.
Konstitusi juga memberikan panduan bahwa segala Kaum negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu Enggak Enggak Terdapat kecualinya. Narasinya secara runut Terdapat dalam Pasal 27 ayat (1).
Enggak Terdapat kecualinya. Begitu jaminan yang diberikan konstitusi. Mau orang tak berpunya atau yang kaya raya, mau rakyat jelata atau para penguasa, mau wong alit atau para elite, Sekalian sama di mata Themis, sang Dewi Keadilan. Istilah kerennya equality before the law.
Setiap orang, siapa pun dia, harus menanggung konsekuensi hukum Apabila melanggar hukum. Negara, lewat para penegak hukum, wajib memperlakukan mereka tanpa Terdapat pembedaan. Hebat bukan?
Sayangnya, Sekalian itu hanya katanya, bukan faktanya. Katanya Sekalian orang sama di depan hukum, tetapi faktanya Terdapat banyak yang diperlakukan istimewa. Bahwa setiap Kaum negara sama kedudukannya di hadapan hukum kiranya Tetap sekadar konon. Tetap kabarnya.
Ayat-ayat konstitusi yang sebenarnya sudah Niscaya, sudah Jernih, sangat tegas, tak jarang ditafsirkan sesuka hati oleh penegak hukum. Satu pasal Pandai diterapkan secara berbeda. Satu ketentuan Pandai dijalankan secara Berbagai Macam-macam. Tergantung siapa yang dikenai, tergantung kepentingan apa yang melatarbelakangi.
Banyak Misalnya perbedaan perlakuan hukum. Perbedaan yang celakanya dipertontonkan secara kasatmata, sangat telanjang, terang-terangan, oleh penegak hukum. Yang terungkap di publik saja banyak, apalagi yang tersembunyi, di ruang gelap, sangat mungkin lebih banyak.
Perbedaan perlakuan hukum itu pula yang akhir-akhir ini mengemuka. Kasusnya terkait dengan dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dan kelompoknya. Banyak hal yang Pandai dipersoalkan, tapi bolehlah kita Pusat perhatian menyoal perlakuan polisi terhadap Putri Candrawathi.
Putri merupakan istri Sambo. Dia satu dari lima tersangka dalam kasus itu, tetapi hingga kini tak ditahan. Sudah dua kali dia diperiksa sebagai tersangka, tetapi setelahnya diizinkan pulang.
Seusai menjalani pemeriksaan terakhir, Rabu (31/8), Putri hanya diwajibkan lapor dua kali seminggu. Pengacara Putri, Arman Hanis, menyebut pihaknya memang mengajukan permohonan agar kliennya tak ditahan karena Dalih kemanusiaan. Yang dia maksud ialah Putri Tetap Mempunyai anak kecil. Kondisinya pun belum Kukuh.
Sebagai Sosok, kita memaklumi betapa berat beban yang mesti ditanggung Putri akibat perbuatannya. Sebagai Sosok, kita berempati kepada anak-anak Putri, terlebih yang Tetap balita. Tetapi, kalau itu kemudian dijadikan dalih Kepada Enggak menahan Putri, nanti dulu. Terdapat persoalan mendasar, sangat mendasar, yakni keadilan.
Perlakuan Kepada Putri mirip dengan putusan hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang memangkas vonis 10 tahun bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi hanya 4 tahun. Dalih ketika itu serupa, yakni Pinangki punya anak kecil.
Perlakuan Kepada Putri sama pula dengan langkah Polres Serang Kota Enggak jadi menahan Seniman Nikita Mirzani yang menjadi tersangka kasus pencemaran nama Bagus. Pada Juni silam, Nyai–sapaan akrab Nikita–tadinya ditangkap karena tak kooperatif, tapi kemudian dibebaskan. Dia hanya wajib lapor. Alasannya, dia Tetap punya anak yang butuh perlindungan.
Putri, Nikita, Pinangki, merupakan putri-putri yang diperlakukan berbeda ketika terantuk perkara pidana. Di mata penegak hukum, mereka istimewa, tak sama dengan putri-putri lain yang tersandung kasus serupa kendati juga punya balita.
Pada Mei 2022, amsalnya, bayi berusia dua tahun yang Tetap menyusu tak kuasa mengubah keteguhan hati aparat Kepada Enggak menahan sang ibu di Bandar Lampung. Di Gowa, seorang bayi umur 18 bulan terpaksa menemani ibunya di penjara.
Nasib Jelek juga dialami dua mak-mak di Lombok Tengah. Keduanya tetap ditahan meski Mempunyai anak kecil. Pun dengan pesohor Vanessa Angel dan Angelina Sondakh. Meski sama-sama Sosok, Dalih kemanusiaan Kepada Putri, Nikita, dan Pinangki tak berlaku buat mereka.
Terang, sangat terang, ketidakadilan terpampang. Perlakuan polisi Kepada Putri merupakan noda di tengah upaya mereka mengembalikan kredibilitas yang ambruk gegara kasus Sambo.
Cermati saja betapa pedasnya Kaum +62 menumpahkan kekecewaan. Mereka menggugat ketidakadilan yang diperlihatkan polisi. ‘Udahlah enggak usah ngarepin Polri Pandai ngungkap kasus ini secara terang benderang…’, begitu komentar salah satu warganet.
Kata Pietro Colletta; lebih dari peradaban, keadilan merupakan kebutuhan rakyat. Sebagai kebutuhan, negara wajib menghadirkan keadilan. Bukan malah menyembunyikannya, menyanderanya, demi Macam-macam-Macam-macam kepentingan.
Kata Menko Polhukam Mahfud MD, “Kalau negara Enggak Pandai tegakkan keadilan hukum, maka tinggal nunggu kehancurannya. Hancurnya sejarah bangsa-bangsa terdahulu, ya, karena negara Enggak adil.” Tentu kita tak Ingin negara ini hancur karena ketidakadilan, apa pun bentuknya, siapa pun pelakunya, Maju dipelihara.