TIDAK ada tanda-tanda genosida Israel di Gaza akan segera berakhir meskipun AS–bersama dua mediator lainnya (Mesir dan Qatar)–selama empat bulan terakhir berjuang keras mengakhiri perang Hamas-Israel yang telah menewaskan hampir 42 ribu warga Gaza dan membumihanguskan nyaris seluruh permukiman dan infrastruktur enklave itu.
Bahkan, ketika mata dunia terpusat di Gaza, Israel meluaskan gempuran ke Tepi Barat. Itu terjadi setelah Mahkamah Global (ICJ) pada Juli lalu mengeluarkan pendapat hukum (advisory opinion) atas permintaan PBB, bahwa pendudukan Israel atas Tepi Barat ialah ilegal dan harus dihentikan segera. Lebih jauh ICJ mendesak Israel menarik permukiman Yahudi dari wilayah pendudukan.
Dalam situasi yang memprihatinkan dunia itu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyatakan Israel akan melancarkan perang skala penuh terhadap Hizbullah pro Iran di Libanon. Beberapa hari kemudian, terjadi ledakan berantai pada ribuan pager dan walkie talkie–sebagian berada di tangan anggota Hizbullah di Libanon dan Suriah–pada 17-18 September. Nyaris 3.000 orang cedera berat dan ringan serta 37 orang lainnya tewas.
Baca juga : Hizbullah Gempur Israel dengan Tembakkan 150 Roket
Di depan sidang DK PBB pada 20 September, Komisioner Tinggi PBB Urusan Hak Asasi Mahluk Volker Turk menyatakan serangan terhadap perangkat komunikasi Hizbullah melanggar hukum internasional dan dapat dikatakan sebagai kejahatan perang. Memang pager dan walkie talkie yang meledak di berbagai tempat telah pula membunuh warga sipil. Sulit dipahami bagaimana serangan terhadap perangkat komunikasi Hizbyllah menabrak prinsip kunci tentang distingsi, proporsionalitas, dan tindakan pencegahan dalam serangan di bawah hukum humaniter internasional.
Dalam laporannya kepada DK PBB, Ketua PBB Urusan Politik Rosemary DiCarlo mengatakan kekerasan lebih lanjut antara Israel dan Hizbullah serta Israel dan Hamas berisiko menggelorakan konflik yang lebih menghancurkan di Timur Tengah. Menanggapi serangan itu, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrollah menyatakan Israel telah melanggar semua garis merah. Dus, Timteng kini berada di tepi jurang perang regional.
Timteng sedang tersandera oleh ancaman perang regional yang menyeluruh. Itu disebabkan pemerintahan ekstrem kanan Israel di bawah PM Benjamin Netanyahu tidak berminat mengakhiri perang dengan Hamas dalam waktu dekat.
Baca juga : PBB: Serangan Perangkat Elektronik di Libanon Langgar Hukum Kemanusiaan
Mengutip berbagai pejabat tinggi AS, baru-baru ini Wall Street Journal melaporkan bahwa perang Gaza akan dipertahankan Netanyahu sampai 20 Januari tahun depan ketika presiden baru AS dilantik. Kendati Presiden Joe Biden sangat permisif terhadap brutalitas Israel atas bangsa Palestina, Netanyahu menganggap mantan Presiden Donald Trump dari Partai Republik lebih pro Israel ketimbang Biden.
Dengan demikian, perang terbatas Israel-Hizbullah yang kini bereskalasi menyusul serangan pager dan walkie talkie juga akan terus berlangsung. Tujuan Hizbullah memulai perang di perbatasan Israel-Libanon sehari setelah serangan dadakan Hamas ke Israel pada 7 Oktober ialah membantu Hamas. Dengan Hizbullah membuka front di Israel utara, mau tidak mau Israel harus memobilisasi sebagian pasukan mereka ke perbatasan Libanon sehingga mengurangi kapasitas militer mereka menghadapi Hamas di selatan Israel.
Saling balas serangan Hizbullah-Israel telah menciptakan puluhan ribu pengungsi di kedua belah pihak. Tak kurang dari 60 ribu warga Israel di kota-kota utara mengungsi. Hal itu memberi tekanan sosial, ekonomi, dan politik pada pemerintah.
Baca juga : 152 WNI di Libanon Kondusif dari Ledakan Alat Komunikasi
Desakan publik Israel agar pemerintah melancarkan perang skala penuh terhadap Hizbullah untuk membebaskan perbatasan utara dari Hizbullah sehingga pengungsi dapat kembali ke rumah mereka kian membesar. Di pihak lain, militer Israel (IDF) yang sebagian pasukannya tertancap di rawa-rawa Gaza dan Tepi Barat khawatir perang skala penuh dengan Hizbullah yang lebih kuat daripada Hamas berisiko membawa kehancuran lebih besar pada Israel. Apalagi AS dan sekutu Barat tak menghendaki perang Gaza diperluas ke Libanon. Bagaimana caranya Netanyahu bisa keluar dari tekanan publiknya?
Pada 30 Juli, Israel membunuh Fuad Shukr, komandan senior Hizbullah, di Beirut dengan pretext Shukr ialah otak di balik serangan Hizbullah ke Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang menewaskan 12 anak-anak Druze. Pembunuhan Shukr yang melibatkan operasi intelijen Israel (Mossad) diharapkan menggentarkan Hizbullah sekaligus menghibur publik Israel. Bahkan, beberapa jam kemudian Israel juga menyerang Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran.
Pembunuhan Shukr dan Haniyeh diharapkan Israel akan memprovokasi Hizbullah dan Iran untuk melancarkan perang skala penuh. Meski demikian, AS dan sekutu-sekutu Israel akan memobilisasi aset-aset militer mereka untuk mendukung Israel dan melupakan aib Israel di Gaza. Tetapi, skenario itu tidak jalan karena Hizbullah dan Iran menahan diri untuk memberi kesempatan terjadi gencatan senjata Israel-Hamas.
Baca juga : PM Spanyol Menegaskan Kembali Solusi 2 Negara untuk Palestina
Pada Februari, Nasrollah memerintahkan anak buahnya meninggalkan handphone untuk digantikan dengan pager dan walkie talkie guna menghindari pelacakan Israel. Kebijakan itu justru menguntungkan Israel. Mossad segera membuka perusahaan cangkang (BAC) di Budapest, Hongaria. Hongaria ialah sekutu Israel yang menolak negara Palestina.
BAC ialah perusahaan yang memproduksi pager dengan lisensi dari perusahaan Taiwan, Gold Apollo. Pager yang dihasilkan BAC kemudian diisi bahan peledak yang diduga dilakukan Mossad. Enggak jelas di mana Mossad mengisinya, di Budapest atau di negara lain ketika kapal yang mengangkut perangkat komunikasi itu berlabuh? Yang jelas, alat-alat komunikasi itu sampai ke Libanon tiga bulan sejak dikirim dari Hongaria. Sementara itu, walkie talkie buatan Jepang yang diekspor sejak 10 tahun lalu.
Lepas dari tuduhan melanggar hukum internasional dan kejahatan perang, ledakan beruntun pager dan walkie talkie serta objek sipil lain yang masif merupakan keberhasilan gemilang operasi Mossad. Hal itu diharapkan pemerintahan Netanyahu mengembalikan citra Mossad sebagai lembaga intelijen kelas dunia yang sempat rontok menyusul infiltrasi Hamas ke teritori Israel yang tak ada presedennya.
Dengan serangan itu, konsolidasi dan rantai komando Hizbullah jelas terganggu secara serius. Tetapi, timbul pertanyaan: mengapa IDF tidak segera melancarkan perang skala penuh ketika morel dan kapasitas militer Hizbullah sedang terpukul hebat?
Paling tidak ada beberapa variabel yang dapat menjelaskannya. Pertama, Israel berharap Hizbullah dan Iran secara bersamaan melancarkan perang skala penuh sehingga Israel dapat bermutasi dari penjahat perang di Gaza menjadi korban perang Hizbullah-Iran. Realita itu akan mengundang simpati para sekutu Barat-nya, yang lalu mengerahkan bantuan militernya ke Israel.
Kedua, IDF tidak yakin ia dapat dengan mudah mengalahkan Hizbullah yang dalam perangnya dengan Israel pada 2006 berhasil menimpakan kerugian besar pada musuh bebuyutannya itu.
Ketiga, serangan terhadap perangkat komunikasi Hizbullah itu tidak membuahkan hasil maksimal karena sebagiannya tidak meledak dan sebagian lain salah sasaran. Keempat, opini dunia tidak berpihak pada Israel.
Kendati demikian, IDF meningkatkan serangan sampai ke Beirut selatan, sarangnya komunitas Syiah yang sebagiannya menjadi anggota Hizbyllah. Tujuannya, lagi-lagi agar Hizbullah melancarkan perang skala penuh terlebih dahulu sebagaimana yang dijanjikannya. Juga ancaman Iran yang ‘bertekad’ akan membalas dengan serangan yang menghancurkan.
Pertanyaannya, apakah Hizbullah dan Iran benar-benar akan melancarkan perang skala penuh? Pertanyaan itu layak diajukan mengingat Hizbullah dan Iran juga menjanjikan serangan besar ke Israel menyusul pembunuhan Shukr dan Haniyeh, tapi hingga hari ini janji itu tidak diwujudkan. Hal itu bisa dipahami karena baik Hizbullah maupun Iran menghindari perang yang menghanguskan Timteng, yang bukan merupakan kepentingan Iran.
Lebih dari itu, Libanon tidak siap memikul beban perang ketika 80% warganya hidup di bawah garis kemiskinan akibat salah urus negara. Iran juga tidak siap karena masalah ekonomi dan keunggulan militer Israel. Apalagi ia juga akan berhadapan dengan AS kalau menyerang Israel. Sementara itu, genosida di Gaza dan operasi IDF di Tepi Barat akan terlupakan. Tetapi, karena Hizbullah dan Iran perlu mengimbangi kekuatan deterrence mereka vis a vis Israel dan proksi Iran berharap hukuman keras dijatuhkan atas Israel, bukan tidak mungkin perang besar di Timteng akan terjadi.
Toh, Israel tidak berniat deal dengan Hamas untuk mengakhiri perang dan pada saat yang sama, hendak melancarkan perang skala penuh terhadap Libanon. Sebenarnya, semua perang dan tragedi kemanusiaan itu bisa diakhiri kalau saja Biden bersedia menggunakan otoritasnya untuk secara serius menekan Israel guna mengakhiri perang Gaza. Sayangnya, pertimbangan politik untuk memenangkan Kamala Harris dalam Pemilu AS pada 5 November mendatang, Biden mempertaruhkan stabilitas Timteng, yang juga akan merugikan AS.