Menyambut Hari Anak Nasional 2024, Tamat Bilaman Regulasi Zat Adiktif akan Berpihak pada Kepentingan Terbaik Anak

Menyambut Hari Anak Nasional 2024, Sampai Kapan Regulasi Zat Adiktif akan Berpihak pada Kepentingan Terbaik Anak?
Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, Personil Pokja RPP Kesehatan KPAI, Pegiat Pengendalian Tembakau(Dok Pribadi)

DALAM beberapa pekan di akhir Juni hingga awal Juli 2024, pemberitaan tentang zonasi penjualan rokok marak di media massa. Ini terkait dengan rencana Pemerintah melarang pedagang menjual rokok dekat lingkungan sekolah, tepatnya radius jarak 200 meter, yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Pahamn 2023.

Liputan media memberitakan penolakan sejumlah pihak terhadap rencana pengaturan zonasi penjualan rokok tersebut. Sejumlah narasumber yang mewakili kepentingan  industri rokok dan pihak-pihak yang mereka sokong, seperti perwakilan asosiasi industri rokok, perwakilan pedagang sembako, dan pengamat kebijakan publik, bermunculan dengan narasi penolakan yang seragam. 

Argumen penolakannya agar kebijakan tidak memberikan efek domino negatif kepada pedagang, serta untuk melindungi pedagang kecil dan warung-warung rakyat.

Baca juga : Kemenkeu: Pajak Rokok Elektrik Berlaku 1 Januari 2024

Laporan yang dipublikasi RUKKI dan Lentera Anak, berjudul ‘Pelemahan Hukum dan Regulasi Kesehatan di Indonesia: Studi Kasus Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam UU dan RPP tentang Kesehatan”  pada 31 Mei 2024 yang lalu menemukan  ada 5 penolakan terhadap pengaturan zat adiktif rokok di RPP Kesehatan yang disampaikan melalui media massa yaitu (1) Menolak larangan menjual rokok secara eceran, (2) Menolak Pelarangan Total iklan, promosi dan sponsor Rokok, (3) Aturan tentang Tembakau agar dikeluarkan dari RPP Kesehatan, (4) Rokok Elektronik agar dibuatkan Regulasi yang terpisah, dan (5) Pengaturan produk tembakau agar dikembalikan kepada PP Nomor 109 Pahamn 2012. 

Cek Artikel:  Proses tidak Mungkin Membohongi Hasil

Menjelang penandatanganan Rancangan PP Kesehatan oleh Presiden Jokowi, melalui front groupnya industri tembakau menambahkan daftar penolakannya yang ke-6 yaitu menolak rencana pengaturan zonasi penjualan rokok di sekitar sekolah.

Survei Lentera Anak pada 2015 dan 2020 tentang iklan dan penjualan rokok di sekitar sekolah, menunjukkan bahwa industri tembakau mengiklankan dan menjual produknya di warung-warung di sekitar sekolah. 

Baca juga : Jumlah Perokok Indonesia Bertambah 8,8 Juta dalam 10 Pahamn

Laporan dari 22 negara, juga menunjukkan hal yang sama, bahwa sekitar sekolah merupakan tempat industri tembakau menargetkan anak-anak dengan cara  membranding warung dengan warna, spanduk, poster, kemudian menata rokok setinggi pandangan mata, ditempatkan dekat dengan makanan, permen dan minuman serta menjual rokok secara batangan sehingga harganya terjangkau oleh anak-anak.

Sementara itu, hasil Dunia Youth Tobacco Survey 2019 di Indonesia juga menunjukkan bahwa 76,6% pelajar membeli rokok di warung, toko, dan kios. Kemudian 60 % pelajar tidak dicegah dari membeli rokok karena usia mereka; dan  71,3 % membeli rokok secara eceran atau per-batang (GYTS, 2019). Ini menunjukkan bahwa lingkungan sekitar sekolah tidak kondusif untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari target pemasaran dan akses rokok.

Cek Artikel:  Pajak Kepada Generasi Emas

Penolakan terhadap peraturan zonasi penjualan rokok, penjualan batangan serta pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok merupakan bentuk intervensi industri tembakau untuk mempengaruhi pemerintah demi kepentingan dan keberlanjutan bisnisnya dengan mengambil keuntungan dari anak-anak kita. 

Baca juga : 12 Ormas Desak RPP Kesehatan Disahkan untuk Lindungi Anak dari Rokok

Sudah sangat banyak riset dan studi yang menjelaskan dampak buruk mengonsumsi rokok sejak usia muda terhadap fungsi jaringan prefrontal cortex (PFC), yaitu otak bagian depan yang bertanggungjawab terhadap kemampuan kognitif. Mengonsumsi rokok secara terus menerus sejak usia dini akan mempengaruhi fungsi PFC dan menyebabkan kerusakan PFC secara permanen. 

Begitu pula dengan paparan iklan dan promosi rokok sejak usia dini telah meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Surgeon General menunjukkan betapa iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya, mendorong anak-anak mencoba merokok, dan menganggap rokok adalah wajar. 

Karena melalui teknik subliminal adverting, dalam alam bawah sadar anak akan tertanam citra bahwa rokok adalah produk normal karena iklannya tidak dilarang, serta mencerminkan gaya hidup positif. Padahal rokok adalah produk tidak normal dan berbahaya, karena mengandung 7.000 zat berbahaya dan 69 di antaranya memicu kanker.

Cek Artikel:  Bonus Oposisi

Menyambut Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2024, kita berharap Negara hadir untuk memastikan anak Indonesia terpenuhi hak kesehatannya melalui regulasi yang kuat dalam melindungi anak. Sejak tahun 2016, perwakilan anak Indonesia melalui “Bunyi Anak Indonesia” yang disampaikan kepada Presiden pada setiap setiap perayaan Hari Anak Nasional, salah satunya adalah  meminta Presiden memperkuat regulasi zat adiktif untuk memberikan perlindungan kepada anak Indonesia.
 
Apakah Presiden Joko Widodo yang akan purna tugas pada Oktober mendatang mampu mengabulkan permohonan yang sudah disampaikan sejak delapan tahun lalu tersebut? Kita menunggu, kepada siapa keberpihakan akan diberikan oleh presiden. 

Apakah kepada industri tembakau yang selama ini mengklaim telah mencatakan kontribusi sangat besar terhadap APBN, dengan meninggalkan upaya  perlindungan kesehatan anak? Ataukah sebaliknya, Presiden Joko Widodo mengabulkan permohonan anak-anak untuk dilindungi dari adiksi produk tembakau dengan memprioritaskan kebijakan kesehatan yang berpihak pada kepentingan terbaik anak?  Selamat Hari Anak Nasional! (H-2)

Mungkin Anda Menyukai