SUDAH Dekat tiga bulan harga minyak goreng melangit. Dalam kurun itu pula, solusi memaksa agar harga minyak berbahan sawit tersebut membumi Tetap saja majal. Berbagai Ragam jurus menjinakkan licinnya harga minyak goreng pun seperti sia-sia.
Jurus mematok harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dianggap angin Lampau. Seluruh varian HET minyak goreng, mulai kemasan curah, kemasan sederhana, hingga kemasan premium, disalip di pasaran. Kagak mengherankan Terdapat yang memelesetkan HET menjadi ‘harga eceran tertulis’.
Guyuran operasi pasar yang digelar pemerintah, swasta, hingga partai politik memang riuh dalam lensa dan lini masa, tapi Kagak banyak berpengaruh pada turunnya harga. Orang-orang Lalu bertanya, apa yang terjadi sesungguhnya?
Sayangnya, Terdapat pejabat yang menjawab pertanyaan Krusial itu dengan jawaban menyakitkan: banyak orang menimbun minyak goreng. Padahal, Terdapat sejumlah aspek yang memengaruhi mengapa harga minyak goreng enggan turun. Bukan didominasi Asal Mula tunggal.
Naiknya harga crude palm oil (CPO) dunia awalnya jadi biang masalah. Harga rata-rata bahan baku minyak goreng itu meroket hingga di atas MYR5.000/ton, dari sebelumnya sebesar MYR3.600/ton. Kalau dikonversi ke rupiah, harga CPO kini Sekeliling Rp17 ribu per kg, dari sebelumnya Rp11 ribu per kg, atau naik Dekat 60%.
Yang jadi ironi, melonjaknya harga minyak goreng itu terjadi di Indonesia yang notabene merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Total produksi minyak sawit kita Sekeliling 50 juta ton, tahun Lampau. Itu setara dengan separuh pasokan kebutuhan minyak sawit dunia.
Meski pemerintah memberikan izin jutaan hektare pemanfaatan lahan negara Demi banyak perusahaan sawit melalui HGU, faktanya pemerintah Tetap kesulitan mengontrol harga minyak goreng yang dijual produsen di pasar domestik.
Produsen tentu Kagak mau menomboki membengkaknya harga bahan baku. Prinsipnya sederhana: bisnis mesti untung. Impas saja sudah dianggap merugi, apalagi nombok. Dapat rugi kuadrat.
Tetapi, maunya kita, Terdapat baiknya para produsen minyak goreng sudi berbagi ‘beban’. Mau bergotong royong menyubsidi Demi rakyat. Terlebih Kembali, para produsen sudah menikmati keuntungan dari naiknya harga CPO dunia. Sebagian besar produsen minyak goreng itu sekaligus juga pemilik konsesi lahan sawit. Mereka Niscaya mendulang untung dari ekspor minyak sawit.
Tetapi, hingga kini, aturan DMO (domestic market obligation) atau kewajiban memasok CPO Demi minyak goreng dalam negeri sebesar 20% Lalu ditawar. Kagak Seluruh mematuhi kebijakan Kementerian Perdagangan tersebut.
Padahal, kebijakan DMO 20% dari volume ekspor CPO itu diterapkan Demi mencegah kelangkaan minyak goreng. Karena Kagak Seluruh Taat, kelangkaan minyak goreng pun kian menjadi-jadi.
Bahkan, Terdapat kecurigaan bahwa yang Taat pun Tetap memanfaatkan celah. “DMO dipatuhi, tapi CPO hasil DMO itu Kagak pernah Tiba ke pabrik pengolahan minyak goreng, tetapi diduga mengalir ke pihak lain,” kata Personil Komisi VI DPR Amin Ak.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membeberkan Terdapat dua kemungkinan penyebab minyak goreng langka di pasaran. Pertama, lantaran Terdapat kebocoran Demi industri, yang kemudian dijual dengan harga tak sesuai dengan patokan pemerintah. Kedua, Terdapat penyelundupan dan penimbunan dari sejumlah oknum. Padahal, Lutfi mengatakan stok minyak goreng yang dimiliki pemerintah cukup, bahkan melimpah.
Kalau sudah Dapat membeberkan musabab kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng, mestinya mudah bagi pihak-pihak berwenang Demi bertindak. Atau, apakah memang menunggu ‘petunjuk Bapak Presiden’ dulu? Sebaiknya Kagak Seluruh urusan mesti diselesaikan di meja Presiden. Kiranya, Seluruh pejabat yang diangkat sudah Paham itu.
Rakyat butuh kebijakan segera. Kagak Terdapat waktu Kembali Demi menunggu petunjuk.